Oleh: Kholili Hasib
SEJAK dikeluarkan buku panduan berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia” yang diterbitkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, kelompok Syiah sudah nampak kepanikannya. Setidaknya ini terlihat dengan berbagai usaha dan aksi-aksi menangkal sikap MUI.
Namun begitu berganti pemerintahan baru, komunitas Syiah Indonesia makin menunjukkan ‘kenekatannya’. Terkadang, muncul pernyataan-pernyataan yang tidak rasional dan emosional.
Seperti pada Kamis lalu (27/11/2014), Muhsin Labib, tokoh Syiah menyebut para ulama Sunni sebagai ‘badut’. “Ada sekelompok badut-badut yang ingin membubarkan. Mereka kuper dan tidak gaul,”ujar Muhsin dalam sebuah acara yang diadakan ABI (Ahlul Bait Indonesia) di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta. [Baca: Muhsin Labib Sebut Ulama Yang Menyesatkan Syiah Adalah Badut]
Pada kesempatan itu, tokoh Syiah alumni Qum Iran ini secara terang-terangan menyebut ulama yang menyesatkan Syiah sebagai ulama yang berpikiran sempit dan pemikirannya terbatas.
Siapa yang disebut Muhsin badut? Tidak lain para ulama yang telah memfatwakan sesat ajaran Syiah. Pernyataan dosen UIN Jakarta sungguh tidak patut. Kita semua tahu, mayoritas ulama telah menyatakan Syiah sebagai ajaran sesat. Dengan logika itu, berarti dari ulama madzhab empat, pendiri NU (Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari), MUI sampai ulama Madura semuanya (dalam logika Muhsin), semuanya adalah badut.
Sejak dahulu kehadiran Syiah selalu ditolak para ulama. Pada perang Salib mereka menjadi duri kaum Muslimin. Prof. Ali Muhammad al-Shalabi menceritakan peran Imam al-Ghazali dalam menghalau Syiah.
Beliau mengatakan: “Imam al-Ghazali dengan pemikirannya yang mendalam, serta pengharuhnya yang luas, telah mampu memberikan peranan kuat dalam melawan gerakan Syiah Batiniyah dan mendolong madzhab Ahlus Sunnah. Imam al-Ghazali telah mampu meletakkan ilmu-ilmu syariat dan ilmu logika yang dimilikinya sesuai porsinya; sehingga hal itu merupakan metode yang kuat untuk mencabut dan meruntuhkan Syiah Batiniyah sampai ke akar-akarnya” (Ali Muhammad al-Shalabi,Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis, hal. 219).
Dilaporkan dalam buku itu, betapa imam al-Ghazali yang ahli tasawuf menunjukkan keberanian yang tinggi dalam menegakkan kebenaran dan melawan kebatilan Syiah pada masa itu. Imam al-Ghazali membuka kedok Syiah dengan menunjukkan kotradiksi dan pemikiran Syiah. Dan membukan tabir kejahatan perilaku pengikutnya yang merugikan umat Islam pada saat Perang Salib I. Syaikh Yusuf Nabhani dalam kitab Syawahidul Haq membeber sejumlah ulama yang memfatwakan Syiah sesat.
Kurang lebih 50 ulama Madura yang tergabung dalam organisasi BASSRA (Badan Silaturahim Ulama Pesantren Madura) pada tahun 2012 mengeluarkan fatwa sesat ajaran Syi’ah yang dibawa Tajul Muluk. Mereka adalah ulama-ulama terhormat yang memiliki pesantren. Ulama yang tergabung dalam organisasi ini bukan orang bodoh, bukan pula ulama yang gila jabatan. Lihatlah, mereka memperjuangkan Ahlus Sunnah sampai ke pemerintah pusat, PBNU dan MUI.
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, figure sentral dalam jama’iyyah NU, tidak kalah tegas menyesatkan Syiah. Beliau mengatakan: “Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun madzhab yang lain seperti madzhab Syiah Imamiyyah dan Syiah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti” (Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, halaman 9).
Dalam kitab tersebut, beliau mengecam golongan Syiah yang mencaci bahkan mengkafirkan Sahabat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Mengutip hadis yang ditulis Ibnu Hajar dalam Al-Shawa’iq al-Muhriqah, Syeikh Hasyim Asy’ari menghimbau agar para ulama’ yang memiliki ilmu untuk meluruskan penyimpangan golongan yang mencaci sahabat Nabi Saw itu.
Hadis Nabi Saw yang dikuti itu adalah: “Apabila telah nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap Sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu untuk meluruskan golongan yang mencaci Sahabat) maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia”.
Warga Nahdliyyin terutama Madura jelas tersinggung oleh Muhsin Labib. Menyebut ulama sebagai badut adalah pelecehan. Ia harusnya meminta maaf terhadap ulama NU dan Madura. Bagaimana bisa seorang doktor bidang filsafat mengeluarkan statemen kasar dan emosional. Semestinya seorang doktor filsafat berbicara dengan landasan-landasan berpikir mantiqi (rasional), terstruktur dan tidak emosional.
Jika tidak terima dengan fatwa ulama yang menyesatkan Syiah, tunjukkan argument-argumen dan buat proposisi-proposisi yang menunjukkan kesalahan fatwa ulama tersebut. Dari sisi mana kelirunya? Dalil, istinbath hukum nya, ataukah dari data-data yang dimiliknya? Semua perangkat dasar ini tidak ditunjukkannya. Artinya keseluruhan argumennya tidak dapat diterima. Jika tanpa perangkat dasar berargumen ini tidak diajukan, maka soerang siswa SMA pun tidak diragukan mampu melakukan seperti statemen Muhsin Labib.
Karena dia seorang doktor bidang filsafat, maka emosional dan tidak rasional semestinya ia hindari. Akan tetapi, ternampak akhir-akhir ini panik, meski mendapatkan ‘kran’ untuk melebarkan sayapnya.
Namun, memang paradigma berpikir Syiah berasas dari pelecehan dan kebencian. Dalam kitab “al-Syiah Hum Ahlus Sunnah” dikatakan bahwa empat imam madzhab fikih Ahlus Sunnah menurut Syiah adalah kafir (Muhammad al-Tijani, al-Syiah Hum Ahlus Sunnah). Aliran ini dibangun atas dasar kebencian politis terhadap Sahabat Abu Bakar dan Umar. Sehingga kebencian terhadap mereka menjadi pandangan hidupnya. Hari ini, klaim-klaim kaum Syiah bahwa mereka tidak lagi melecehkan Sahabat Nabi Saw terbukti tidak benar. Tradisi melecehkan ini susah ditinggalkan meski dibungkus dengan rapi dan halus namun pasti akan ternampak dalam hati mereka kebencian. (hidayatullah.com/syiahindonesia.com)
Penulis adalah Anggota MIUMI Jawa Timur
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: