Syiahindonesia.com - Sesungguhnya masalah ini bukanlah masalah orang-orang yang hidup di
suatu negeri yang memiliki berbagai persoalan dengan negeri tetangga, akan
tetapi ini adalah masalah pokok yang berkaitan dengan akidah, fikih dan sejarah
yang seharusnya permasalahan itu kembali kepadanya.
Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Syiah,
pendapat yang populer dimasyarakat umum bahwa Syiah adalah orang-orang yang
mendukung Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu ketika berselisih dengan
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu, karena itu pendukung Mu’awiyah disebut kaum
ahlisunnah, sedangkan pendukung Ali disebut kaum Syiah, tapi sebenarnya
pendapat ini tidak benar.
Kaum Ahlisunnah (ketika itu) meyakini bahwa kebenaran -dalam
perselisihan yang terjadi diantara dua sahabat mulia- ada pada pihak Ali radhiallahu
‘anhu, sedangkan Mu’awiyah telah berijtihad, tetapi ijtihadnya belum
mencapai derajat kebenaran, maka pendapat Ahlisunnah yang berpihak kepada Ali radhiallahu
‘anhu cukup jelas. Sedangkan prinsip, ajaran dan keyakinan yang dipegang
oleh Syiah sekarang ini bukan termasuk prinsip dan ajaran Ali bin Abi Thalib, maka
tidak benar jika ada pendapat yang mengatakan bahwa Syiah muncul ketika zaman
Ali bin Abi Thalib.
Diantara ahli sejarah ada yang berpendapat bahwa Syiah bermula setelah
terbunuhnya Al Husain radhiallahu ‘anhu, yaitu setelah Al Husain membelot
dari kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, kemudian ia menuju Iraq untuk memenuhi
panggilan penduduk Iraq yang berjanji akan menolongnya, tetapi mereka
meninggalkan Al Husain yang menyebabkan beliau terbunuh di Karbala. Penduduk
Iraq yang meminta beliau pun menyesal dan memutuskan untuk menebus
kesalahan-kesalahan mereka dengan keluar dari daulah Umawiyah, hal inilah yang memicu
pemberontakan dan menyebabkan terbunuhnya sebagian dari mereka, dari situ mereka
dikenal dengan kaum Syiah. Peristiwa ini semakin menjelaskan kita, ternyata
ikatan mereka dengan Al Husain bin Ali jauh lebih erat daripada ikatan mereka
dengan Ali bin Abi Thalib sendiri, -sebagaimana kita saksikan- mereka
mengadakan peringatan atas syahidnya Al Husain, namun tidak mengadakan
peringatan atas syahidnya Ali bin Abi Thalib.
Perkembangan Syiah (pada masa ini) hanya sebatas perkembangan kelompok
politik yang menentang pemerintahan bani Umayah dan mendukung setiap pemikiran
yang keluar dari pemerintahannya, belum ada prinsip-prinsip akidah dan madzhab
fikih yang menyelisihi Ahlisunnah, bahkan kita melihat para tokoh dan para imam
yang dianggap imam Syiah generasi pertama, mereka tidak lain dari kalangan
Ahlisunnnah yang bericara dengan akidah dan prinsip-prinsip Ahlisunnah.
Selama beberapa bulan sepeninggal Imam Husein,
kondisi ini masih stabil. Kemudian muncul Ali Zainal Abidin bin Husein, beliau
termasuk manusia terbaik dan dari tokoh ulama yang zuhud, dimana keyakinan dan
pemikiran beliau tidak ada yang bertentangan dengan keyakinan dan pemikiran
para sahabat dan tabi’in.
Beliau memiliki anak yang terkenal dengan
derajat wara' serta taqwa, mereka adalah Muhammad Al Baqir dan Zaid. Keduanya
memiliki prinsip yang sesuai dengan prinsip para ulama dari kalangan sahabat
dan tabi’in, namun Zaid bin Ali sedikit berbeda, karena beliau mengklaim bahwa
Ali bin Abi Thalib lebih berhak dengan khilafah daripada Abu Bakar. Meskipun
beliau menyelisihi kesepakatan para ulama, dan menyelisihi hadits-hadits yang
secara langsung mengangkat kedudukan Abu Bakar, Umar dan Utsman di atas Ali,
namun perbedaan ini bukanlah berbedaan prinsip, sebab beliau masih mengakui
keutamaan ketiga khalifah tersebut, hanyasanya kedudukan Ali lebih utama
daripada mereka. Sebagaimana beliau juga berpendapat bolehnya kepemimpinan
orang yang tidak diprioritaskan, meskipun demikian beliau tidak mengingkari
kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu ‘anhum. Selain point
ini, maka akidah, prinsip dan fikih mereka banyak yang sesuai dengan akidah,
prinsip dan fikih Ahlisunnah.
Pada masa itu, Zaid bin Ali keluar (membelot) dari
kekhalifahan
bani Umayyah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh kakeknya Al Husain bin Ali, yaitu
pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik dan berakhir dengan terbunuhnya
Zaid bin Ali pada tahun 122 H. Kemudian, para pengikutnya berupaya mendirikan
madzhab baru diatas pemikiran Zaid bin Ali, oleh sejarah madzhab ini dikenal
dengan Zaidiyah yang dinisbatkan kepada Zaid bin Ali. Meskipun demikian, madzhab
ini memiliki banyak kesesuaian dengan Ahlisunnah, namun mereka lebih
mengutamakan Ali daripada ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar dan Utsman). Penganut
madzhab ini tersebar di Yaman, mereka adalah sekte Syiah yang lebih dekat
dengan Ahlisunnah, bahkan disebagian besar perkara, hampir tidak ada perbedaan
dengan Ahlisunnah.
Perlu diingat bahwa dari pengikut Zaid, ada
sekelompok orang yang bertanya mengenai pendapat beliau tentang Abu Bakar dan
Umar, maka beliau menyanjung mereka berdua, namun sekelompok orang ini justru menolak
sanjungan Zaid atas mereka berdua, kemudian mereka menyempal dari Zaid bin Ali,
oleh sejarah mereka dikenal dengan Syiah Rafidhah, karena di satu sisi mereka
menolak kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, dan di sisi lain mereka menolak
pendapat Zaid bin Ali. Dan kelompok inilah yang nantinya mendirikan mazhab
Syiah "Itsna Asyariyah”, yang termasuk madzhab terbesar Syiah.
Muhammad Al Baqir meninggal dunia delapan tahun sebelum saudaranya Zaid bin Ali, (tepatnya pada tahun 114 H), dan meninggalkan seorang putra yang sangat alim, dialah Ja’far Ash Shadiq,
seorang
ulama yang diberkahi, fakih lagi cerdas,
beliau juga
berkata sesuai dengan akidahnya
para sahabat, tabi’in dan ulama kaum Muslimin.(Nisyi/Syiahindonesia.com)
Sumber: As-Syiah Nidhol am Dholal oleh DR.
Raghib As Sirjani.
Baca juga:
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: