Syiahindonesia.com - Setelah memaparkan asal-usul Syiah dengan singkat, padat dan akurat, kini Prof. Rasjidi melanjutkan pembahasannya pada aspek perpecahan yang terjadi pada internal Syiah disertai penyebabnya. Menurut peletak dasar Kementrian Agama ini, golongan Syiah tidak merupakan satu kesatuan alias bercerai berai antara satu dengan lainnya, penyebabnya adalah (1) karena mereka berbeda dalam ajaran-ajarannya, ada yang mendewa-dewakan para Imam dan mengkafirkan pihak lain (takfir), namun ada pula yang moderat dan hanya menganggap keliru terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengannya, dan (2) karena keturunan Ali radhiallau ‘anhu (RA) dan putranya banyak, maka sering terjadi perbedaan dalam menentukan mana yang menjadi imam dan mana yang tidak, (hlm. 7).
Untuk menopang pendapatnya, Prof. Rasjidi menyertekan kutipan gambar geneologi Ali (RA), (hlm. 8). Ia juga menjelaskan bahwa kelompok-kelompok Syiah sudah banyak yang telah punah setelah melalui proses seleksi alam dan waktu yang alami, dan kini hanya tinggal dua golongan besar, yaitu Syiah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah, (hlm. 9).
Untuk itulah pengetahuan mengenai dua golongan di atas mutlak dimiliki jika ingin mengenal Syiah secara komprehensif. Rasjidi menulis, dinamakan Syiah Imamiyah karena yang menjadi dasar akidah mereka adalah soal Imam—dalam arti Khalifah. Mereka mengatakan bahwa Ali berhak menjadi khalifah, bukan hanya karena kecakapannya atau sifat-sifat yang disebutkan namanya oleh Rasulullah. Imam pertama adalah Ali, kemudian Hasan, lalu Husain. Mengenal nama para imam termasuk rukun iman. Dan, oleh sebab Ali telah ditunjuk dengan menyebutkan namanya oleh Nabi, maka Abu Bakar dan Umar adalah orang yang merampas hak khalifah dan telah bertindak zalim. Ada pun kelompok Zaidiyah dari Yaman adalah lebih moderat, bagi mereka Rasulullah tidak menunjuk Ali dengan menyebut namanya, akan tetapi hanya dengan deskripsi. Oleh sebab itu, mereka tidak menghukum Abu Bakar dan Umar. Bagi Zaidiyah, khalifah Abu Bakar dan Umar sah, walaupun Ali lebih utama, (hlm. 10).
Ada pun Syiah Imamiyah yang terpenting adalah aliran Itsna ‘Asyariah, alias twelvers, alias dua belas. Karena bagi aliran sempalan ini, Imam itu jumlahnya dua belas, yang pertama adalah Imam Ali dan diakhiri dengan Al-Mahdi yang hilang pada tahun 260 H, dan akan muncul kembali pada akhir zaman untuk menyiarkan keadilan dan memusnahkan kezaliman. Penting diketahui bahwa kelompok Syiah Itsna ‘Asyariah mulai bertapak dengan kokoh di Iran ketika Ismail Shafawi (meninggal 24 Mei 1524 M) jadi penguasa, ia lantas menjadikan aliran Itsna ‘Asyariah sebagai agama—Rasjidi sendiri kadang menyebut Syiah sebagai agama atau kelompok—resmi negara, dan mereduksi aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dinasti Shafawi lalu dihapuskan oleh Nadirsyah pada tanggal 26 Februari 1737, namun Syiah Itsna ‘Asyariah tetap menjadi agama resmi negara, (hlm. 11).
Rasjidi lalu memaparkan dengan gamblang akidah Imamiyah, dengan berpedoman pada kitab rujukan utama agama Syiah yaitu kitab Al-Kafi karangan Al-Kulaini. Ia adalah Al-Bukhari dalam kalangan Ahlussunnah, kitab tersebut terdiri dari 3 jilid, yang pertama adalah akidah (ushul) dan yang lainnya adalah furu’ (cabang), (hlm. 13).
Berikut sebagian dalil-dalil terkait pokok-pokok akidah Syiah menyangkut imamah, (1) Abu Ja’far berkata, “Kami ini sumber pengetahuan Allah, penerjemah wahyu, bukti yang nyata bagi manusia, antara langit dan bumi,” (Al-Kafi, Cetakan Pertama: Persia, tahun 1281 H, hlm. 88); (2) Para Imam adalah paku-paku bumi agar jangan menggoyangkan penduduknya. Mereka adalah bukti nyata bagi makhluk yang berada di atas bumi atau di bawahnya, (Ibid., hlm. 93); (3) Para Imam itu memiliki semua kitab yang diturunkan Allah. Mereka memahami semuanya, walaupun dengan bahasa asing, (Ibid., h. 107); (4) Para Imam itu jika ingin mengetahui sesuatu, Allah menunjukkan kepada mereka. Mereka tahu kapan mereka akan mati, dan mereka menetapkan saat kematian mereka sendiri, (Ibid., hlm. 125); (5) Allah Ta’ala tidak mengajarkan sesuatu hal kepada Nabi Muhammad, kecuali itu Ia memerintahnya agar pengetahuan itu diajarkan kepada Ali, karena Ali adalah partnernya dalam ilmu, (Ibid., hlm. 27); (6) Setiap Imam meninggalkan kepada Imam berikutnya kitab, ilmu dan senjata, (Ibid., hlm. 133), dan banyak lagi hadis-hadis sedemikian rupa yang dikutif oleh Prof. Rasjidi.
Di antara sekian dalil, ada yang pasti membuat pendirian kita semakin mantap bahwa Syiah, sebagaimana pandangan Rasjidi yang dikutif dari Al-Kafi adalah agama lain karena memiliki Kitab Suci yang beda dengan Al-Qur’an, padahal salah satu dari—sedikitnya—tiga pilar utama yang menjadikan seorang layak disebut muslim menurut Al-Gazali adalah memiliki kitab yang sama, selain Tuhan dan Nabi. Ini kata Al-Kulaini tentang Kitab orang Syiah, “Wa ‘indahu mushaf fathimah, wa fihi mitslu qur’anina tsalatsa marrah, wa laysa fihi min qur’anina harfun wahidun,” yang artinya, “Para Imam itu memiliki Mushaf Fatimah. Besarnya tiga kali lipat Al-Qur’an biasa dan tidak mengandung satu huruf pun dari Qur’an yang ada,” (Ibid., hlm. 115). Sekali lagi, dalil ini menegaskan bahwa selama ini, Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada Rasulullah dengan perantaraan Jibril ‘alaihissalam yang hingga kini masih menjadi pedoman untuk umat Islam aliran Ahlussunnah, yang masyhur dengan sebutan ‘Al-Qur’anul Karim’ atau sebutan lain sebagai ‘Mushaf Utsmani’—mengambil seting sejarah kompilasi yang diprakarsai oleh Khalifah Utsman—tidak ada hubungannya sama sekali, walau satu huruf sekalipun dengan mushaf atau kitab Al-Qur’an milik agama Syiah.
Terkait Imamah dan dalil-dalilnya, Prof. Rasjidi menulis satu pembahasan khusus dengan menyebutnya sebagai “Evaluasi”, sebagai ulama lulusan Timur Tengah (Al-Azhar, Mesir) sekaligus ilmuan produk Barat (Sorbone, Prancis dan McGill Canada) tentu saja Rasjidi memadukan pembahasannya antara ilmu naqli (wahyu) dan aqli (nalar). Rasjidi berkesimpulan bahwa Imam bagi Syiah berasal-usul lebih tinggi daripada asal manusia. Ia tidak bertanggungjawab tentang apa yang ia lakukan, karena segala yang ia lakukan itu baik, dan apa yang ia larang itu jahat. Shalat, shaum, zakat, dan haji tak akan berfaedah kecuali jika didasari dengan iman kepada Imam, sebagaimana amal orang kafir tidak akan berfaedah karena ia tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, (hlm. 31).
Oleh karena itu, Rasjidi menegaskan bahwa pandangan mengenai Imam itu ma’shum berarti kita manusia, tidak dibolehkan berfikir tentang masyarakat dan negara. Pandangan bahwa manusia harus cinta kepada keluarga Nabi, menghormati mereka setinggi-tingginya, tidak sesuai dengan hukum alam. Di dunia itu, Allah tidak menciptakan suatu keluarga yang semua anggotanya merupakan orang-orang yang dari segala segi dan dari segala generasi sempurna seluruhnya. Setiap keluarga, tentu ada yang pandai ada pula yang kurang pandai, ada yang berbudi sangat luhur ada pula yang tengah-tengah, malahan ada keluarga yang baik tetapi memiliki keturunan yang moralnya rendah. Ia lantas mengutif beberapa dalil, seperti cerita tentang dua anak Nabi Adam (Habil dan Qabil) yang berkurban, satu diterima dan satunya lagi tidak, ada yang saleh ada pula yang salah, (Al-Maidah: 27); kisah Nabi Ibrahim dengan bapaknya sekaligus menjadi musuhnya, (At-Taubah: 14); tentang istri Nabi Nuh dan Nabi Luth yang berkhianat pada suaminya, (At-Tahrim: 10); Nabi Nuh dan anaknya yang membangkang, tidak mau menuruti ajakan ayahnya untuk ikut bersama orang-orang beriman, (Huud: 46), (hlm. 31-32).
Bagi Rasjidi, dalil-dalil di atas menunjukkan dengan gamblang bahwa kerabat atau keturunan tak ada hubungannya dalam mengevaluasi manusia. Kebaikan budi pekerti, takwa, dan pengetahuan tak dapat diwariskan seperti harta benda. Ada hukum alam, yang khusus tentang cara mewarisi budi pekerti, kecakapan, dan pengetahuan. Ketinggian ajaran Islam mengatakan bahwa manusia dihargai menurut pekerjaannya (akhlak), bukan menurut keturunan atau kekayaannya, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat balasan nya pula”, (Al-Zalzalah: 7-8).
Singkat kata, menurut Rasjidi, ‘bahwa Imam itu ma’shum, dan percaya kepada Imam akan menghapus segala dosa, adalah akidah yang sangat bertentangan dengan Islam’. Jika sekiranya Ali itu ma’shum, mengetahui yang gaib, tentu saja sejarah akan lain keadaannya. Padahal, Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa Nabi Muhammad saja pernah berkata, “Walau kuntu a’lamul ghaiba lastaktsartu minal khaer, [Seandainya aku mengetahui barang ghaib, niscaya aku akan memperbanyak hal-hal yang baik]”, (Al-A’Raf: 188), (hlm. 35).
Oleh karena itu, konsep imamah yang selama ini dipertentangkan oleh para ulama maupun sufaha, semestinya sudah selesai dengan adanya keterangan di atas. Imamah bagi Syiah bukanlah masalah furu’ (ranting) akan tetapi bagian dari akidah (ushul). Syiah Imamiyah yang kini menjadi anutan resmi Negara Iran dan sedang berkembang secara masif dan massal di Indonesia, tak terkecuali Makassar, menegaskan bahwa tidak ada agama tanpa Imamah, dan siapa saja yang tak mengenal imam maka pasti dia tidak beriman dan matinya mati jahiliah alias mati dalam keadaan kafir. (Bersambung). (Ilham Qadir/lppimakassar.com/syiahindonesia.com)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Untuk menopang pendapatnya, Prof. Rasjidi menyertekan kutipan gambar geneologi Ali (RA), (hlm. 8). Ia juga menjelaskan bahwa kelompok-kelompok Syiah sudah banyak yang telah punah setelah melalui proses seleksi alam dan waktu yang alami, dan kini hanya tinggal dua golongan besar, yaitu Syiah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah, (hlm. 9).
Untuk itulah pengetahuan mengenai dua golongan di atas mutlak dimiliki jika ingin mengenal Syiah secara komprehensif. Rasjidi menulis, dinamakan Syiah Imamiyah karena yang menjadi dasar akidah mereka adalah soal Imam—dalam arti Khalifah. Mereka mengatakan bahwa Ali berhak menjadi khalifah, bukan hanya karena kecakapannya atau sifat-sifat yang disebutkan namanya oleh Rasulullah. Imam pertama adalah Ali, kemudian Hasan, lalu Husain. Mengenal nama para imam termasuk rukun iman. Dan, oleh sebab Ali telah ditunjuk dengan menyebutkan namanya oleh Nabi, maka Abu Bakar dan Umar adalah orang yang merampas hak khalifah dan telah bertindak zalim. Ada pun kelompok Zaidiyah dari Yaman adalah lebih moderat, bagi mereka Rasulullah tidak menunjuk Ali dengan menyebut namanya, akan tetapi hanya dengan deskripsi. Oleh sebab itu, mereka tidak menghukum Abu Bakar dan Umar. Bagi Zaidiyah, khalifah Abu Bakar dan Umar sah, walaupun Ali lebih utama, (hlm. 10).
Ada pun Syiah Imamiyah yang terpenting adalah aliran Itsna ‘Asyariah, alias twelvers, alias dua belas. Karena bagi aliran sempalan ini, Imam itu jumlahnya dua belas, yang pertama adalah Imam Ali dan diakhiri dengan Al-Mahdi yang hilang pada tahun 260 H, dan akan muncul kembali pada akhir zaman untuk menyiarkan keadilan dan memusnahkan kezaliman. Penting diketahui bahwa kelompok Syiah Itsna ‘Asyariah mulai bertapak dengan kokoh di Iran ketika Ismail Shafawi (meninggal 24 Mei 1524 M) jadi penguasa, ia lantas menjadikan aliran Itsna ‘Asyariah sebagai agama—Rasjidi sendiri kadang menyebut Syiah sebagai agama atau kelompok—resmi negara, dan mereduksi aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dinasti Shafawi lalu dihapuskan oleh Nadirsyah pada tanggal 26 Februari 1737, namun Syiah Itsna ‘Asyariah tetap menjadi agama resmi negara, (hlm. 11).
Rasjidi lalu memaparkan dengan gamblang akidah Imamiyah, dengan berpedoman pada kitab rujukan utama agama Syiah yaitu kitab Al-Kafi karangan Al-Kulaini. Ia adalah Al-Bukhari dalam kalangan Ahlussunnah, kitab tersebut terdiri dari 3 jilid, yang pertama adalah akidah (ushul) dan yang lainnya adalah furu’ (cabang), (hlm. 13).
Berikut sebagian dalil-dalil terkait pokok-pokok akidah Syiah menyangkut imamah, (1) Abu Ja’far berkata, “Kami ini sumber pengetahuan Allah, penerjemah wahyu, bukti yang nyata bagi manusia, antara langit dan bumi,” (Al-Kafi, Cetakan Pertama: Persia, tahun 1281 H, hlm. 88); (2) Para Imam adalah paku-paku bumi agar jangan menggoyangkan penduduknya. Mereka adalah bukti nyata bagi makhluk yang berada di atas bumi atau di bawahnya, (Ibid., hlm. 93); (3) Para Imam itu memiliki semua kitab yang diturunkan Allah. Mereka memahami semuanya, walaupun dengan bahasa asing, (Ibid., h. 107); (4) Para Imam itu jika ingin mengetahui sesuatu, Allah menunjukkan kepada mereka. Mereka tahu kapan mereka akan mati, dan mereka menetapkan saat kematian mereka sendiri, (Ibid., hlm. 125); (5) Allah Ta’ala tidak mengajarkan sesuatu hal kepada Nabi Muhammad, kecuali itu Ia memerintahnya agar pengetahuan itu diajarkan kepada Ali, karena Ali adalah partnernya dalam ilmu, (Ibid., hlm. 27); (6) Setiap Imam meninggalkan kepada Imam berikutnya kitab, ilmu dan senjata, (Ibid., hlm. 133), dan banyak lagi hadis-hadis sedemikian rupa yang dikutif oleh Prof. Rasjidi.
Di antara sekian dalil, ada yang pasti membuat pendirian kita semakin mantap bahwa Syiah, sebagaimana pandangan Rasjidi yang dikutif dari Al-Kafi adalah agama lain karena memiliki Kitab Suci yang beda dengan Al-Qur’an, padahal salah satu dari—sedikitnya—tiga pilar utama yang menjadikan seorang layak disebut muslim menurut Al-Gazali adalah memiliki kitab yang sama, selain Tuhan dan Nabi. Ini kata Al-Kulaini tentang Kitab orang Syiah, “Wa ‘indahu mushaf fathimah, wa fihi mitslu qur’anina tsalatsa marrah, wa laysa fihi min qur’anina harfun wahidun,” yang artinya, “Para Imam itu memiliki Mushaf Fatimah. Besarnya tiga kali lipat Al-Qur’an biasa dan tidak mengandung satu huruf pun dari Qur’an yang ada,” (Ibid., hlm. 115). Sekali lagi, dalil ini menegaskan bahwa selama ini, Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada Rasulullah dengan perantaraan Jibril ‘alaihissalam yang hingga kini masih menjadi pedoman untuk umat Islam aliran Ahlussunnah, yang masyhur dengan sebutan ‘Al-Qur’anul Karim’ atau sebutan lain sebagai ‘Mushaf Utsmani’—mengambil seting sejarah kompilasi yang diprakarsai oleh Khalifah Utsman—tidak ada hubungannya sama sekali, walau satu huruf sekalipun dengan mushaf atau kitab Al-Qur’an milik agama Syiah.
Terkait Imamah dan dalil-dalilnya, Prof. Rasjidi menulis satu pembahasan khusus dengan menyebutnya sebagai “Evaluasi”, sebagai ulama lulusan Timur Tengah (Al-Azhar, Mesir) sekaligus ilmuan produk Barat (Sorbone, Prancis dan McGill Canada) tentu saja Rasjidi memadukan pembahasannya antara ilmu naqli (wahyu) dan aqli (nalar). Rasjidi berkesimpulan bahwa Imam bagi Syiah berasal-usul lebih tinggi daripada asal manusia. Ia tidak bertanggungjawab tentang apa yang ia lakukan, karena segala yang ia lakukan itu baik, dan apa yang ia larang itu jahat. Shalat, shaum, zakat, dan haji tak akan berfaedah kecuali jika didasari dengan iman kepada Imam, sebagaimana amal orang kafir tidak akan berfaedah karena ia tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, (hlm. 31).
Oleh karena itu, Rasjidi menegaskan bahwa pandangan mengenai Imam itu ma’shum berarti kita manusia, tidak dibolehkan berfikir tentang masyarakat dan negara. Pandangan bahwa manusia harus cinta kepada keluarga Nabi, menghormati mereka setinggi-tingginya, tidak sesuai dengan hukum alam. Di dunia itu, Allah tidak menciptakan suatu keluarga yang semua anggotanya merupakan orang-orang yang dari segala segi dan dari segala generasi sempurna seluruhnya. Setiap keluarga, tentu ada yang pandai ada pula yang kurang pandai, ada yang berbudi sangat luhur ada pula yang tengah-tengah, malahan ada keluarga yang baik tetapi memiliki keturunan yang moralnya rendah. Ia lantas mengutif beberapa dalil, seperti cerita tentang dua anak Nabi Adam (Habil dan Qabil) yang berkurban, satu diterima dan satunya lagi tidak, ada yang saleh ada pula yang salah, (Al-Maidah: 27); kisah Nabi Ibrahim dengan bapaknya sekaligus menjadi musuhnya, (At-Taubah: 14); tentang istri Nabi Nuh dan Nabi Luth yang berkhianat pada suaminya, (At-Tahrim: 10); Nabi Nuh dan anaknya yang membangkang, tidak mau menuruti ajakan ayahnya untuk ikut bersama orang-orang beriman, (Huud: 46), (hlm. 31-32).
Bagi Rasjidi, dalil-dalil di atas menunjukkan dengan gamblang bahwa kerabat atau keturunan tak ada hubungannya dalam mengevaluasi manusia. Kebaikan budi pekerti, takwa, dan pengetahuan tak dapat diwariskan seperti harta benda. Ada hukum alam, yang khusus tentang cara mewarisi budi pekerti, kecakapan, dan pengetahuan. Ketinggian ajaran Islam mengatakan bahwa manusia dihargai menurut pekerjaannya (akhlak), bukan menurut keturunan atau kekayaannya, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat balasan nya pula”, (Al-Zalzalah: 7-8).
Singkat kata, menurut Rasjidi, ‘bahwa Imam itu ma’shum, dan percaya kepada Imam akan menghapus segala dosa, adalah akidah yang sangat bertentangan dengan Islam’. Jika sekiranya Ali itu ma’shum, mengetahui yang gaib, tentu saja sejarah akan lain keadaannya. Padahal, Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa Nabi Muhammad saja pernah berkata, “Walau kuntu a’lamul ghaiba lastaktsartu minal khaer, [Seandainya aku mengetahui barang ghaib, niscaya aku akan memperbanyak hal-hal yang baik]”, (Al-A’Raf: 188), (hlm. 35).
Oleh karena itu, konsep imamah yang selama ini dipertentangkan oleh para ulama maupun sufaha, semestinya sudah selesai dengan adanya keterangan di atas. Imamah bagi Syiah bukanlah masalah furu’ (ranting) akan tetapi bagian dari akidah (ushul). Syiah Imamiyah yang kini menjadi anutan resmi Negara Iran dan sedang berkembang secara masif dan massal di Indonesia, tak terkecuali Makassar, menegaskan bahwa tidak ada agama tanpa Imamah, dan siapa saja yang tak mengenal imam maka pasti dia tidak beriman dan matinya mati jahiliah alias mati dalam keadaan kafir. (Bersambung). (Ilham Qadir/lppimakassar.com/syiahindonesia.com)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: