Syiahindonesia.com - Kita kembali ke silsilah Ath Thalibiyin,
setelah wafatnya Ali Ar Ridha yang diangkat oleh Al Makmun menjadi waliyul
ahdi, muncul puteranya Muhammad Al Jawwad dan meninggal pada tahun 220 H,
kemudian muncul puteranya Muhammad Al Hadi yang meninggal pada tahun 254 H,
kemudian terakhir muncul puteranya Al Hasan bin Ali yang bergelar Al Askari dan
meninggal secara tiba-tiba pada tahun 260 H, dan hanya meninggalkan seorang
putera bernama Muhammad yang masih berusia lima tahun.
Di tahun-tahun sebelumnya, ternyata gerakan
ini terpisah-pisah, yaitu kelompok yang tergabung dari Ahlbait dan kelompok
yang tergabung dari As Syu’ubiyun Persi, mereka menyerahkan
kepemimpinannya kepada anak tertetua dari kelompok Ath Thalibiyun, dimulai
dari Ali Ridha dan berakhir kepada Al Hasan Al Askari. Adapun tokoh sebelum Ali
Ridha, seperti ayahnya yaitu Musa Al Kazhim, atau kakeknya Ja’far As Shadiq
atau buyutnya yaitu Muhammad Al Baqir, mereka tidak pernah memimpin
pemberontakan terhadap daulah Umawiyah maupun Abasiyah.
Akan tetapi setelah wafatnya Al Hasan Al
Askari pada tahun 260 H, para pemberontak mengalami kebingungan, pasalnya
siapakah yang akan menggantikan kepemimpinannya? Karena Al Hasan Al Askari
hanya meninggalkan seorang anak kecil, bahkan mereka semakin bingung manakala
anak kecil yang merupakan (imam) terakhir meninggal secara tiba-tiba, sehingga mereka
terpecah menjadi beberapa kelompok, sebagian mereka saling berselisih dengan sebagian
yang lain, baik dalam masalah prinsip, pemikiran atau bahkan dalam masalah
syariat dan keyakinan.
Diantara Sekte Syiah yang paling masyhur
adalah Syiah “Itsna Asyariyah” yaitu sekte yang sekarang ini ada di wilayah Iran,
Iraq dan Lebanon dan merupakan sekte Syiah paling besar di zaman kita ini.
Maka para pemimpin sekte ini menambah-nambah ajaran yang sesuai
dengan prinsip dan kepentingan mereka ke dalam ajaran Islam, serta menambah
ajaran yang dapat menjamin keberlangsungan perjalanan sekte ini ditengah
ketiadaan Imam.
Sekte ini telah menambah macam-macam bid’ah yang sangat
membahayakan dalam agama Islam, seperti anggapan bahwa ajaran mereka termasuk
bagian yang tidak terpisahkan dari agama Islam, selanjutnya bid’ah ini menjadi
bagian dari keyakinan mereka. Diantara bid’ah mereka ada yang khusus dalam masalah imamah,
karena mereka hendak mencari solusi dari permasalahan ketiadaan imam saat ini.
Mereka juga berkata; “Sesungguhnya para imam itu hanya dua belas.” Mereka juga
menyatakan; “Sesungguhnya, urutan para imam tersebut adalah sebagai berikut;
1.
Ali
bin Abi Thalib
2.
Hasan
bin Ali
3.
Husain
bin Ali
4.
Ali
Zainal Abidin bin Husain
5.
Muhammad
Al Baqir bin Zainal Abidin
6.
Ja’far
Ash Shadiq bin Muhammad Al Baqir
7.
Musa
Al Kadzim
8.
Ali
Ridha
9.
Muhammad
Al Jawwad
10.
Ali Al Hadi
11.
Hasan
bin Ali Al Asykari
12.
Muhammad
bin Hasan Al Asykari
Dari sini, sekte ini kemudian dikenal dengan Syiah Itsna Asyariyah
(dua belas imam), supaya mereka dapat menafsirkan berakhirnya imam sampai yang
ke dua belas, mereka mengatakan; “Sesungguhnya anak kecil yaitu Muhammad bin Al
Hasan Al Askari tidak meninggal, tetapi bersembunyi di salah satu Sirdab (goa) dan
masih hidup sampai saat ini (hidup lebih dari seribu tahun, bahkan hingga
sekarang). Dan ia akan kembali pada suatu hari nanti
untuk memimpin dunia, dialah Al Mahdi Al Muntazhar. Mereka juga menganggap
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewasiatkan dengan
menyebut nama-nama kedua belas imam, namun para sahabat menyembunyikannya, dari
itu mereka mengkafirkan mayoritas sahabat, namun sebagian mereka menfasikkan,
tidak sampai mengkafirkan, karena para sahabat telah menyembunyikan perkara
para imam.
Setelah itu, mereka memasukkan dari ajaran Persia ke dalam system dinasti
yang tidak dapat dielakkan, mereka berkata; “Pemimpin itu harus dari anak yang
paling tua, di mulai dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan
berlanjut hingga semua imam setelahnya.” Sebagaimana yang diketahui, bahwa system
ini bukan dari ajaran Islam sama sekali, sampai negara-negara islam sunni yang
menggunakan system dinasti pun seperti khilafah bani Umayyah, Abasiyah, Saljuk,
Ayyubiyah dan Utsmaniyah tidak pernah sama sekali menyatakan bahwa sistem
dinasti merupakan bagian dari ajaran agama, atau harus dari keluarga tertentu.
Mereka juga memasukkan dari ajaran Persia tentang masalah taqdis
(suci dari dosa) terhadap keturunan para imam, mereka menyatakan tentang kema’shuman
para imam dan terjaganya dari dosa, kemudian pernyataan itu mereka tetapkan
dari Al Qur’an dan Al Hadits, bahkan sebagian besar kaidah-kaidah fikih dan
syariat sekarang ini mereka sandarkan dari perkataan para imam, sama saja
apakah para imam mengatakannya atau menisbatkan kepada mereka secara dusta.
Lebih dari itu, dalam kitab “Al Hukumah Al Islamiyah”, Al Khumaini, sang revolusioner
Iran mengatakan; “Sesungguhnya diantara prinsip madzhab kita, bahwa imam-imam
kita memiliki kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat yang terdekat
maupun Nabi yang diutus.”[1]!!
Dari sini, mereka sangat memusuhi semua para sahabat (kecuali hanya
sedikit, tidak lebih dari 13 sahabat), termasuk permusuhan mereka terhadap
sebagian ahli bait, seperti paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Abbas
dan anaknya Ibnu Abbas, ulama umat ini. Bukan rahasia lagi, bahwa cercaan dan
pengkafiran ditujukan kepada mereka berdua dan kepada khilafah bani Abasiyah selain
imam yang kedua belas.
Di antara bid’ah mereka adalah menyatakan
bahwa sebagian besar negeri-negeri Islam merupakan daar al kufri, mengkafirkan
penduduk Makkah, Madinah dan Syam serta penduduk Mesir, bahkan dalam menyatakan
hal itu mereka menisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan
menganggap bagian dari ajaran agama. Pernyataan-pernyataan ini terdapat dalam
kitab-kitab induk yang mereka jadikan rujukan, seperti kitab Al Kaafi, Bihar Al
Anwar, Tafsir Al Qumi, Tafsir Al ‘Iyasyi, Al Burhan dan kitab-kitab lainnya.
Selanjutnya mereka tidak akan menerima
semua ulama dari kalangan Ahlisunnah dan menolak semua kitab-kitab shahih maupun
sunan, baik Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasa’I, Abu Hanifah, Malik, As
Syafi’I, Ibnu Hanbal, begitu juga mereka tidak akan menerima Khalid bin Walid,
Sa’ad bin Abi Waqqash, Umar bin Abdul Aziz, Musa
bin Nushair, Nuruddin Mahmud, Shalahuddin, Qutuz, tidak juga Muhammad
Al Fatih, dan seterusnya.
Hasilnya, mereka mengesampingkan para
sahabat, tabi’in, kitab-kitab hadits dan tafsir, karena mereka mengadopsi
perkataan-perkataan yang dinisbatkan kepada para imam, meskipun dari segi
riwayat sangat lemah. Karena itu, muncul berbagai macam bid’ah mungkarah,
baik dalam masalah akidah, ibadah, mu’amalat serta dalam masalah lainnya. Disini,
kami tidak bertujuan membahas bid’ah-bid’ah tersebut, karena pembahasan ini
membutuhkan banyak kitab, tetapi kami akan mengarahkan kepada pokok
permasalahan, sehingga kita paham karakternya, jika tidak maka pembahasan kita
akan melebar, seperti pembahasan seputar bid’ah taqiyah, raj’ah, pernyataan
terhadap pendistorsian Al Qur’an, keyakinan yang rusak terhadap Allah dan
bid’ah-bid’ah rusak lainnya yang mereka lakukan, bid’ah tentang peringatan hari
terbunuhnya Imam Husain, serta ribuan bid’ah-bid’ah yang menjadi prinsip ajaran
sekte Syiah Itsna Asyariyah.
Semua yang telah kami sebutkan adalah
bagian dari ajaran Syiah Itsna Asyariyah, selain sekte ini disana juga masih
banyak sekte yang masih eksis dalam periode sejarah, khususnya di periode yang
dikenal dalam sejarah dengan peeriode “Khirah As Syi’ah” (masa
kebingungan Syi’ah), yang dimulai pada pertengahan abad ketiga Hijriyah,
setelah wafatnya Al Hasan Al Askari (imam ke sebelas mereka).
Di awal periode ini, mulai bermunculan
tulisan-tulisan dan kitab-kitab yang menetapkan keyakinan dan
pemikiran-pemikiran mereka. Ajaran ini tersebar luas di negeri Persia (Iran)
khususnya, dan di negeri-negeri Islam lainnya, tetapi tanpa mmiliki daulah demi
membangun pemikiran mereka secara resmi. Di akhir abad ketiga dan permulaan
abad ke empat Hijriyah, terjadi perkembangan yang sangat membahayakan, karena
di sebagian wilayah, Syiah sudah merambah ke dalam pemerintahan, inilah yang
menimbulkan dampak buruk terhadap umat Islam.
Kita kembali kepada kaidah Ushul bahwa menilai sesuatu adalah bagian dari tashawwur (cara pandang) kita terhadapnya, karena di dalam menetapkan suatu perkara atau
permasalahan harus diawali dengan pengetahuan, setelah pengetahuan yang benar di
dapat, baru kita dapat menyatakan ini boleh dan ini tidak, atau yang lebih
utama ini dan ini, sebab pernyataan yang hanya berdasarkan perasaan akan
menimbulkan kerusakan. (Nisyi/Syiahindonesia.com)
Sumber: As-Syiah Nidhol am Dholal oleh DR. Raghib As Sirjani.
1. Sejarah Perkembangan Syiah (Lengkap) Bag. 1
2. Sejarah Perkembangan Syiah (Lengkap) Bag. 2
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: