Oleh: Abdul Hayyie Al-Kattani
Apakah konsep tentang ‘Adalah Sahabat bermakna mensakralkan mereka? Dan menganggap mereka manusia-manusia suci yang tidak mungkin melakukan kesalahan? Atau memuja mereka seperti sesembahan?
Bain Al-‘Athifah wa Al-Burhan?
Cukup menarik membaca tulisan Dr. Jalaluddin Rakhmat di bagian akhir artikelnya. Hal itu mendorong saya mengkaji hal ini terlebih dahulu sebelum mengkaji metodologi membaca Al-Qur’an, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang tampak mengecam sahabat, serta kajian atas peristiwa-peristiwa yang dialami sahabat secara detail, seperti yang dipaparkan oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat. Karena menurut saya itu sangat mudah dijawab oleh mereka yang mau membuka tafsir-tafsir Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW beserta takhrijnya dan sirah Rasul. Inti masalahnya hanya di metodologi bacaan dan pilihan bacaan. Jika itu dijelaskan, akan terjawab semuanya. Jadi pembahasan itu kita lakukan setelah bahasan sekarang ini.
Saya berikan sedikit “bocoran” tentang metodologi yang Dr. Jalaluddin Rakhmat gunakan dalam membaca/menilai para sahabat. Menurut saya itu metodologi “wailul lil mushallin”. Detailnya Insya Allah nanti ditulis di artikel lanjutannya.
Sekarang, saya ingin mengkaji pernyataan Dr. Jalaluddin Rakhmat: Benarkah persoalah sahabat adalah persoalan Bain Al-‘Athifah wa Al-Burhan, antara rasa cinta kita kepada sahabat dengan bukti-bukti- baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun kajian-kajian ilmiah?
Benarkah, kita ketakutan untuk membongkar “borok-borok” sejarah karena takut kehilangan tokoh teladan setelah Nabi SAW? Dan benarkah konsep ‘Adalah Sahabat bermakna ‘Ishmah Shahabah?.
Saya sudah paparkan sebelumnya tentang apa konsep ‘Adalah Sahabat tersebut secara mendasar. Dan jelas itu bukan suatu bentuk ‘Ishmah Sahabat. Sehingga menurut saya, Dr. Muhammad Zain tidak perlu menulis disertasi dengan judul “Dekonstruksi Sakralisasi sahabat Nabi”. Karena tidak ada pensakralan dengan pengertian ishmah (ma’shum) di situ. Jadi yang perlu ditulis adalah sejarah sahabat dengan benar dan berdasar sumber-sumber yang sahih, sambil mengkritisi sumber-sumber sejarah yang ada. Sehingga dihasilkan sejarah sahabat yang benar dan tidak mengandung unsur-unsur yang lemah atau palsu, yang bisa merusak gambaran kita tentang mereka.
Kita, umat Islam, sama sekali tidak takut mengkaji sejarah kita. Malah itu sangat dianjurkan dan orang yang melakukannya Insya Allah dapat pahala karena jasanya bagi Islam. Hal itulah yang mendorong para ulama menulis buku-buku mereka, dengan tebal puluhan jilid. Mereka mengorbankan waktu, harta dan kepentingan pribadi mereka demi mewujudkan semua itu.
Tapi masalahnya: Apakah kita tidak boleh punya ‘athifah (cinta) terhadap sahabat ketika mengkaji mereka? Dan apakah ketika kita cinta kepada mereka, secara otomatis kita akan menolak burhan )bukti nyata) berupa Al-Qur’an, sunnah dan kajian-kajian ilmiah?
Menurut saya itu tidak benar sama sekali. Karena cinta kita terhadap sahabat Nabi SAW dituntun oleh burhan (bukti nyata) berupa Al-Qur’an, Sunnah dan kajian ilmiah. Tanpa burhan (bukti nyata), untuk apa kita mencintai orang yang hidup seribu tahun lebih dari kita, yang tidak mempunyai hubungan darah dengan kita, dan bukan pula satu negara dengan kita.
Cinta kita kepada mereka merupakan turunan dari cinta kita kepada Allah SWT dan Nabi-Nya. Tanpa adanya hubungan mereka dengan Nabi SAW dan peran sentral mereka dalam menyampaikan riwayat dari Nabi SAW, kita sama sekali tidak perlu mencintai mereka.
Dan faktanya, para sahabatlah (termasuk Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan keluarganya) beserta isteri-isteri Nabi SAW yang menjadi jalur satu-satunya bagi kita untuk mengetahui tentang Nabi SAW dan ajaran-ajaran beliau yang diturunkan dari langit secara utuh. Maka ketika kita mencintai Nabi SAW, secara otomatis kita harus mencintai mereka. Karena dari merekalah kita mengetahui tentang Nabi SAW, tentang Allah SWT, tentang tata cara beribadah, tentang akhirat, tentang syari’ah, tentang aqidah dan Al-Qur’an. Cinta kita kepada mereka satu paket yang tak terpisahkan dengan cinta kita kepada Allah SWT, Nabi SAW dan keluarganya.
Dan ini sesuai burhan (bukti nyata) dari Al-Qur’an. Seperti dalam ayat berikut:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10).
Dalam ayat tersebut dengan jelas disebutkan bahwa dalam menyikapi sahabat, yang diperintahkan Allah SWT kepada kita adalah: mencintai mereka, mendoakan mereka, dan tidak menyimpan kedengkian kepada mereka.
Mereka laksana ibu-bapak kita dalam agama. Karena melalui merekalah nasab agama kita bersambung kepada Nabi SAW. Tanpa mereka, kemana larinya sambungan nasab agama kita? Sebagaimana tidak jelasnya nasab biologis kita jika kita menafikan keberadaan ibu-bapak biologis kita. Alangkah malangnya kita jika kita melakukan hal itu dengan sengaja.
Dan perlakuan kita menempatkan para sahabat dan isteri-isteri Nabi sebagai bapak dan ibu kita sesuai burhan (bukti nyata) Al-Qur’an, yang menempatkan isteri-isteri Nabi SAW sebagai ibu bagi orang-orang yang beriman. Bagaimana jika kita tidak menghormati dan menempatkan isteri-isteri Nabi SAW sebagai ibu kita? Bukankah sifat keimanan kita akan dipertanyakan? Karena kita menghilangkan salah satu ciri keimanan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا كَانَ ذَلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).” (QS. Al-Ahzaab: 6).
Ketika membaca ayat-ayat tadi, maka kami segera menempatkan para sahabat dan isteri-isteri Nabi SAW sebagai orang tua dan ibu kami. Menghormati mereka dan tidak berkata buruk tentang mereka. Serta selalu berbaik sangka kepada mereka.
Ketika kami melakukan itu semua, apakah ada yang aneh di sini? Apakah ada yang tidak logis? Apakah ada yang tidak sesuai dengna burhan (bukti nyata)?
Al-Burhan (bukti nyata) dalam Keilmuan Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah.
Saya tahu, karena Dr. Jalaluddin Rakhmat penganut Imamiyah Ja’fariyah maka pemaparan ayat-ayat Al Qur`an seperti itu terasa “garing” baginya. Hanya cocok bagi kalangan ‘Ammah (non Imamiyah Ja’fariyah), dan tidak mengena untuk kalangan Imamiyah Ja’fariyah. Sehingga tidak memuaskan. Belum terasa sebagai “burhan”. Karena menurut Imamiyah Ja’fariyah, Al Qur`an itu tidak mampu berbicara sendiri, maka Ali bin Abi Thalib r.a. dan para imam lah yang bisa menceritakan apa yang terkandung di dalamnya. Pemahaman terhadap Al Qur`an tergantung pada penjelasan mereka. Dan penjelasan serta perkataan mereka itulah burhan yang sejati.
Hal itu seperti keterangan yang diriwayatkan oleh al Kulaini dalam kitab Al Kafi, bahwa Ali bin Abi Thalib r.a. berkata:
“ذلك القرآن فاستنطقوه فلن ينطق لكم، أخبركم عنه”، (الكافي 1/61).
“Al Qur`an itu, jika kalian pinta dia untuk berbicara niscaya dia tidak akan dapat berbicara kepada kalian. Maka akulah sejatinya yang bisa menceritakan isinya.” (Al-Kafi: 1/61).
Dan menurut Imamiyah Ja’fariyah, para imam itulah Al Qur`an yang sebenarnya. Karena Al Qur`an yang tertulis dalam mushaf hanyalah object mati yang tak dapat berbuat apa-apa untuk menerangkan isinya. Sehingga keberadaan Al Qur`an dipersonifikasikan oleh sosok para imam yang menerangkan kandungan Al Qur`an. Merekalah Al Qur`an yang hidup dan berbicara.
فأهل البيت هم القرآن الناطق ، والثقل الصادق ، لأن القرآن لا ينطق بلسان ، ولا بد له من ترجمان” (الإمامة والتبصرة ، ابن بابويه القمي، مقدمة).
“Ahlul Bait adalah Al Qur`an yang berbicara. Dan sumber yang jujur. Karena Al Qur`an tidak dapat berbicara dengan lisan, sehingga perlu ada yang menerangkan.” (Al Imamah wa at Tabshirah, Ibnu Babuwaih al Qummi, muqaddimah).
(Sebagai catatan: Perlu diteliti, barangkali dari sinilah Roland Barthes mengambil inspirasi untuk tulisannya: The Death of the Author, yang diterbitkan dalam bahasa Inggris di American journal Aspen, no. 5-6 in 1967 dan 1968 dalam bahasa Francis di majalah Manteia, no. 5. Essay ini kemudian diterbitkan dalam anthology essaynya, Image-Music-Text (1977)).
Dengan pemahaman seperti itu, maka orang biasa hanya bisa membaca Al Qur`an secara literal saja. Sesuai huruf dan kata-kata yang tercetak. Sedangkan untuk mengetahui maksudnya yang sebenarnya, ia harus merujuk para imam Ahlul Bait.
فإنما على الناس أن يقرؤوا القرآن كما أنزل ، فإذا احتاجوا إلى تفسيره فالاهتداء بنا وإلينا. (وسائل الشيعة، الحر العاملي، 27/202).
“Orang boleh saja membaca Al Qur`an sebagaimana ia diturunkan. Tapi ketika ia memerlukan penafsirannya, maka mereka harus berpedoman pada kami dan merujuk kami.” (Wasa`il asy Syi’ah, oleh al Hurr al ‘Amili, 27/202).
Dengan demikian, sejatinya perkataan para imam itulah burhan yang paling kuat menurut Imamiyah Ja’fariyah. Sedangkan Al Qur`an tidak mempunyai kekuatan hujjah kecuali melalui perkataan imam.
‘Adalah Sahabat Nabi SAW. Menurut Para Imam Ahlul Bait.
Dalam artikelnya, Dr. Jalaluddin Rakhmat mempersoalkan beberapa hal yang disebutkan oleh para penulis tentang ‘Adalah Sahabat. Antara lain:
Ibn Abi Hatim ar Razi yang memaparkan karakteristik sahabat sebagai berikut:
Sahabat terpelihara dari segala “keraguan, kebohongan, kesalahan, kekeliruan, kebimbangan, kesombongan”.
Sahabat adalah para imam pemberi petunjuk, dan karena itu seluruh perilakunya harus dijadikan teladan.
Sahabat juga adalah hujjah agama ; artinya, perilakunya dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum-hukum agama.
Ibnu Atsir yang mengatakan bahwa para sahabat: “tidak layak dikenakan kepada mereka kecaman” (Ibn Al-Atsir, Mukadimah Usud al-Ghabah).
Dan Ibn Hajar al ‘Asqallani yang mengatakan: “Jika kamu melihat orang mengkritik seorang saja sahabat Rasulullah SAW , ketahuilah bahwa ia itu zindiq. Karena Rasul benar, Al-Quran benar, apa yang dibawanya benar. Disampaikan kepada kita semuanya oleh sahabatnya. Mereka bermaksud untuk mengecam saksi-saksi agama kita untuk membatalkan Al-Kitab dan Sunnah. Merekalah orang-orang zindiq, yang lebih pantas mendapat kecaman.” (Al-Ishabah 1:18).
Saya akan menjawab keberatan Dr. Jalaluddin Rakhmat tentang point-point tersebut kepada para imam Ahlul Bait. Kita akan lihat bagaimanakah para imam Ahlul Bait yang merupakan burhan terkuat Imamiyah Ja’fariyah berbicara tentang para sahabat, di kitab-kitab Imamiyah Ja’fariyah? Apakah mereka menolak konsep ‘Adalah Sahabat seperti yang dipaparkan oleh para ulama tadi?
Mari kita perhatikan!
Saya coba paparkan dengan mengajukan pertanyaan, untuk kemudian dijawab dengan teks-teks dari para imam.
Pertanyaan pertama: Bagaimanakah kedudukan dan keutamaan Sahabat Nabi SAW. menurut imam Ahlul Bait, dalam referensi Imamiyah Ja’fariyah?
Imam ke 11, Hasan al ‘Askari berkata dalam tafsirnya:
إن كليم الله موسى سأل ربه : هل في صحابة الأنبياء أكرم عندك من صحابتي؟ قال الله عز وجل: يا موسى! أما عملت أن فضل صحابة محمد صلى الله عليه وآله على جميع صحابة المرسلين كفضل آل محمد على جميع آل النبيين وكفضل محمد على جميع المرسلين) .(تفسير الحسن العسكري ص 32).
“Kalimullah Musa pernah bertanya kepada Rabb-Nya: Apakah diantara sahabat-sahabat para nabi ada yang lebih mulia di sisi-Mu dibandingkan para sahabatku? Allah SWT. berfirman: “Musa! Apakah engkau tidak tahu bahwa keutamaan sahabat Muhammad SAW. atas seluruh sahabat para Rasul yang lain adalah laksana keutamaan keluarga Muhammad atas seluruh keluarga para nabi. Dan seperti keutamaan Muhammad atas seluruh Rasul.” (Tafsir Al-Hasan Al-’Askari, hal. 32).
Pertanyaan kedua: Apakah para sahabat Nabi bisa dijadikan hujjah dan teladan dalam beragama?
Imam yang kedelapan, yaitu Ali bin Musa atau yang dikenal dengan Ali ar Ridha menjawab seperti ini:
قال علي بن موسى الملقب بالرضا – الإمام الثامن عند الشيعة – حينما سئل “عن قول النبي صلى الله عليه وسلم : أصحابي كالنجوم فبأيهم اقتديتم اهديتم ، وعن قوله عليه السلام: دعوا لي أصحابي:؟ فقال: هذا صحيح . (عيون أخبار الرضا (ع)، الشيخ الصدوق ، ج1 ص 93).
Ali bin Musa ar Ridha imam Ahlul Bait ke delapan ketika ditanya tentang sabda Nabi SAW: “Para sahabatku seperti bintang gemintang, dengan siapapun dari mereka kalian mengikut, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk yang benar.” Serta tentang sabda Nabi SAW.”Jangan kalian berbuat buruk kepada sahabatku.” Ali ar Ridha menjawab: “hadits itu sahih.” (‘Uyun Akbar ar Ridha, karya Syekh ash Shaduuq, juz 1 hal. 93).
Pertanyaan ketiga: Apakah para sahabat melakukan perbuatan yang menyimpang atau berubah aqidahnya dari tuntunan Nabi SAW. sehingga mereka menjadi orang yang penuh “keraguan, kebohongan, kesalahan, kekeliruan, kebimbangan, kesombongan”?
Ja’far Shadiq, imam keenam, menjawab:
أبو عبد الله عليه السلام قال : كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله اثني عشر ألفا ثمانية آلاف من المدينة ، و ألفان من مكة ، وألفان من الطلقاء ، ولم ير فيهم قدري ولا مرجي ولا حروري ولا معتزلي ، ولا صحاب رأي ، كانوا يبكون الليل والنهار ويقولون : اقبض أرواحنا من قبل أن نأكل خبز الخمير.” (الخصال، الشيخ الصدوق – ص 639 – 640).
“Para sahabat Rasulullah SAW. ada dua belas ribu orang. Delapan ribu orang dari Madinah, dua ribu orang dari Mekkah, dan dua ribu orang dari kalangan ath-Thulaqaa` (yang masuk Islam setelah era Fath Makkah). Dalam diri mereka tidak didapati seorangpun yang menganut paham qadariyah, atau murjiah, atau haruriah, atau mu’tazilah atau rasionalis. Mereka itu selalu menangis di waktu malam dan siang (karena rindu kepada Tuhan mereka) dan mereka berdoa: Ya Allah cabutlah nyawa kami sebelum kami sempat makan roti.” (Al Khishal, karya Syekh Shaduuq, hal. 639-640).
Pertanyaan keempat: Apakah para sahabat Nabi SAW. orang yang bersifat munafiq, kurang iman dan cinta kepada Allah sehingga diragukan dan tidak patut diteladani? Dan jika sebaliknya, bagaimanakah cara meneladani mereka? Dan jika kami memuliakan para sahabat, meneladani mereka dalam beragama, menjadikan riwayat mereka sebagai hujjah dalam beragama, dan meninggikan derajat mereka serta tidak pernah mencela mereka, apakah dengan perbuatan itu berarti kami menyematkan sifat ‘Ishmah (kemaksuman) kepada mereka?
Muhammad al Baqir, imam yang kelima menjawab:
عن سلام بن المستنير قال: كنت عند أبي جعفر، فدخل عليه حمران بن أعين، فسأله عن أشياء، فلما هم حمران بالقيام قال لأبي جعفر عليه السلام: أخبرك أطال الله بقاك وأمتعنا بك، إنا نأتيك فما نخرج من عندك حتى ترق قلوبنا، وتسلوا أنفسنا عن الدنيا، وتهون علينا ما في أيدي الناس من هذه الأموال، ثم نخرج من عندك، فإذا صرنا مع الناس والتجار أحببنا الدنيا؟
قال: فقال أبو جعفر عليه السلام: إنما هي القلوب مرة يصعب عليها الأمر ومرة يسهل، ثم قال أبو جعفر: أما إن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قالوا: يا رسول الله نخاف علينا النفاق، قال: فقال لهم: ولم تخافون ذلك؟ قالوا: إنا إذا كنا عندك فذكرتنا روعنا، ووجلنا، نسينا الدنيا وزهدنا فيها حتى كأنا نعاين الآخرة والجنة والنار ونحن عندك، فإذا خرجنا من عندك، ودخلنا هذه البيوت، وشممنا الأولاد، ورأينا العيال والأهل والمال، يكاد أن نحول عن الحال التي كنا عليها عندك، وحتى كأنا لم نكن على شيء، أفتخاف علينا أن يكون هذا النفاق؟
فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم : كلا، هذا من خطوات الشيطان. ليرغبنكم في الدنيا، والله لو أنكم تدومون على الحال التي تكونون عليها وأنتم عندي في الحال التي وصفتم أنفسكم بها لصافحتكم الملائكة، ومشيتم على الماء، ولولا أنكم تذنبون، فتستغفرون الله لخلق الله خلقاً لكي يذنبوا، ثم يستغفروا، فيغفر الله لهم، إن المؤمن مفتن تواب، أما تسمع لقوله: ] إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ ] وقال: ] وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ] (الكافي ، الكليني ، ج2 ص 423- 424).
“Dari Salam bin al Mustanir ia berkata: Aku suatu hari berada di tempat Abu Ja’far. Kemudian datanglah Hamran bin A’yun. Dan dia pun bertanya kepadanya tentang beberapa masalah. Dan ketika Hamran ingin pamit, ia berkata kepada Abu Ja’far a.s.: “Aku ingin mengadu kepadamu -semoga Allah memanjangkan usiamu dan menjadikanmu selalu memberi manfaat bagi kami- bahwa ketika kami datang kepadamu, selama kami belum keluar pulang dari majlismu, kami merasakan hati kami menjadi lembut, jiwa kami menjadi tidak senang dunia, dan kami tidak silau dengan harta yang ada di tangan manusia. Tapi ketika kami keluar dari majlismu, dan kembali bergaul dengan orang banyak serta para pedagang, ketika itu kami kembali cinta dunia. Bagaimana itu bisa terjadi?”
Abu Ja’far a.s. menjawab: “Seperti itulah hati manusia. Terkadang sulit dikendalikan dan terkadang mudah.” Kemudian Abu Ja’far kembali berkata: “Para sahabat Rasulullah SAW juga pernah berkata: “Rasulullah SAW., kami takut mengalami nifaq”. Beliau bertanya: “Mengapa kalian berkata begitu?” Mereka menjawab, “Kami ini jika sedang bersamamu, kami merasakan jiwa kami menjadi halus dan merasakan nuansa ilahiah yang mengisi relung bathin kami. Sehingga kami pun lupa terhadap dunia dan tidak ada keinginan meraihnya. Sehingga kami seakan-akan melihat akhirat, surga dan neraka secara kasat mata, ketika kami berada bersamamu. Tapi ketika kami keluar dari majlismu, masuk kembali ke rumah kami, kemudian mencium anak-anak kami, melihat isteri dan keluarga kami, serta kembali berurusan dengan harta, maka saat itu kami merasakan mengalami perubahan dari kondisi ketika berada bersamamu, sehingga seakan-akan kami tidak memiliki perasaan tadi lagi. Apakah itu tanda kemunafikan diri kami?”
Rasulullah SAW. menjawab mereka: “Itu sama sekali bukan tanda kemunafikan kalian. Itu hanyalah salah satu bentuk godaan syetan yang ingin membujukmu agar mencintai dunia. Demi Allah, jika kalian terus berada dalam kondisi ruhaniah seperti yang kalian ceritakan sebelumnya, niscaya kalian akan disalami oleh malaikat, dan kalian bisa berjalan di atas air. Tapi jika kalian tidak berbuat dosa sehingga kemudian Allah mengampuni kalian, niscaya Allah akan menciptakan makhluk lain yang akan berbuat dosa untuk kemudian mereka bersimpuh meminta ampunan kepada Allah, dan Allah pun mengampuni mereka. Karena itulah orang beriman itu bersifat kerap mengalami fitnah (sehingga berbuat dosa) untuk kemudian meminta ampunan Allah. Apakah engkau tidak mendengar firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat.” (Qs. Al Baqarah 2: 222) dan firman Allah SWT: “Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.” (Qs. Hud 11: 3). Lihat dalam kitab (Al-Kafi, karya Al-Kulaini, vol. 2 hal. 423-424).
Pertanyaan kelima: Bagaimana seharusnya sikap kita terhadap para sahabat Nabi SAW? Dan apakah kita boleh berkata buruk tentang mereka, mencela mereka dan membenci mereka, dan betulkah orang yang mencerca sahabat dapat dinamakan sebagai orang zindiq?
Imam ke 11, Hasan al ‘Askari menjawab:
إن رجلاً ممن يبغض آل محمد وأصحابه الخيرين، أو واحداً منهم يعذبه الله عذاباً لو قسم على مثل عدد خلق الله لأهلكهم أجمعين. (تفسير الحسن العسكري ص196 ، و بحار الأنوار للمجلسي ج 26 ص 331).
“Orang yang membenci keluarga Muhammad dan para sahabatnya yang mulia, atau terhadap salah seorang dari mereka, niscaya Allah akan adzab mereka dengan adzab yang jika ditimpakan kepada seluruh makhluk Allah niscaya binasalah mereka seluruhnya.” (Tafsir al Hasan al ‘Askari, hal. 196. Juga lihat di Biharul Anwar karya Al Majlisi, juz 26, hal. 331).
Dan saya tutup ungkapan para imam Ahlul Bait itu dengan wasiat penghulu para imam Ahlul Bait, yaitu Ali bin Abi Thalib r.a. tentang para sahabat yang mulia dan persaksian ta’dil dia terhadap mereka:
وأوصيكم بأصحاب نبيكم ، لا تسبوهم ، وهم الذين لم يحدثوا بعده حدثا ، ولم يأتوا محدثا ، فإن رسول الله ( صلى الله عليه وآله) أوصى بهم. (الأمالي ، الشيخ الطوسي ، ص 522 – 523).
“Aku berwasiat kepada kalian tentang para sahabat Nabi kalian. Jangan kalian cerca mereka. Karena mereka tidak melakukan suatu perubahan apa pun terhadap agama setelah Nabi SAW. Mereka juga tidak mendatangkan orang yang melakukan perubahan. Dan Rasulullah SAW. juga berwasiat seperti itu tentang mereka.” (Kitab Al-Amaali, karya Syekh Ath-Thuusi, hal. 522-523).
Demikianlah penuturan para imam Ahlul Bait tentang sahabat Nabi SAW. Saya pikir ungkapan para imam tadi sangat mencukupi untuk menjawab semua keberatan Dr. Jalaluddin Rakhmat tentang konsep ‘Adalah Sahabat yang dipaparkan oleh Ibnu Abi Hatim ar Razi, Ibn Atsir, dan Ibn Hajar al ‘Asqallani. [nosra.islammemo/syiahindonesia.com].
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: