Pengikut Syiah meratapi kematian Husain cucu Nabi saw |
Untuk melengkapi analisa kita tentang keyakinan Syiah terhadap imamah, dalam edisi ini akan ditampilkan pula berbagai data tentang ‘ishmah (kemaksuman) para imam menurut keyakinan Syi’ah. Selamat menyimak !!!
Keyakinan Syiah Tentang ‘Ismah Imamah (1)
‘Ishmah al- Imam (keterjagaan para Imam dari segala salah, lupa dan dosa) di antara doktrin Syiah yang paling pokok. Doktrin ini merupakan salah satu fondasi ajaran mereka, sekaligus sebagai penunjang bagi doktrin imamah. Bagi Syiah, ‘Ishmah al-Imam memiliki arti penting, karena tanpa doktrin ini, maka doktrin-doktrin dan keyakinan-keyakinan yang lain bisa pudar. Tanpa doktrin ini, penyanjungan yang setinggi langit kepada para Imam mereka juga tidak akan memiliki banyak arti.
Dalam Syiah, ‘Ishmah berarti kepercayaan bahwa para Imam Syiah telah dijamin oleh Allah SWT. dari segala bentuk perbuatan salah, lupa, dan dosa. Jadi, menurut Syiah, dalam hal ini Imam-Imam Syiah tidak berbeda dengan para Nabi, yang juga memiliki sifat ‘ishmah. Sebab jika ‘ishmah tidak ada pada para Imam, maka akan timbul keragu-raguan terhadap ajaran-ajaran yang mereka bawa.
Untuk lebih dapat memahami arti, posisi, dan urgensitas doktrin ‘Ishmah al- Imam bagi Syiah, berikut kami kemukakan sebagian dari pernyataan-pernyataan para tokoh Syiah tentang doktrin ini:
a. Al-Majlisi (w. 1111 H) dalam Bihar al-Anwar, mengemukakan arti ‘ishmah sebagai berikut:
إعْلَمْ أنَّ الإمَامِيَّةَ اتَّفَقُوْا عَلَى عِصْمَةِ الأَئِمَّةِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ مِنَ الذُّنُوْبِ صَغِيْرِهَا وَكَبِيْرِهَا, فَلَا يَقَعُ مِنْهُمْ ذُنْبٌ أَصْلاً, لَاعَمْدًا وَلَا نِسْيَانًا وَلَا لِخَطَأٍ فِيْ التَّأْوِيْلِ وَلَا لِلإِسْهَاءِ مِنَ اللهِ سُبْحَانَهُ.
Perlu diketahui bahwa Syiah Imamiyah telah bersepakat jika para Imam adalah terjaga dosa, baik yang kecil maupun yang besar. Karena itu, mereka tidak akan pernah mengerjakan dosa sama sekali, baik sengaja atau lupa, juga tidak akan mengerjakan kekekeliruan disebabkan salah presepsi (terhadap nash), dan bukan karena dibuat lupa oleh Allah SWT.[1]
b. Al-Mufid dalam Awa’il al-Maqalat menyatakan:
إنَّ الاَئِمَّةَ القَائِمِيْنَ مَقَامَ الأَنْبِيَاءِ فِيْ تَنْفِيْذِ الأَحْكَامِ وَإِقَامَةِ الْحُدُوْدِ وَحِفْظِ الشَّرَائِعِ وَتَأْدِيْبِ الأَنَامِ مَعْصُوْمُوْنَ كَعِصْمَةِ الأَنْبِيَاءِ.
Sesungguhnya para Imam yang mengganti posisi para Nabi dalam melaksanakan hukum-hukum agama, menegakkan pidana, menjaga syariat dan mendidik umat, adalah orang-orang yang maksum (terjaga dari lupa, keliru dan dosa) sebagaimana para Nabi.[2]
c. Muhammad Ridha al-Muzhhar dalam ‘Aqa’id al-Imamiyah, mengungkapkan keyakinan tentang ‘Ishmah al-Imam sebagai berikut:
وَنَعْتَقِدُ أَنَّ الإِمَامَ كَالنَّبِيِّ, يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ مَعْصُوْمًا مِنْ جَمِيْعِ الرَّذَائِلِ وَالفَوَاحِشِ, مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ, مِنْ سِنِّ الطُّفُوْلَةِ إِلَى الْمَوْتِ عَمْدًا وَسَهْوًا, كَمَا يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ مَعْصُوْمًا مِنَ السَّهْوِ وَالخَطَإِ وَالنِّسْيَانِ.
Kami meyakini bahwa status Imam sama dengan Nabi, harus maksum (terjaga) dari segala kejelekan dan kekotoran, baik yang tampak maupun yang tidak, mulai dari masa kanak-kanak sampai meninggal, disengaja atau lupa, begitu pula ia wajib terjaga dari kelengahan, kekeliruan, dan lupa.[3]
d. Tokoh Syiah kontemporer, Muhammad Ali Kasyif al-Ghitha’, dalam kitab Ashl as-Syi’ah wa Ushuliha, juga mengatakan hal senada:
الإِمَامُ يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ مَعْصُوْمًا كَالنَّبِيِّ عَنِ الخَطَإِ وَالخَطِيْئَةِ.
Imam wajib terjaga (maksum) dari keliru dan dosa sebagaimana Nabi.[4]
Karena merupakan doktrin asasi, maka tidak aneh jika kemudian umat Syiah telah bersepakat (ijma’) bahwa para Imam adalah maksum, terjaga dari segala salah, lupa, dan dosa, kecil atau besar, sengaja atau tidak. Demikian antara lain seperti telah dijelaskan oleh tokoh-tokoh Syiah terkemuka di atas.
Dalam upaya memantapkan doktrin ‘Ishmah al-Imam, Syiah mengajukan berbagai argumen, baik dari al-Qur’an, hadis—buatan mereka—dan penalaran rasio. Di antara dalil Syiah yang dijadikan sebagai justifikasi atas keyakinan ini adalah firman Allah SWT. berikut:
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ (البقرة ]2[: 124)
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata, “(dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 124).
Jajaran pemuka Syiah telah bersepakat jika ayat ini merupakan dalil sharih (jelas dan tegas) atas ‘Ishmah al-Imam. Karena itu al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar (bab “Luzuum ‘Ishmat al-Imaam”), membuka kajian ‘Ishmah al-Imam dengan ayat tersebut. Selain al-Majlisi, tokoh-tokoh Syiah kontemporer semacam Muhsin al-Amin atau Husain Ali Kasyif al-Ghita’ dalam pembahasan ini tidak menampilkan ayat lain sebagai dalil, selain ayat ke-124 dalam surat al-Baqarah ini.[5]
Namun, di samping ayat ini, masih ada ayat lain yang juga dijadikan pegangan pokok oleh Syiah untuk memperkuat doktrin ‘Ishmah al-Imam, yakni ayat at-Tathhir (QS. Al-Ahzab [33]: 33), sebagai berikut:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (الأحزب ]33[: 33).
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab [33]: 33)
Sementara di antara hadis buatan Syiah yang menjadi landasan ‘Ishmah al-Imam adalah sebagai berikut:
عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْوَلِيدِ شَبَابٍ الصَّيْرَفِيِّ قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الاعْرَجُ قَالَ: دَخَلْتُ أَنَا وَسُلَيْمَانُ بْنُ خَالِدٍ عَلَى أَبِي عَبْدِ الله عَلَيْهِ السَّلام فَابْتَدَأَنَا فَقَالَ: يَا سُلَيْمَانُ مَا جَاءَ عَنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَيْهِ السَّلام يُؤْخَذُ بِهِ وَمَا نَهَى عَنْهُ يُنْتَهَى عَنْهُ جَرَى لَهُ مِنَ الْفَضْلِ مَا جَرَى لِرَسُولِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِه وَلِرَسُولِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِه الْفَضْلُ عَلَى جَمِيعِ مَنْ خَلَقَ اللهُ, الْمُعَيِّبُ عَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَيْهِ السَّلام فِي شَيْءٍ مِنْ أَحْكَامِهِ كَالْمُعَيِّبِ عَلَى الله عَزَّ وَجَلَّ وَعَلَ رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَالرَّادُّ عَلَيْهِ فِي صَغِيرَةٍ أَوْ كَبِيرَةٍ عَلَى حَدِّ الشِّرْكِ بِاللهِ, كَانَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عَلَيْهِ السَّلَامُ بَابَ اللهِ الَّذِي لا يُؤْتَى إِلا مِنْهُ, وَسَبِيلَهُ الَّذِي مَنْ سَلَكَ بِغَيْرِهِ هَلَكَ, وَبِذَلِكَ جَرَتِ الائِمَّةُ عَلَيْهم السَّلامُ وَاحِدٌ بَعْدَ وَاحِدٍ جَعَلَهُمُ اللهُ أَرْكَانَ الارْضِ أَنْ تَمِيدَ بِهِ وَالْحُجَّةَ الْبَالِغَةَ عَلَى مَنْ فَوْقَ الارْضِ وَمَنْ تَحْتَ الثَّرَى.
Ali bin Muhammad dan Muhammad bin al-Hasan, dari Sahl bin Ziyad, dari Muhammad bin al-Walid Syabab ash-Shairafi, ia berkata, “Said al-A’raj bercerita kepada kami, ia berkata: aku dan Sulaiman bin Khalid sowan kepada Abi ‘Abdillah (Ja’far ash-Shadiq, Imam Syiah ke-6), lalu beliau memulai berbicara: “Wahai Sulaiman, apa yang datang dari Amirul Mukminin, maka ambillah, dan apa yang dilarang oleh beliau, maka cegahlah. Keutamaan yang diberikan Allah kepadanya sama dengan keutamaan yang diberikan kepada Rasulullah SAW., sedangkan Rasulullah SAW. memiliki keutamaan yang melebihi semua makhluq Allah. Orang yang mencela sedikit saja dari hukum-hukum Amirul Mukminin berarti sama dengan mencela Allah dan Rasul-Nya, orang yang menolak kepada Amirul Mukminin, baik besar atau kecil, masuk dalam kategori menyekutukan Allah (syirik). Amirul Mukminin merupakan pintu Allah yang tidak ada pintu lain selainnya. Barang siapa melalui pintu selain pintu itu, maka ia akan binasa. Seperti itulah (sifat-sifat di atas) semua para Imam silih berganti, mudah-mudahan Allah SWT. menjadikan mereka sebagai pilar bumi agar tidak bergoncang, dan dijadikan sebagai dalil yang kokoh kepada penduduk bumi dan langit.[6]
Penalaran Syiah dari ayat 124 dalam surat al-Baqarah di atas adalah, bahwa mereka mengartikan kalimat ‘“Ahdii” dengan “Imamah”, di mana Allah SWT. telah menjauhkan Imam (‘ahd) dari perbuatan zalim: “laa yanaalu ‘ahdii azh-zhalimin”, berarti orang yang menyandang predikat imam harus mempunyai sifat maksum, yang dapat menjauhkan dirinya dari sifat zalim, sebab zalim tidak mungkin menjadi sifat bagi orang yang maksum. Sementara orang yang tidak maksum tentunya dapat berbuat zalim, baik pada dirinya atau pada orang lain. Syiah juga berpendapat bahwa orang yang pernah melakukan tindak kezaliman, kendati sudah bertaubat, ia tetap menyandang predikat zalim sampai meninggal.[7]
Sedangkan penalaran mereka terhadap ayat at-Tathhir (ayat 33) dalam surat al-Ahzab adalah, bahwa Allah SWT. berkehendak membersihkan Ahlul bait dari dosa dengan sebersih-bersihnya. Nah, ketika yang berkehendak sedemikian adalah Allah SWT, berarti Ahlul Bait telah dijauhkan dari segala perbuatan dosa, baik yang kecil apalagi yang besar, dengan unsur kesenjangan atau pun lupa, dan inilah arti ‘Ishmah yang dikehendaki oleh Syiah.[8]
Sementara secara rasional, Syiah menyatakan bahwa, kehadiran seorang pemimpin dalam suatu komunitas masyarakat, yang dapat menuntun dan mengarahkan mereka ke jalan yang lurus dan benar, merupakan suatu keniscayaan. Sebab setiap langkah yang diambil oleh masyarakat tidak akan lepas dari kesalahan dan kekeliruan. Karenanya, sifat maksum bagi pemimpin merupakan syarat mutlak. Andai seorang pemimpin tidak memiliki sifat maksum, maka pemimpin tersebut juga membutuhkan pemimpin lagi untuk membimbingnya, dan demikian seterusnya, sehingga terjadilah tasalsul (keadaan berantai yang tak berujung pangkal), dan itu mustahil terjadi. Di samping itu, al-Qur’an dan Hadits tidak bisa dijadikan pegangan tanpa ada orang yang dapat menunjukkan maksud dan tujuannya. Dan yang dapat melakukan semua itu hanyalah sang Imam.[9]
Tanggapan Umum
Hal yang perlu dimaklumi sebelumnya adalah, bahwa tidak ada nash (keterangan) yang secara jelas dan tegas (sharih) menunjukkan kemaksuman para Imam, seperti halnya tidak ada nash yang secara jelas dan tegas menunjukkan wasiat Nabi SAW. kepada Sayyidina Ali radiyallahu ‘anhu untuk menjadi khalifah penggantinya. Jadi, klaim maksud yang diberikan Syiah terhadap para Imam mereka hanyalah sebatas penafsiran terhadap nash semata, dan itu artinya kesimpulan yang ditampilkan tidak lepas dari subjektifitas Syiah.
Dari ayat pertama yang dijadikan dalil ‘Ishmah al-Imam (QS. Al-Baqarah [2]: 124), ada beberapa poin penting untuk ditinjau ulang. Pertama, kata “Ahd”. Dalam mengartikan kata ini, kalangan ulama salaf masih silang pendapat. Ibnu ‘Abbas (seorang Turjuman al-Qur’an dan Mufassir ulung dikalangan sahabat) dan Imam as-Sudi mengartikan kata ‘ahd dengan “kenabian”. Sedangkan Mujahid mengartikannya dengan Imamah. “Saya tidak menjadikan Imam Zalim sebagai panutan”.
Sementara Qotadah, Ibrahim an-Nakha’i, ‘Atha’, Hasan dan ‘Ikrimah mengartikan “’Ahd” dengan “rasa aman di akhirat”: “rasa aman dari Allah (‘Ahdu Allah) di akhirat tidak akan dicapai oleh orang-orang zalim. Di dunia, orang zalim bisa saja merasa aman dan hidup tenang.” Sedang kata zalim oleh pendapat ini diartikan dengan syirik. Pendapat ini, menurut Imam az-Zajjaj, merupakan pendapat yang baik. Sedangkan Imam ar-Rabi’ bin Anas bin Adh-Dhahhak mengartikan “’Ahd” dengan ad-Din (agama).
Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas adalah, bahwa para ulama tidak sepakat dalam mengartikan kata “’Ahd”, dan tidak ada satupun dari mereka yang mengartikannya dengan “Imamah”—yang searti dengan terminologi Syiah. Sementara Imam Mujahid, yang mengartikan ‘Ahd dengan Imamah, maka sebenarnya yang dikehendaki bukanlah “Imamah” sebagaimana yang dimaksudkan Syiah, akan tetapi Imamat al-‘Ilmi wa ash-Shalah (pemuka ilmu dan kebaikan).
Kedua, menggiring kata ‘ahd pada arti ‘Ishmah adalah penalaran yang sulit dipahami secara wajar. Sebab, andaipun kita memperkirakan kata tersebut memiliki arti ‘Ishmah, maka adalah tidak logis jika kemudian dikatakan bahwa “orang yang tidak zalim berarti maksum, tidak pernah keliru, lupa atau lalai”, seperti pemahan Syiah. Sebab jika demikian, maka penalarannya adalah seperti ini: “orang yang lupa atau berbuat kekeliruan berarti zalim”. Maka dapat kita lihat, bahwa kesimpulan ini tidak sejalan dengan dasar-dasar Islam, sebab terdapat jarak yang teramat lebar antara menetapkan ‘Ishmah dan menafikan kezaliman. Pasalnya, menafikan kezaliman berarti menetapkan keadilan (‘adalah), bukan ‘ishmah—sebagaimana pemahaman Syiah.[10]
Ketiga, klaim Syiah bahwa pelaku kezaliman tetap di cap sebagai zalim kendati sudah bertaubat, adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa kezaliman yang paling berat adalah syirik (menyekutukan Allah SWT), sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (لقمان ]31[: 13)
(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13).
Namun, betapa pun dinyatakan bahwa syirik adalah kezaliman yang paling berat, Allah SWT. tetap memberikan ampunan kepada orang kafir asli yang bersedia masuk ke dalam Agama Islam, sekira ia tidak mengulangi lagi perbuatan syirik atau kekafirannya. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ (الأنفال ]8[: 38).
Katakanlah kepada orang-orang kafir itu: “jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu. (QS. Al-Anfal [8]: 38).
Tanggapan Khusus Ayat ath-Tathhir
Ayat ath-Tathhir merupakan landasan paling asasi dari sekte Syiah untuk menjustifikasi doktrin ‘Ishmah al-Imam, selain juga digunakan sebagai pembenaran terhadap doktrin mereka, bahwa Ahlul Bait hanya tertentu kepada lima orang dari keluarga Rasulullah SAW., mengecualikan para istri beliau, sebagaimana akan kami jelaskan nanti pada sub bagian Syiah dan Ummahat al-Mu’minin. Ayat ath-Tathhir, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, adalah sebagai berikut:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (الأحزب ]33[: 33).
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab [33]: 33).
Penamaan Syiah terhadap ayat tersebut sebagai “ayat at-Tathhir” sebetulnya hanya sekadar spekulasi guna mengetahui. Sebab, ayat yang diklaim sebagai “ayat at-Tathhir” tersebut jelas bukan ayat yang sempurna, akan tetapi merupakan potongan dari ayat ke-33 dalam surat al-Ahzab. Secara tegas, awalan dari ayat tersebut merupakan khithab (sasaran pembicaraan) terhadap Ummahat al-Mu’minin (para istri Rasulullah SAW), begitu pula dengan akhirannya.
Maka tidak dapat dipungkiri bahwa ayat ke-33 dalam surat al-Ahzab itu memang ditujukan pada para istri Nabi SAW., yang oleh al-Qur’an juga disebut Ahlul Bait.
Namun bagaimanakah Syiah mengapresiasi dan menafsiri ayat di atas? Selain hanya mengambil potongan ayat (lari dari konteks/siyaq), lebih jauh, Syiah juga membuat potongan-potongan kecil untuk ayat tersebut, lalu mengartikan kata “wa yuthahhirukum” dengan “’Ishmah” (terjaga dari segala kekeliruan, sifat lupa dan perbuatan dosa). Kesimpulan yang mereka ambil adalah, bahwa Ahlul Bait memiliki sifat ‘ishmah. Bagi Syiah, Ahlul Bait disini tidak mencakup semua keluarga Nabi SAW., akan tetapi orang-orang tertentu yang ditunjuk oleh Syiah.
Melihat cara Syiah men-setting ayat (al-Ahzab: 33) agar dapat mereka tafsirkan sesuai dengan ideologi dan kepentingan mereka di atas, selanjutnya juga akan kita dapati, bahwa maksud dari ayat tersebut bertolak-belakang dengan maksud Syiah, dan sangat tidak pas untuk dijadikan sebagai dalil bagi ‘Ishmah al-Imam. Dengan demikian, maka Syiah perlu mencari ayat lain yang sesuai, dan itu takkan mereka temukan sampai kapanpun.
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1]Lihat, Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 25 hlm. 191
[2]Al-Mulfid, Awa’il al-Maqalat, hlm. 71
[3]Muahammad Ridha al-Muzhafar, ‘Aqai’id al’-Imamiyah, hlm. 91.
[4]Muhammad Ali Kasyif al-Ghita’, Ashl as-Syi’ah wa Ushuliha, hlm. 59
[5]Lihat, Al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 951
[6]Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 197
[7]Lihat, At-Thabrisi, Majma’ al-Bayan, juz 1 hlm. 201; ath-Thusi, at-Tibyan juz1 hlm. 449, atau al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 25 hlm. 191
[8]Tinjau kembali, Abdul Hadi al-Husaini, Ayat at-Tathhir wa ‘Alaqatuha bi ‘Ishmah al-A’immah, juz 2 hlm. 6
[9]Lihat, Ibn al-Muthahhar, Kasy al-Murad, hlm. 390-391.
[10] Al-Qifari, Ushul Madzhab as-Syi’ah Itsna ‘Asyariyah: ‘Ardh wa Naqdh, juz 2 hlm. 952-953.
(sigabah.com/syiahindonesia.com)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: