Syiahindonesia.com - Syiah dan Hadis (Tamat)
Sunah atau hadis, mempunyai sejarah yang unik dan panjang. Ia pernah mengalami masa transisi dari tradisi lisan ke tradisi tulisan. Pengkompilasiannya pun membutuhkan waktu yang cukup panjang. Sampai pada akhir abad ke-9 M, usaha pengkodifikasian tersebut dapat menghasilkan beberapa koleksi besar (kitab hadis) yang dianggap otentik, di samping sejumlah besar koleksi hadis lainnya.
Seleksi dan pengeditan koleksi kitab hadis tersebut, menimbulkan kontroversi berkepanjangan di antara tiga golongan besar; Sunni (Islam), Syi’i (Syi’ah), dan Khariji (Khawarij).
Perbedaan aqidah dalam tiga golongan itu berdampak atau bahkan merupakan sumber utama pada perbedaan sunah atau hadis yang diakui oleh masing-masing golongan. Perbedaan Syi’ah dengan Islam yang paling mendasar berangkat dari penilaian terhadap para imam Ahlu Bait di satu pihak dan para sahabat Nabi Saw. di pihak yang lain. Misalnya, Syi’ah menolak periwayatan para sahabat yang setuju terhadap kekhilafahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Dalam keyakinan Syi’ah, mereka pelaku dosa-dosa besar karena telah berbuat murtad.[1] Syi’ah menolak periwayatan para sahabat yang—dipandang oleh mereka—memusuhi Ali, seperti Thalhah, Abdullah bin az-Zubair, Mu’awiyah, Abdullah bin Wahab.[2] Sementara terhadap para imam Ahlu Bait, Syi’ah meyakini para imam itu ma’shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).
Keyakinan ini juga digunakan sebagai kriteria kualitas riwayat, baik dari segi sanad maupun integritas pribadi periwayat. Karena itu, Syi’ah hanya mengakui hadis-hadis riwayat kelompok Syi’ah saja.
Perbedaan konsepsi secara metodologis tentang hadis dan Sunah antara umat Islam dan Syi’ah bergulir pada wilayah kajian epistemologi. [3] Perbedaan konsep epistemologi hadis antara umat Islam dan Syi’ah pada gilirannya berimplikasi terhadap kualitas hadis.
Sebelum mengakhiri kajian pada sub bagian ini, adalah penting kiranya untuk dikemukakan di sini, bahwa sebetulnya perhatian Syiah terhadap hadis dan kaidah-kaidahnya hingga pembagian pada shahîh, hasan, dha’if dan yang lain, sebenarnya baru muncul pada kurun ketujuh atau kedelapan hijriyah, kendati kajian mengenai keadaan para perawi (rijâl al-hadîts) menurut mereka (Syiah) telah dimulai pada abad keempat hijriah.
Pada saat itu, kritik terhadap Syiah, utamanya mengenai hadis-hadis mereka yang anti-metodologi, demikin deras datang dari ulama Ahlussunnah. Beliau-beliau seringkali memperolok-olok Syiah akan ketidak-mampuan mereka dalam memahami ilmu tentang keadaan para perawi (‘ilm ar-rîjâl), istilah-istilah hadis (musthalah al-Hadîts) dan hal-hal yang terkait. Akibatnya, hadis-hadis mereka tidak memiliki taring untuk dijadikan sebagai argumentasi.
Lantaran kritik-kritik tajam itulah, mereka kemudian membuat beragam istilah dan klasifikasi hadis menjadi empat macam: Shahih,[4] Muwatsaq, [5] Hasan, [6] dan dha’if. Keempat macam hadis itu diistilahkan dengan Ushul al-Hadits.[7]
Klasifikasi hadis menjadi empat macam di atas dipelopori oleh Sayyid Jamaludin Ahmad bin Thawus (w. 674 H) dan dikembangkan oleh muridnya, ‘Alamah al-Hasan bin al-Muthahir al-Hilli (w. 726 H.). [8] Selanjutnya, pada masa Syekh Zainuddin bin Ali bin Ahmad al-‘Amili (w. 965 H) atau yang lebih populer dengan sebutan Syahid Tsani, dan Syekh Muhammad bin al-Husen bin Abdus Shamad, atau yang lebih populer dengan sebutan Baha’uddin al-‘Amili ( w. 1031 H) klasifikasi itu berkembang menjadi lima macam dengan memisahkan hadis qawwi[9] sebagai martabat terpisah. [10]
Fakta sejarah di atas telah dikemukakan oleh para ulama Syi’ah, antara lain sebagai berikut:
Putra Syahid Tsani, Al-Hasan bin Zainuddin al-‘Amili (w. 1011 H) menjelaskan:
وَلاَ يَكَادُ يُعْلَمُ وُجُوْدُ هذَا الإِصْطِلاَحِ قَبْلَ زَمَانِ الْعَلاَّمَةِ إِلاَّ مِنَ السَيِّدِ جَمَالِ الدِّيْنِ ابْنِ طَاوُوْسٍ ( رَحِمَهُ اللهُ ) وَإِذَا أُطْلِقَتِ الصِّحَّةُ فِي كَلاَمِ مَنْ تَقَدَّمَ فَمُرَادُهُمْ مِنْهَا الثُّبُوْتُ أَوِ الصِّدْقُ
“Adanya peristilahan ini hampir tidak diketahui sebelum zaman Alamah al-Hilli kecuali dari Sayyid Jamaludin Ibn Thawus. Dan apabila disebutkan kata shahih dalam perkataan ulama mutaqaddimin maka maksud mereka ats-tsubut atau ash-shidq.” [11]
Muhammad Taqiy bin Maqshud ‘Ali al-Majlisi (w. 1070 H) berkata:
وَأَوَّلُ مَنْ سَلَكَ هذَا الطَّرِيْقَ مِنْ عُلَمَائِنَا الْمُتَأَخِّرِيْنَ شَيْخُنَا الْعَلاَمَةُ جَمَالُ الْحَقِّ وَالدِّيْنِ حَسَنُ بْنُ مُطَهِّرٍ الْحِلِّي ( قَدَّسَ اللهُ رُوْحَهُ ) ثُمَّ إِنَّهُمْ ( أَعْلَى اللهُ مَقَامَهُمْ ) رُبَّمَا يَسْلُكُوْنَ طَرِيْقَةَ الْقُدَمَاءِ فِيْ بَعْضِ الأَحْيَانِ
“Dan orang pertama, di ulama kita yang terakhir, yang menggunakan metode ini adalah syekh Alamah Jamalul haq wadin Hasan bin Muthahir al-Hilli —semoga Allah mensucikan ruhnya—, kemudian mereka—semoga Allah meninggikan derajat mereka—terkadang menggunakan pula metode ulama mutaqaddimin pada kesempatan yang lain.” [12]
Syekh Al-Hurr al-‘Amili ( w. 1104 w.) berkata:
أَنَّ هذَا الإِصْطَلاَحَ مُسْتَحْدَثٌ فِيْ زَمَانِ الْعَلاَمَةِ أَوْ شَيْخِهِ أَحْمَدَ ابْنِ طَاوُوْسٍ كَمَا هُوَ مَعْلُوْمٌ وَهُمْ مُعْتَرِفُوْنَ بِهِ وَهُوَ إِجْتِهَادٌ وَظَنٌّ مِنْهُمَا
“Istilah ini diciptakan pada zaman Alamah (al-Hilli) atau gurunya Ahmad Ibn Thawus sebagaimana telah dimaklumi, dan mereka mengakuinya, dan istilah baru itu merupakan ijtihad dan zhan (sangkaan) dari mereka berdua.” [13]
Syekh Yusuf al-Bahrani (w. 1181 H) berkata:
قَدْ صَرَّحَ جُمْلَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُتَأَخِّرِيْنَ بِأَنَّ الأَصْلَ فِيْ تَنْوِيْعِ الْحَدِيْثِ إِلَى الأَنْوَاعِ الأَرْبَعَةِ الْمَشْهُوْرَةِ هو الْعَلاَمَةُ أَوْ شَيْخُهُ جَمَالُ الدِّيْنِ بْنِ طَاوُوْسٍ نَوَّرَ اللهُ تَعَالَى مَرْقَدَيْهِمَا. وَأَمَّا الْمُتَقَدِّمُوْنَ فَالصَّحِيْحُ عِنْدَهُمْ هُوَ مَا اعْتُضِدَ بِمَا يُوْجِبُ الإِعْتِمَادَ عَلَيْهِ مِنَ الْقَرَائِنِ وَالأَمَارَاتِ الَّتِيْ ذَكَرَهَا الشَّيْخُ ( قَدَّسَ سِرَّهُ ) فِيْ كِتَابِ الْعُدَّةِ. وَعَلَى هذَا جَرَى جُمْلَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُحَدِّثِيْنَ وَطَائِفَةٌ مِنْ مُتَأَخِّرِيْ مُتَأَخِّرِيْ الْمُجْتَهِدِيْنَ كَشَيْخِنَا الْمَجْلِسِيِّ رَحِمَهُ اللهُ وَجَمْعٌ مِمَّنْ تَأَخَّرَ عَنْهُ
“Sejumlah ulama mutaakhir sahabat kami telah menjelaskan bahwa sumber diversifikasi hadis menjadi 4 macam yang terkenal adalah ‘Alamah atau gurunya Jamaluddin bin Thawus, semoga Allah menerangi tempat istirahat mereka. Adapun kriteria shahih menurut ulama mutaqaddimin ialah hadis yang dibantu oleh berbagai qarinah dan tanda yang mengharuskan hadis itu dijadikan pegangan, yang telah diterangkan oleh Syekh (ath-Thusi) dalam kitab al-‘Uddah. Kriteria ini dipergunakan oleh sejumlah ulama mutaakhir sahabat kami dan sekelompok mujtahid masa terakhir, seperti guru kita al-Majlisi—semoga Allah merahmatinya—dan sekelompok orang setelahnya.” [14]
Syekh Muhsin al-Amin al-‘Amili (w. 1371 H) berkata:
وَمِنْ عُلَمَاءِ الشِّيْعَةِ فِيْهِ السَّيِّدُ جَمَالُ الدِّيْنِ أَحْمَدُ بْنُ مُوْسَى بْنِ جَعْفَرِ بْنِ طَاوُوْسٍ الْحَسَنِيْ قَالَ تِلْمِيْذُهُ الْحَسَنُ بْنُ دَاوُدَ الْحِلِّي فِيْ رِجَالِهِ : حَقَّقَ الرِّجَالَ وَالرِّوَايَةَ وَالتَّفْسِيْرَ تَحْقِيْقًا لاَ مَزِيْدَ عَلَيْهِ اه وَهُوَ وَاضِعُ الإِصْطِلاَحِ الْجَدِيْدِ فِيْ تَقْسِيْمِ الْحَدِيْثِ عِنْدَ الإِمَامِيَّةِ إِلَى أَقْسَامِهِ الأَرْبَعَةِ الصَّحِيْحِ وَالْحَسَنِ وَالْمُوَثَّقِ وَالضَّعِيْفِ
“Dan di antara ulama Syi’ah padanya (bidang ilmu musthalah hadis) Sayyid Jamaludin Ahmad bin Musa bin Ja’far bin Thawus al-Hasani. Muridnya yang bernama al-Hasan bin Dawud al-Hilli berkata dalam kitab rijalnya, ‘Beliau telah mentahqiq para rawi, riwayat dan tafsir yang tiada duanya.’ Di kalangan Syi’ah Imamiyah, beliau pembuat istilah baru dalam klasifikasi hadis menjadi shahih, hasan, muwatsaq, dan dha’if.” [15]
Standarisasi klasifikasi ini mengacu kepada keragaman hal-ihwal para penyampai khabar (rawi). Hal itu, dijelaskan Al-Hasan bin Zainuddin al-‘Amili (w. 1011 H):
أَنَّ مَدَارَ تَقْسِيْمِ الْحَدِيْثِ إِلَى الأَقْسَامِ الأَرْبَعَةِ عَلَى رِعَايَةِ حَالِ الرُّوَاةِ وَصِفَاتِهِمْ الَّتِيْ لَهَا مَدْخَلُ مَا فِيْ قَبُوْلِ الرِّوَايَةِ وَعَدَمِهِ، وَأَنَّ مَنَاطَ وَصْفِ الصِّحَّةِ هُوَ إِجْتِمَاعُ وَصْفَيْ الْعَدَالَةِ وَالضَّبْطِ فِيْ جَمِيْعِ رُوَاةِ الْحَدِيْثِ مَعَ اتِّصَالِ رِوَايَتِهِمْ لَهُ بِالْمَعْصُوْمِ
“Sesungguhnya, klasifikasi hadis menjadi empat itu bertumpu pada perhatian keadaan dan sifat para rawi yang menjadi pintu masuk diterima dan tidaknya periwayatan. Dan yang menjadi acuan sifat keshahihan itu adalah terpenuhinya dua sifat: ‘adalah dan dhabth pada semua rawi hadis di samping bersambungnya mereka dengan Imam yang ma’shum.” [16]
Dalam redaksi lain, beliau berkata:
إِصْطَلَحَ الْمُتَأَخِّرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا عَلَى تَقْسِيْمِ الْخَبَرِ بِاعْتِبَارِ إخْتِلاَفِ أَحْوَالِ رُوَاتِهِ إِلَى الأَقْسَامِ الأَرْبَعَةِ الْمَشْهُوْرَةِ
“Para ulama mutaakhir, sahabat kita, menetapkan istilah klasifikasi khabar menjadi empat yang populer itu berdasarkan pertimbangan keragaman hal-ihwal para rawi (penyampai khabar)” [17]
Meskipun demikian, untuk mengakomodir kebutuhan ini para ulama Syi’ah mutaakhir tidak memiliki kriteria mandiri, sehingga mereka menjiplak teori klasifikasi hadis itu dari ilmu hadis karya ulama Islam. Sementara kriterianya dimodifikasi sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Demikian itu diakui oleh ulama Syi’ah, antara lain Syekh Al-Hurr al-‘Amili ( w. 1104 w.) berkata:
الإِصْطِلاَحُ الْجَدِيْدُ (تَقْسِيْمُ الْحَدِيْثِ) مُوَافِقٌ لِاعْتِقَادِ الْعَامَّةِ (أَهْلُ السُّنَّةِ) وَاصْطِلاَحِهِمْ، بَلْ هُوَ مَأْخُوْذٌ مِنْ كُتُبِهِمْ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ بِالتَّتَبُّعِ وَكَمَا يُفْهَمُ مِنْ كَلاَمِ الشَّيْخِ حَسَنٍ وَغَيْرِهِ وَقَدْ أَمَرَنَا الأَئِمَّةُ (ع) بِاجْتِنَابِ طَرِيْقَةِ الْعَامَّةِ وَقَدْ تَقَدَّمَ مَا يَدُلُّ عَلَى ذلِكَ فِيْ الْقَضَاءِ فِيْ أَحَادِيْثِ تَرْجِيْحِ الْحَدِيْثَيْنِ الْمُخْتَلِفَيْنِ وَغَيْرِهَا.
“Istilah baru itu (klasifikasi hadis) sesuai dengan keyakinan ‘Awam (Ahlus-Sunah) dan istilah-istilah mereka, bahkan hal itu diambil dari kitab-kitab mereka sebagaimana hal itu tampak jelas dengan penelusuran dan seperti yang dapat difahami dari ucapan Syekh Hasan dan lainnya. Para Imam telah memerintahkan kita menjauhi cara kaum ‘Awam. Telah disebutkan terdahulu bukti yang menunjukkan hal itu dalam kitab (topik) al-Qadha pada hadis-hadis tentang mentarjih dua hadis yang bertentangan dan lainnya. [18]
Keterangan di atas menunjukkan bahwa klasifikasi baru yang digagas oleh Ibn Thawus dan dikembangkan oleh Alamah al-Hilli bukanlah karya orisinal mereka berdua melainkan hasil modifikasi teori ilmu hadis ulama Islam. [19]
Karena itu, penggunaan klasifikasi baru tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan ulama Syi’ah pasca generasi mutaakhir. Penolakan datang antara lain dari Syekh al-Hasan bin Zainuddin al-‘Amili[20] (w. 1011 H), Syekh Muhammad Amin al-Astarabadi[21] (w. 1036 H), Syekh al-Faidh al-Kasyani[22] (w. 1091 H), Syekh al-Hurr al-‘Amili[23] ( w. 1104 w.), Syekh Yusuf al-Bahrani[24] (w. 1181 H). Sementara pembelaan sekaligus bantahan datang antara lain dari Sayyid Hasan ash-Shadr[25] dan I’dad Abu al-Fadhl Hafizhuyani al-Babuli. [26]
Mengenai faktor yang mendorong Syiah membuat kaidah-kaidah dan pembagian-pembagian hadis sebagaimana di sebutkan di atas, Syekh Syiah terkemuka, al-Hur al-Amili, mengakui dan menjelaskan, bahwa sebab-sebab dari perletakan istilah shahîh, hasan, dha’if dan lain sebagainya, dalam hadis-hadis Syiah dan perhatian Syiah pada sanad serta kritik hadis adalah karena mereka berkepentingan untuk menghadapi Ahlussunnah. Lebih jelas, Hur al-Amili berkata sebagai berikut:
Adapun faidah dari penyebutan sanad-sanad hadis adalah guna menangkis cemooh orang kebanyakan (maksudnya Ahlussunnah) terhadap Syiah, dengan kecaman bahwa hadis-hadis Syiah tidak memiliki jalur periwayatan yang jelas dan runtun, akan tetapi hanya mencuplik dari buku-buku para pendahulu mereka.[27]
Fakta ini menjadi bukti yang sangat jelas dan valid, bahwa perhatian Syiah terhadap ilmu dan metodologi hadis memang tumbuh jauh terlambat dari Ahlussunnah. Lebih dari itu, motivatornya bukan untuk menyeleksi ke-shahîh–an hadis, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlussunnah, namun justru dimaksudkan untuk menampakkan kesahihan hadis mereka, kendati itu palsu.
Kendati demikian, metodologi hadis yang ditetapkan oleh Syiah, andai saja diterapkan untuk menyeleksi hadis-hadis mereka sendiri, maka hadis-hadis itu akan tinggal sekelumit saja. Hal ini rupanya telah disadari dan diakui sendiri oleh pemuka Syiah, Syekh Yusuf al-Bahrani (w. 1186). Ia menyatakan sebagai berikut:
Pilihan yang mesti kita (Syiah) ambil adalah mengambil hadis-hadis (Syiah) ini, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita, atau membuat aliran baru yang bukan aliran (Syiah) ini, dan membuat syariat baru yang bukan syariat (Syiah) ini, akibat kekurangan dan ketidak sempurnannya. Sebab telah jelas jika memang tidak ada dalil yang kuat bagi sejumlah besar hukum-hukumnya….[28]
Dengan demikian, statemen Syiah yang menyatakan bahwa hadis-hadis dihimpun melalui transmisi dan periwayatan yang sambung-beruntun serta dapat dipertanggung-jawabkan (sebagaimana yang telah dikutip di atas, pada pembahasan al-Kutub al-Arba’ah), adalah tidak tepat. Selain terbantah oleh kenyataan sejarah dan data-data terpercaya, statemen itu juga dimentahkan oleh pengakuan dari tokoh-tokoh Syiah sendiri, sebagaimana pernyataan Ibnu Abi al-Hadid di atas.
Lebih dari itu, dalam pandangan ulama al-Jarh wa at-Ta’dîl (ilmu evaluasi positif dan negatif periwayat hadis), Syiah merupakan kelompok yang paling banyak melakukan kebohongan-kebohongan (akdzab at-thawâ’if) di bidang hadis.[29] Akibatnya, selain banyak yang palsu, hadis-hadis Syiah juga banyak yang bertentangan antara yang satu dengan yang lain, selain juga jelas bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis-hadis shahîh.
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku:
Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
Hitam dibalik Putih: Bantahan Terhadap Buku Putih Madzhab Syi’ah, karya Amin Muchtar, terbitan al-Qalam, cetakan kedua, Desember 2014
[1]Misalnya, tercermin dalam pernyataan yang dinisbatkan kepada Imam Syi’ah ke-5 Abu Ja’far Muhammad al-Baqir (w. 114 H), bahwa para sahabat telah murtad sesudah wafatnya Rasulullah Saw, kecuali tiga orang. Hadis al-Baqir ini diriwayatkan oleh al-Kulaini melalui jalur periwayatan Hanan bin Sadir, dari ayahnya (Sadir):
عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ (عليه السلام) قَالَ : كَانَ النَّاسُ أَهْلَ رِدَّةِ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله إِلاَّ ثَلاَثَةً فَقُلْتُ: وَمَنِ الثَّلاَثَةُ؟ فَقَالَ: الْمِقْدَادُ بْنُ الأَسْوَدِ وَأَبُوْ ذَرٍّ الْغِفَارِيْ وَسَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ عَرَفَ أُنَاسٌ بَعْدَ يَسِيْرٍ وَقَالَ: هؤُلاَءِ الَّذِيْنَ دَارَتْ عَلَيْهِمْ الرَّحَا وَأَبَوْا أَنْ يُبَايِعُوْا حَتَّى جَاؤُوْا بِأَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ (عليه السلام) مُكْرَهًا فَبَايَعَ وَذلِكَ قَوْلُ اللهِ تعالى: وما محمد إلا رسول قد خلت من قبله الرسل أفإن مات أو قتل انقلبتم على أعقابكم ومن ينقلب على عقبيه فلن يضر الله شيئا وسيجزي الله الشاكرين –
“Dari Abu Ja’far ‘alaihis salaam, ia berkata, “Manusia setelah Nabi shallaahu ‘alaihi wa aalih murtad kecuali tiga orang.” Saya (Sadir) bertanya, “Siapa tiga orang itu?” Abu Ja’far menjawab, “al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi rahmatullah wa barakatuhu ‘alaihim. Tidak lama setelah itu, orang-orang mengetahui.” dan berkata, ‘Mereka itulah orang-orang yang akan dikelilingi oleh awan (Islam, iman, dan kemenangan al-haq), dan mereka enggan berbai’at sehingga mendatangi Amirul Mukminin (Ali) ‘alaihis salam (yang ketika itu tidak disenangi), maka dia berbaiat. itulah firman Allah Ta’ala, ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul, apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur (Qs. Ali Imran: 144)’.” Lihat, al-Kafi, bagian ar-Rawdhah, terbitan Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, Cetakan III, tahun 1388 H, Juz 8, hal. 245-246, Hadis No. 341, bab:
النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله أَهْلُ رِدَّةٍ إِلاَّ ثَلاَثَةً
Lihat pula, al-Kafi versi baru, terbitan Dar al-Hadits, Qum, Iran, tahun 1430 H, tahqiq Markaz Buhuts Dar al-Hadits, juz 15, hal. 558-559, Hadis No. 15.156, bab:
إِنَّ عَامَّةَ الصَّحَابَةِ نَقَضُوْا عَهْدَهُمْ وَارْتَدُّوْا بَعْدَ رَسُوْلِ اللّه صلى الله عليه و آله = النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و آله أَهْلُ رِدَّةٍ إِلاَّ ثَلاَثَةً
Lihat pula dalam al-Wafi Syarh al-Kafi, karya al-Faydh al-Kasyani, Juz 2, hal. 198-199, pada bab
إِنَّ عَامَّةَ الصَّحَابَةِ نَقَضُوْا عَهْدَهُمْ وَارْتَدُّوْا بَعْدَ رَسُوْلِ اللّه صلى الله عليه و آله
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh al-Kasyyi, dengan sedikit perbedaan redaksi pada kalimat:
…وَأَبَوْا أَنْ يُبَايِعُوْا لِأَبِيْ بَكْرٍ حَتَّى جَاؤُوْا بِأَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ…
(Lihat, Rijal al-Kasyyi, hal. 26-27, Hadis No. 12)
Hadis di atas dijadikan rujukan oleh para ulama Syi’ah, antara lain Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayyasyi dalam Tafsir al-‘Ayyasyi, Juz 1, hal. 199, Hadis No. 148; Syekh al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar, Juz 28, hal. 236, Hadis No. 22. Kata Syekh al-Majlisi:
الْحَدِيْثُ الْحَادِيُّ وَالأَرْبَعُوْنَ وَالثَّلاَثُمِائَةِ : حَسَنٌ أَوْ مُوَثَّقٌ
“Hadis No. 341, Hasan atau Muwatsaq.” Lihat, Mir’ah al-‘Uqul fi Syarh Akhbari Ali ar-Rasul, Juz 26, hal. 213, Hadis No. 341, bab:
إِرْتِدَادُ النَّاسِ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله إِلاَّ ثَلاَثَةً
Penjelasan tentang kriteria Hasan atau Muwatsaq menurut ulama Syi’ah dapat dibaca pada pembahasan selanjutnya.
[2]Penjelasan secara garis besar tentang sikap Syi’ah terhadap sahabat, Tabi’in, hingga generasi pencatat hadis yang tidak diterima periwayatannya dapat dibaca antara lain, pada tulisan Sayyid Murtadha al-‘Askari, dalam Muqadimah Mir’ah al-Ushul fi Syarh Akhbar ar-Rasul, karya Syekh al-Majlisi, Juz 1, hal. 24- 26.
[3]Suatu cabang filsafat yang membahas tentang asal, struktur, metode-metode, keshahihan, dan tujuan pengetahuan. Epistemologi, juga merupakan sarana untuk mendekati masalah-masalah pokok berkaitan dengan dinamika ilmu pengetahuan yang menyangkut sumber, hakekat, validitas dan metodologi.
[4]Banyak definisi yang diajukan oleh para ulama Syi’ah tentang kriteria shahih menurut ulama Syiah mutaqaddimin, antara lain: “Shahih menurut al-Qudama’ ialah hadis yang dipercayai bersumber dari imam ma’shum. Makna ini lebih umum daripada sekadar kepercayaan yang bersumber dari seorang rawi yang tsiqah (kredibel) dan tanda-tanda lainnya. Dan mereka dapat memastikannya bersumber darinya atau menduga.” Lihat, Masyriq asy-Syamsain, hal. 269; Jami al-Maqal, hal. 35; Fawa’id al-Wahid, hal. 27; Lub al-Bab, hal. 457, Nihayah ad-Dirayah, hal. 116; Miqbas al-Hidayah, Juz 1, hal. 183, Juz 2, hal. 168. Namun, menurut ulama Syiah mutaakhirin, sebagaimana disebutkan Syahid Tsani, “Hadis shahih ialah yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum, diriwayatkan oleh rawi adil lagi syi’ah imami dari yang semisalnya dalam semua tingkatan di mana tingkatan itu banyak, dan meskipun terkena syadz.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 77. Definisi ini dikutip oleh al-Hasan bin Zainuddin (Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 4), Syekh Mahdi al-Kajuri asy-Syirazi (al-Fawa’id ar-Rijaliyyah, hal. 183), I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli (Rasa’il fi Dirayah al-Hadits, Juz 1, hal. 125), dan Syekh Ja’far Subhani (Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 50)
[5] Menurut Syahid Tsani, “Hadis muwassaq yaitu hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum, namun pada sanadnya terdapat orang yang dinyatakan tsiqah oleh para pemilik kitab rijal, meskipun dia rusak akidahnya, dan aspek-aspek lainnya tidak meliputi yang dha’if.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 84. Definisi ini dikutip oleh I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli (Rasa’il fi Dirayah al-Hadits, Juz 1, hal. 125), dengan tambahan kalimat di awal: wa yuqaalu lahu al-qawwi. Dikutip pula oleh Muhyiddin al-MuSawi al-Ghuraifi (Qawa’id al-Hadits, hal. 24), Syekh Akram Barakat (Durus fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 48), Ja’far Subhani (Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 50). Latar belakang penamaan muwatsaq, dijelaskan pula oleh Syahid Tsani, “Dinamakan demikian (muwatsaq) karena rawinya tsiqah meskipun berbeda akidah. Dan dengan unsur ini, muwatsaq berbeda dengan Shahih meskipun terdapat kesamaan pada aspek tsiqah. Dinamakan pula Qawwi karena dugaan kuat padanya dengan sebab penilaian tsiqah terhadap dirinya.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 84
[6] Menurut Syahid Tsani, “Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum diriwayatkan oleh rawi imami yang terpuji meskipun tidak ada yang menyatakan sifat adilnya, serta yang demikian itu nyata pada semua atau sebagian tingkatan rawi dalam sanadnya, sementara para rawi lainnya termasuk kategori rawi shahih.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 81. Definisi ini dikutip oleh al-Hasan bin Zainuddin (Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 5), I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli (Rasa’il fi Dirayah al-Hadis, Juz 1, hal. 297), Sayyid Hasan ash-Shadr (Nihayah ad-Dirayah, hal. 289), Syekh Ja’far Subhani (Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 50) dan Muhammad Ridha Jadidi (Mu’jam Musthalahat ar-Rijal wa ad-Dirayah, hal. 56), semuanya menyertakan tambahan kalimat:
بلا معارضة ذم مقبول
Dikutip pula oleh Muhyiddin al-Musawi al-Ghuraifi (Qawa’id al-Hadits, hal. 24), Syekh Ali Akbar al-Mazandarani (Miqyas ar-Riwayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 66-67), Syekh Akram Barakat (Durus fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 48), Abul Huda al-Kalbasi (Sama’ al-Maqal fi ‘Ilm ar-Rijal, hal. 448), dan Dr. Abdul Hadi al-Fadhli (Ushul al-Hadits, hal. 107), semuanya tanpa menyertakan kalimat di atas.
[7] Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, Juz 1, hal. 95; Miqbas al-Hidayah, Juz 1, hal. 137; Durus fi ’Ilm ad-Dirayah, hal. 45. Bandingkan dengan keterangan Syekh Ja’far Subhani dalam Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 46-47.
[8]Para ulama Syi’ah berbeda pendapat dalam menetapkan orang yang mempeloporinya. Sebagian berpendapat bahwa pelopornya Ibn Thawus (w. 674 H). Sementara ulama lainnya berpendapat Alamah al-Hilli (w. 726 H.). Menurut Syekh Ja’far Subhani, yang benar bahwa pelopornya Ibn Thawus, sebagaimana anda ketahui pernyataan Syekh Zainuddin al-‘Amili, penyusun kitab Muntaqa al-Juman. (Lihat, Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu, hal. 46).
[9] Hadis Qawwi menurut Syahid Awal dan Syahid Tsani istilah lain bagi hadis Muwatsaq. Pendapat ini diikuti para ulama Syi’ah periode selanjutnya, seperti al-Hasan bin Zainuddin[9], Sayyid Murtadha al-Askari, Syekh Ali Akbar al-Mazandarani, dan I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli.
Namun Syekh Sayyid Hasan ash-Shadr dan Syekh Abul Huda al-Kalbasi mempunyai pendapat yang berbeda, karena menurut keduanya istilah Qawwi memiliki kriteria tersendiri yang layak diposisikan sebagai martabat terpisah. Meski berbeda dalam menetapkan posisi Qawwi, namun keduanya sepakat menetapkan klasifikasi hadis itu menjadi 5 macam. Menurut Sayyid Hasan ash-Shadr, “Qawwi adalah khabar yang pada silsilah sanadnya terdapat dua rawi imami tanpa pujian dan tidak pula celaan, baik kedua-duanya maupun salah satunya, namun para rawi lainnya mendapat penilaian ‘adil. Maka qawwi secara istilah karena dugaan kuat padanya.” Lihat, Nihayah ad-Dirayah, hal. 263.
[10] Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ar-Dirayah, hal. 85; al-Wajizah fi ad-Dirayah, hal. 5. Lihat pula keterangan Dr. Sayyid Ridha Mu’addib dalam Tarikh al-Hadits, hal. 124.
[11] Lihat, Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 13.
[12] Lihat, Rawdhah al-Muttaqin fi Syarh Man La Yahdhuruh al-Faqih, Juz 1, hal. 19.
[13] Lihat, Wasa’il asy-Syi’ah, Juz 30, hal. 262.
[14] Lihat, al-Hada’iq an-Nadhirah, Juz 1, hal. 14
[15] Lihat, A’yan asy-Syi’ah, Juz 1, hal. 149
[16] Lihat, Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 8.
[17] Lihat, Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 13.
[18]Lihat, Wasa’il asy-Syi’ah, Juz 30, hal. 262; Pandangan beliau—dengan sedikit perbedaan redaksi—disampaikan pula dalam kitab Hidayah al-‘Ummah ilaa Ahkam al-Aimmah, Juz 8, hal. 581.
[19]Menurut Syekh Ja’far Subhani, klasifikasi ini kemungkinan diambil dari karya-karya ulama mutaqaddimin seperti Syekh as-Shaduq, Sayyid Murtadha dalam kitabnya Dzari’ah, dan Syekh ath-Thusi dalam kitabnya ‘Uddah. Namun dimungkinkan pula diambil dari klasifikasi tiga macam hadis yang beredar di kalangan Ahli Hadis Islam. Karena hadis menurut mereka terbagi menjadi shahih, hasan, dan dha’if. (Lihat, Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu, hal. 47).
Selain dalam peristilahan klasifikasi hadis, ulama Syi’ah generasi berikutnya—setelah selesai era mutaakhir—menjiplak pula teori-teori ilmu hadis dirayah Islam. Demikian itu dilakukan oleh Syahid Tsani (911-966 H). Namanya Zainuddin bin Nuruddin ‘Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Jamaluddin al-‘Amili. Beliau dipandang sebagai ulama Syi’ah pertama yang membukukan ilmu dirayah hadis. Demikian itu diakui oleh ulama Syi’ah, antara lain Syekh Husen Abdus Shamad Walid al-Baha’I al-‘Amili (918-984 H), sebagai murid Syahid Tsani. Beliau berkata tentang biografi, gurunya Syekh Zainuddin asy-Syahid:
ثُمَّ اعْلَمْ أَنَّ الشَّيْخَ زَيْنَ الدِّيْنِ هذَا هُوَ أَوَّلُ مَنْ نَقَلَ عِلْمَ الدِّرَايَةِ مِنْ كُتُبِ الْعَامَّةِ وَطَرِيْقَتَهُمْ إِلَى كُتُبِ الْخَاصَّةِ، وَأَلَّفَ فِيْهِ الرِّسَالَةَ الْمَشْهُوْرَةَ ثُمَّ شَرَحَهَا كَمَا صَرَّحَ بِهِ جَمَاعَةٌ مِمَّنْ تَأَخَّرَ عَنْهُ ، وَيَلُوْحُ مِنْ تَتَبُّعِ كُتُبِ الأَصْحَابِ أَيْضًا، ثُمَّ أَلَّفَ بَعْدَهُ تِلْمِيْذُهُ الشَّيْخُ حُسَيْنُ ابْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ الْحَارِثِيُّ وَبَعْدَهُ وَلَدُهُ الشَّيْخُ الْبُهَائِيُّ وَهكَذَا
“Kemudian, ketahuilah bahwa Syekh Zainuddin ini adalah orang yang pertama menukil ilmu dirayah dari kitab-kitab awam (Islam) dan metode mereka ke dalam kitab-kitab kelompok khusus (Syi’ah), dan padanya disusun risalah yang populer, lalu beliau mensyarahinya sebagaimana dijelaskan oleh sekelompok orang yang hidup setelah beliau dan tampak pula dari penelusuran kitab-kitab para sahabatnya, dan setelah itu oleh anaknya Syekh Buha’I, demikianlah.”
Selanjutnya, beliau berkata:
وَهُوَ – أَيْ الشَّهِيْدُ الثَّانِيْ – أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ مِنَ الإِمَامِيَّةِ فِيْ دِرَايَةِ الْحَدِيْثِ لكِنَّهُ نَقَلَ الإِصْطِلاَحَاتِ مِنْ كُتُبِ الْعَامَّةِ كَمَا ذَكَرَهُ وَلَدُهُ وَغَيْرُهُ .
“Dan dia—Syahid Tsani—orang Syi’ah Imamiyah yang pertama kali menyusun ilmu dirayah hadis, namun dia menukil berbagai istilah dari kitab-kitab awam (ahlusunah), sebagaimana disebutkan oleh anaknya dan lain-lain.” (Lihat, Wushul al-Akhyar ila Ushul al-Akhbar, hal. 7-8).
Syekh al-Ha’iri berkata:
إِنَّهُ لَمْ يُصَنِّفْ فِيْ دِرَايَةِ الْحَدِيْثِ مِنْ عُلَمَائُنَا قَبْلَ الشَّهِيْدِ الثَّانِيْ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ عُلُوْمِ الْعَامَّةِ
“Tidak ada ulama kita yang menyusun ilmu dirayah hadis sebelum Syahid Tsani, dan dia tiada lain diambil dari ilmu-ilmu kelompok ‘awam (Islam).” (Lihat, Muqtabas al-Atsar, Juz 3, hal. 73).
Syekh al-Hurr al-‘Amili berkata:
وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ مِنَ الإِمَامِيَّةِ فِيْ دِرَايَةِ الْحَدِيْثِ لكِنَّهُ نَقَلَ الإِصْطِلاَحَاتِ مِنْ كُتُبِ الْعَامَّةِ كَمَا ذَكَرَهُ وَلَدُهُ وَغَيْرُهُ
“Dia ulama Syi’ah Imamiyah yang pertama menyusun ilmu dirayah hadis, namun dia menukil berbagai istilah dari kitab-kitab awam, sebagaimana disebutkan oleh anaknya dan lain-lain.” (Lihat, Amal al-Amil, Juz 1, hal. 86; Mu’jam Rijal al-Hadits, Juz 8, hal. 385)
[20] Dalam kitabnya Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 10 dan seterusnya.
[21] Dalam kitabnya al-Fawa’id al-Madaniyah, hal. 181 dan seterusnya.
[22] Dalam kitabnya al-Wafi, Juz 1, hal. 19 dan seterusnya, pada topik al-Muqaddamah ats-tsaniah.
[23] Dalam kitabnya Tafshil Wasa’il asy-Syi’ah, Juz 30, hal. 249 dan seterusnya, Fasal ke-9, topik:
فِي الإِسْتِدْلاَلِ عَلَى صِحَّةِ أَحَادِيْثِ الْكُتُبِ الْمَنْقُوْلِ مِنْهَا
“Tentang mencari petunjuk mengenai keshahihan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab yang disalin darinya”
[24] Dalam kitabnya al-Hada’iq an-Nazhirah, Juz 1, hal. 14 dan seterusnya, pada topik:
فِيْ إِثْبَاتِ صِحَّةِ جَمِيْعِ الأَخْبَارِ وَإِبْطَالِ الإِصْطِلاَحِ فِيْ تَنْوِيْعِ الْحَدِيْثِ إِلَى الأَنْوَاعِ الأَرْبَعَةِ
[25] Dalam kitabnya Nihayah ad-Dirayah, hal. 109 dan seterusnya, Fasal ke-9, topik Tanwi’ al-Hadis.
[26] Dalam kitabnya Risalah fi Dirayah al-Hadits, Juz 2, hal. 238 dan seterusnya, pada topik fii Hujjah an-Nafiy.
[27] Ibid.
[28] Rujuk dalam Lu’lu’ al-Bahrain, hlm. 47, dikutip dalam Nukhâwalah al-Madaniyah: Bahts Tafshîlî, hlm. 75-77.
[29] Nashb ar-Râyah fi Takhrîj Ahadîts al-Hidâyah, juz 2 hlm. 273.
(sigabah.com/syiahindonesia.com)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Sunah atau hadis, mempunyai sejarah yang unik dan panjang. Ia pernah mengalami masa transisi dari tradisi lisan ke tradisi tulisan. Pengkompilasiannya pun membutuhkan waktu yang cukup panjang. Sampai pada akhir abad ke-9 M, usaha pengkodifikasian tersebut dapat menghasilkan beberapa koleksi besar (kitab hadis) yang dianggap otentik, di samping sejumlah besar koleksi hadis lainnya.
Seleksi dan pengeditan koleksi kitab hadis tersebut, menimbulkan kontroversi berkepanjangan di antara tiga golongan besar; Sunni (Islam), Syi’i (Syi’ah), dan Khariji (Khawarij).
Perbedaan aqidah dalam tiga golongan itu berdampak atau bahkan merupakan sumber utama pada perbedaan sunah atau hadis yang diakui oleh masing-masing golongan. Perbedaan Syi’ah dengan Islam yang paling mendasar berangkat dari penilaian terhadap para imam Ahlu Bait di satu pihak dan para sahabat Nabi Saw. di pihak yang lain. Misalnya, Syi’ah menolak periwayatan para sahabat yang setuju terhadap kekhilafahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Dalam keyakinan Syi’ah, mereka pelaku dosa-dosa besar karena telah berbuat murtad.[1] Syi’ah menolak periwayatan para sahabat yang—dipandang oleh mereka—memusuhi Ali, seperti Thalhah, Abdullah bin az-Zubair, Mu’awiyah, Abdullah bin Wahab.[2] Sementara terhadap para imam Ahlu Bait, Syi’ah meyakini para imam itu ma’shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).
Keyakinan ini juga digunakan sebagai kriteria kualitas riwayat, baik dari segi sanad maupun integritas pribadi periwayat. Karena itu, Syi’ah hanya mengakui hadis-hadis riwayat kelompok Syi’ah saja.
Perbedaan konsepsi secara metodologis tentang hadis dan Sunah antara umat Islam dan Syi’ah bergulir pada wilayah kajian epistemologi. [3] Perbedaan konsep epistemologi hadis antara umat Islam dan Syi’ah pada gilirannya berimplikasi terhadap kualitas hadis.
Sebelum mengakhiri kajian pada sub bagian ini, adalah penting kiranya untuk dikemukakan di sini, bahwa sebetulnya perhatian Syiah terhadap hadis dan kaidah-kaidahnya hingga pembagian pada shahîh, hasan, dha’if dan yang lain, sebenarnya baru muncul pada kurun ketujuh atau kedelapan hijriyah, kendati kajian mengenai keadaan para perawi (rijâl al-hadîts) menurut mereka (Syiah) telah dimulai pada abad keempat hijriah.
Pada saat itu, kritik terhadap Syiah, utamanya mengenai hadis-hadis mereka yang anti-metodologi, demikin deras datang dari ulama Ahlussunnah. Beliau-beliau seringkali memperolok-olok Syiah akan ketidak-mampuan mereka dalam memahami ilmu tentang keadaan para perawi (‘ilm ar-rîjâl), istilah-istilah hadis (musthalah al-Hadîts) dan hal-hal yang terkait. Akibatnya, hadis-hadis mereka tidak memiliki taring untuk dijadikan sebagai argumentasi.
Lantaran kritik-kritik tajam itulah, mereka kemudian membuat beragam istilah dan klasifikasi hadis menjadi empat macam: Shahih,[4] Muwatsaq, [5] Hasan, [6] dan dha’if. Keempat macam hadis itu diistilahkan dengan Ushul al-Hadits.[7]
Klasifikasi hadis menjadi empat macam di atas dipelopori oleh Sayyid Jamaludin Ahmad bin Thawus (w. 674 H) dan dikembangkan oleh muridnya, ‘Alamah al-Hasan bin al-Muthahir al-Hilli (w. 726 H.). [8] Selanjutnya, pada masa Syekh Zainuddin bin Ali bin Ahmad al-‘Amili (w. 965 H) atau yang lebih populer dengan sebutan Syahid Tsani, dan Syekh Muhammad bin al-Husen bin Abdus Shamad, atau yang lebih populer dengan sebutan Baha’uddin al-‘Amili ( w. 1031 H) klasifikasi itu berkembang menjadi lima macam dengan memisahkan hadis qawwi[9] sebagai martabat terpisah. [10]
Fakta sejarah di atas telah dikemukakan oleh para ulama Syi’ah, antara lain sebagai berikut:
Putra Syahid Tsani, Al-Hasan bin Zainuddin al-‘Amili (w. 1011 H) menjelaskan:
وَلاَ يَكَادُ يُعْلَمُ وُجُوْدُ هذَا الإِصْطِلاَحِ قَبْلَ زَمَانِ الْعَلاَّمَةِ إِلاَّ مِنَ السَيِّدِ جَمَالِ الدِّيْنِ ابْنِ طَاوُوْسٍ ( رَحِمَهُ اللهُ ) وَإِذَا أُطْلِقَتِ الصِّحَّةُ فِي كَلاَمِ مَنْ تَقَدَّمَ فَمُرَادُهُمْ مِنْهَا الثُّبُوْتُ أَوِ الصِّدْقُ
“Adanya peristilahan ini hampir tidak diketahui sebelum zaman Alamah al-Hilli kecuali dari Sayyid Jamaludin Ibn Thawus. Dan apabila disebutkan kata shahih dalam perkataan ulama mutaqaddimin maka maksud mereka ats-tsubut atau ash-shidq.” [11]
Muhammad Taqiy bin Maqshud ‘Ali al-Majlisi (w. 1070 H) berkata:
وَأَوَّلُ مَنْ سَلَكَ هذَا الطَّرِيْقَ مِنْ عُلَمَائِنَا الْمُتَأَخِّرِيْنَ شَيْخُنَا الْعَلاَمَةُ جَمَالُ الْحَقِّ وَالدِّيْنِ حَسَنُ بْنُ مُطَهِّرٍ الْحِلِّي ( قَدَّسَ اللهُ رُوْحَهُ ) ثُمَّ إِنَّهُمْ ( أَعْلَى اللهُ مَقَامَهُمْ ) رُبَّمَا يَسْلُكُوْنَ طَرِيْقَةَ الْقُدَمَاءِ فِيْ بَعْضِ الأَحْيَانِ
“Dan orang pertama, di ulama kita yang terakhir, yang menggunakan metode ini adalah syekh Alamah Jamalul haq wadin Hasan bin Muthahir al-Hilli —semoga Allah mensucikan ruhnya—, kemudian mereka—semoga Allah meninggikan derajat mereka—terkadang menggunakan pula metode ulama mutaqaddimin pada kesempatan yang lain.” [12]
Syekh Al-Hurr al-‘Amili ( w. 1104 w.) berkata:
أَنَّ هذَا الإِصْطَلاَحَ مُسْتَحْدَثٌ فِيْ زَمَانِ الْعَلاَمَةِ أَوْ شَيْخِهِ أَحْمَدَ ابْنِ طَاوُوْسٍ كَمَا هُوَ مَعْلُوْمٌ وَهُمْ مُعْتَرِفُوْنَ بِهِ وَهُوَ إِجْتِهَادٌ وَظَنٌّ مِنْهُمَا
“Istilah ini diciptakan pada zaman Alamah (al-Hilli) atau gurunya Ahmad Ibn Thawus sebagaimana telah dimaklumi, dan mereka mengakuinya, dan istilah baru itu merupakan ijtihad dan zhan (sangkaan) dari mereka berdua.” [13]
Syekh Yusuf al-Bahrani (w. 1181 H) berkata:
قَدْ صَرَّحَ جُمْلَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُتَأَخِّرِيْنَ بِأَنَّ الأَصْلَ فِيْ تَنْوِيْعِ الْحَدِيْثِ إِلَى الأَنْوَاعِ الأَرْبَعَةِ الْمَشْهُوْرَةِ هو الْعَلاَمَةُ أَوْ شَيْخُهُ جَمَالُ الدِّيْنِ بْنِ طَاوُوْسٍ نَوَّرَ اللهُ تَعَالَى مَرْقَدَيْهِمَا. وَأَمَّا الْمُتَقَدِّمُوْنَ فَالصَّحِيْحُ عِنْدَهُمْ هُوَ مَا اعْتُضِدَ بِمَا يُوْجِبُ الإِعْتِمَادَ عَلَيْهِ مِنَ الْقَرَائِنِ وَالأَمَارَاتِ الَّتِيْ ذَكَرَهَا الشَّيْخُ ( قَدَّسَ سِرَّهُ ) فِيْ كِتَابِ الْعُدَّةِ. وَعَلَى هذَا جَرَى جُمْلَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُحَدِّثِيْنَ وَطَائِفَةٌ مِنْ مُتَأَخِّرِيْ مُتَأَخِّرِيْ الْمُجْتَهِدِيْنَ كَشَيْخِنَا الْمَجْلِسِيِّ رَحِمَهُ اللهُ وَجَمْعٌ مِمَّنْ تَأَخَّرَ عَنْهُ
“Sejumlah ulama mutaakhir sahabat kami telah menjelaskan bahwa sumber diversifikasi hadis menjadi 4 macam yang terkenal adalah ‘Alamah atau gurunya Jamaluddin bin Thawus, semoga Allah menerangi tempat istirahat mereka. Adapun kriteria shahih menurut ulama mutaqaddimin ialah hadis yang dibantu oleh berbagai qarinah dan tanda yang mengharuskan hadis itu dijadikan pegangan, yang telah diterangkan oleh Syekh (ath-Thusi) dalam kitab al-‘Uddah. Kriteria ini dipergunakan oleh sejumlah ulama mutaakhir sahabat kami dan sekelompok mujtahid masa terakhir, seperti guru kita al-Majlisi—semoga Allah merahmatinya—dan sekelompok orang setelahnya.” [14]
Syekh Muhsin al-Amin al-‘Amili (w. 1371 H) berkata:
وَمِنْ عُلَمَاءِ الشِّيْعَةِ فِيْهِ السَّيِّدُ جَمَالُ الدِّيْنِ أَحْمَدُ بْنُ مُوْسَى بْنِ جَعْفَرِ بْنِ طَاوُوْسٍ الْحَسَنِيْ قَالَ تِلْمِيْذُهُ الْحَسَنُ بْنُ دَاوُدَ الْحِلِّي فِيْ رِجَالِهِ : حَقَّقَ الرِّجَالَ وَالرِّوَايَةَ وَالتَّفْسِيْرَ تَحْقِيْقًا لاَ مَزِيْدَ عَلَيْهِ اه وَهُوَ وَاضِعُ الإِصْطِلاَحِ الْجَدِيْدِ فِيْ تَقْسِيْمِ الْحَدِيْثِ عِنْدَ الإِمَامِيَّةِ إِلَى أَقْسَامِهِ الأَرْبَعَةِ الصَّحِيْحِ وَالْحَسَنِ وَالْمُوَثَّقِ وَالضَّعِيْفِ
“Dan di antara ulama Syi’ah padanya (bidang ilmu musthalah hadis) Sayyid Jamaludin Ahmad bin Musa bin Ja’far bin Thawus al-Hasani. Muridnya yang bernama al-Hasan bin Dawud al-Hilli berkata dalam kitab rijalnya, ‘Beliau telah mentahqiq para rawi, riwayat dan tafsir yang tiada duanya.’ Di kalangan Syi’ah Imamiyah, beliau pembuat istilah baru dalam klasifikasi hadis menjadi shahih, hasan, muwatsaq, dan dha’if.” [15]
Standarisasi klasifikasi ini mengacu kepada keragaman hal-ihwal para penyampai khabar (rawi). Hal itu, dijelaskan Al-Hasan bin Zainuddin al-‘Amili (w. 1011 H):
أَنَّ مَدَارَ تَقْسِيْمِ الْحَدِيْثِ إِلَى الأَقْسَامِ الأَرْبَعَةِ عَلَى رِعَايَةِ حَالِ الرُّوَاةِ وَصِفَاتِهِمْ الَّتِيْ لَهَا مَدْخَلُ مَا فِيْ قَبُوْلِ الرِّوَايَةِ وَعَدَمِهِ، وَأَنَّ مَنَاطَ وَصْفِ الصِّحَّةِ هُوَ إِجْتِمَاعُ وَصْفَيْ الْعَدَالَةِ وَالضَّبْطِ فِيْ جَمِيْعِ رُوَاةِ الْحَدِيْثِ مَعَ اتِّصَالِ رِوَايَتِهِمْ لَهُ بِالْمَعْصُوْمِ
“Sesungguhnya, klasifikasi hadis menjadi empat itu bertumpu pada perhatian keadaan dan sifat para rawi yang menjadi pintu masuk diterima dan tidaknya periwayatan. Dan yang menjadi acuan sifat keshahihan itu adalah terpenuhinya dua sifat: ‘adalah dan dhabth pada semua rawi hadis di samping bersambungnya mereka dengan Imam yang ma’shum.” [16]
Dalam redaksi lain, beliau berkata:
إِصْطَلَحَ الْمُتَأَخِّرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا عَلَى تَقْسِيْمِ الْخَبَرِ بِاعْتِبَارِ إخْتِلاَفِ أَحْوَالِ رُوَاتِهِ إِلَى الأَقْسَامِ الأَرْبَعَةِ الْمَشْهُوْرَةِ
“Para ulama mutaakhir, sahabat kita, menetapkan istilah klasifikasi khabar menjadi empat yang populer itu berdasarkan pertimbangan keragaman hal-ihwal para rawi (penyampai khabar)” [17]
Meskipun demikian, untuk mengakomodir kebutuhan ini para ulama Syi’ah mutaakhir tidak memiliki kriteria mandiri, sehingga mereka menjiplak teori klasifikasi hadis itu dari ilmu hadis karya ulama Islam. Sementara kriterianya dimodifikasi sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Demikian itu diakui oleh ulama Syi’ah, antara lain Syekh Al-Hurr al-‘Amili ( w. 1104 w.) berkata:
الإِصْطِلاَحُ الْجَدِيْدُ (تَقْسِيْمُ الْحَدِيْثِ) مُوَافِقٌ لِاعْتِقَادِ الْعَامَّةِ (أَهْلُ السُّنَّةِ) وَاصْطِلاَحِهِمْ، بَلْ هُوَ مَأْخُوْذٌ مِنْ كُتُبِهِمْ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ بِالتَّتَبُّعِ وَكَمَا يُفْهَمُ مِنْ كَلاَمِ الشَّيْخِ حَسَنٍ وَغَيْرِهِ وَقَدْ أَمَرَنَا الأَئِمَّةُ (ع) بِاجْتِنَابِ طَرِيْقَةِ الْعَامَّةِ وَقَدْ تَقَدَّمَ مَا يَدُلُّ عَلَى ذلِكَ فِيْ الْقَضَاءِ فِيْ أَحَادِيْثِ تَرْجِيْحِ الْحَدِيْثَيْنِ الْمُخْتَلِفَيْنِ وَغَيْرِهَا.
“Istilah baru itu (klasifikasi hadis) sesuai dengan keyakinan ‘Awam (Ahlus-Sunah) dan istilah-istilah mereka, bahkan hal itu diambil dari kitab-kitab mereka sebagaimana hal itu tampak jelas dengan penelusuran dan seperti yang dapat difahami dari ucapan Syekh Hasan dan lainnya. Para Imam telah memerintahkan kita menjauhi cara kaum ‘Awam. Telah disebutkan terdahulu bukti yang menunjukkan hal itu dalam kitab (topik) al-Qadha pada hadis-hadis tentang mentarjih dua hadis yang bertentangan dan lainnya. [18]
Keterangan di atas menunjukkan bahwa klasifikasi baru yang digagas oleh Ibn Thawus dan dikembangkan oleh Alamah al-Hilli bukanlah karya orisinal mereka berdua melainkan hasil modifikasi teori ilmu hadis ulama Islam. [19]
Karena itu, penggunaan klasifikasi baru tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan ulama Syi’ah pasca generasi mutaakhir. Penolakan datang antara lain dari Syekh al-Hasan bin Zainuddin al-‘Amili[20] (w. 1011 H), Syekh Muhammad Amin al-Astarabadi[21] (w. 1036 H), Syekh al-Faidh al-Kasyani[22] (w. 1091 H), Syekh al-Hurr al-‘Amili[23] ( w. 1104 w.), Syekh Yusuf al-Bahrani[24] (w. 1181 H). Sementara pembelaan sekaligus bantahan datang antara lain dari Sayyid Hasan ash-Shadr[25] dan I’dad Abu al-Fadhl Hafizhuyani al-Babuli. [26]
Mengenai faktor yang mendorong Syiah membuat kaidah-kaidah dan pembagian-pembagian hadis sebagaimana di sebutkan di atas, Syekh Syiah terkemuka, al-Hur al-Amili, mengakui dan menjelaskan, bahwa sebab-sebab dari perletakan istilah shahîh, hasan, dha’if dan lain sebagainya, dalam hadis-hadis Syiah dan perhatian Syiah pada sanad serta kritik hadis adalah karena mereka berkepentingan untuk menghadapi Ahlussunnah. Lebih jelas, Hur al-Amili berkata sebagai berikut:
Adapun faidah dari penyebutan sanad-sanad hadis adalah guna menangkis cemooh orang kebanyakan (maksudnya Ahlussunnah) terhadap Syiah, dengan kecaman bahwa hadis-hadis Syiah tidak memiliki jalur periwayatan yang jelas dan runtun, akan tetapi hanya mencuplik dari buku-buku para pendahulu mereka.[27]
Fakta ini menjadi bukti yang sangat jelas dan valid, bahwa perhatian Syiah terhadap ilmu dan metodologi hadis memang tumbuh jauh terlambat dari Ahlussunnah. Lebih dari itu, motivatornya bukan untuk menyeleksi ke-shahîh–an hadis, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlussunnah, namun justru dimaksudkan untuk menampakkan kesahihan hadis mereka, kendati itu palsu.
Kendati demikian, metodologi hadis yang ditetapkan oleh Syiah, andai saja diterapkan untuk menyeleksi hadis-hadis mereka sendiri, maka hadis-hadis itu akan tinggal sekelumit saja. Hal ini rupanya telah disadari dan diakui sendiri oleh pemuka Syiah, Syekh Yusuf al-Bahrani (w. 1186). Ia menyatakan sebagai berikut:
Pilihan yang mesti kita (Syiah) ambil adalah mengambil hadis-hadis (Syiah) ini, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita, atau membuat aliran baru yang bukan aliran (Syiah) ini, dan membuat syariat baru yang bukan syariat (Syiah) ini, akibat kekurangan dan ketidak sempurnannya. Sebab telah jelas jika memang tidak ada dalil yang kuat bagi sejumlah besar hukum-hukumnya….[28]
Dengan demikian, statemen Syiah yang menyatakan bahwa hadis-hadis dihimpun melalui transmisi dan periwayatan yang sambung-beruntun serta dapat dipertanggung-jawabkan (sebagaimana yang telah dikutip di atas, pada pembahasan al-Kutub al-Arba’ah), adalah tidak tepat. Selain terbantah oleh kenyataan sejarah dan data-data terpercaya, statemen itu juga dimentahkan oleh pengakuan dari tokoh-tokoh Syiah sendiri, sebagaimana pernyataan Ibnu Abi al-Hadid di atas.
Lebih dari itu, dalam pandangan ulama al-Jarh wa at-Ta’dîl (ilmu evaluasi positif dan negatif periwayat hadis), Syiah merupakan kelompok yang paling banyak melakukan kebohongan-kebohongan (akdzab at-thawâ’if) di bidang hadis.[29] Akibatnya, selain banyak yang palsu, hadis-hadis Syiah juga banyak yang bertentangan antara yang satu dengan yang lain, selain juga jelas bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis-hadis shahîh.
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku:
Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
Hitam dibalik Putih: Bantahan Terhadap Buku Putih Madzhab Syi’ah, karya Amin Muchtar, terbitan al-Qalam, cetakan kedua, Desember 2014
[1]Misalnya, tercermin dalam pernyataan yang dinisbatkan kepada Imam Syi’ah ke-5 Abu Ja’far Muhammad al-Baqir (w. 114 H), bahwa para sahabat telah murtad sesudah wafatnya Rasulullah Saw, kecuali tiga orang. Hadis al-Baqir ini diriwayatkan oleh al-Kulaini melalui jalur periwayatan Hanan bin Sadir, dari ayahnya (Sadir):
عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ (عليه السلام) قَالَ : كَانَ النَّاسُ أَهْلَ رِدَّةِ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله إِلاَّ ثَلاَثَةً فَقُلْتُ: وَمَنِ الثَّلاَثَةُ؟ فَقَالَ: الْمِقْدَادُ بْنُ الأَسْوَدِ وَأَبُوْ ذَرٍّ الْغِفَارِيْ وَسَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ عَرَفَ أُنَاسٌ بَعْدَ يَسِيْرٍ وَقَالَ: هؤُلاَءِ الَّذِيْنَ دَارَتْ عَلَيْهِمْ الرَّحَا وَأَبَوْا أَنْ يُبَايِعُوْا حَتَّى جَاؤُوْا بِأَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ (عليه السلام) مُكْرَهًا فَبَايَعَ وَذلِكَ قَوْلُ اللهِ تعالى: وما محمد إلا رسول قد خلت من قبله الرسل أفإن مات أو قتل انقلبتم على أعقابكم ومن ينقلب على عقبيه فلن يضر الله شيئا وسيجزي الله الشاكرين –
“Dari Abu Ja’far ‘alaihis salaam, ia berkata, “Manusia setelah Nabi shallaahu ‘alaihi wa aalih murtad kecuali tiga orang.” Saya (Sadir) bertanya, “Siapa tiga orang itu?” Abu Ja’far menjawab, “al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi rahmatullah wa barakatuhu ‘alaihim. Tidak lama setelah itu, orang-orang mengetahui.” dan berkata, ‘Mereka itulah orang-orang yang akan dikelilingi oleh awan (Islam, iman, dan kemenangan al-haq), dan mereka enggan berbai’at sehingga mendatangi Amirul Mukminin (Ali) ‘alaihis salam (yang ketika itu tidak disenangi), maka dia berbaiat. itulah firman Allah Ta’ala, ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul, apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur (Qs. Ali Imran: 144)’.” Lihat, al-Kafi, bagian ar-Rawdhah, terbitan Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, Cetakan III, tahun 1388 H, Juz 8, hal. 245-246, Hadis No. 341, bab:
النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله أَهْلُ رِدَّةٍ إِلاَّ ثَلاَثَةً
Lihat pula, al-Kafi versi baru, terbitan Dar al-Hadits, Qum, Iran, tahun 1430 H, tahqiq Markaz Buhuts Dar al-Hadits, juz 15, hal. 558-559, Hadis No. 15.156, bab:
إِنَّ عَامَّةَ الصَّحَابَةِ نَقَضُوْا عَهْدَهُمْ وَارْتَدُّوْا بَعْدَ رَسُوْلِ اللّه صلى الله عليه و آله = النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و آله أَهْلُ رِدَّةٍ إِلاَّ ثَلاَثَةً
Lihat pula dalam al-Wafi Syarh al-Kafi, karya al-Faydh al-Kasyani, Juz 2, hal. 198-199, pada bab
إِنَّ عَامَّةَ الصَّحَابَةِ نَقَضُوْا عَهْدَهُمْ وَارْتَدُّوْا بَعْدَ رَسُوْلِ اللّه صلى الله عليه و آله
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh al-Kasyyi, dengan sedikit perbedaan redaksi pada kalimat:
…وَأَبَوْا أَنْ يُبَايِعُوْا لِأَبِيْ بَكْرٍ حَتَّى جَاؤُوْا بِأَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ…
(Lihat, Rijal al-Kasyyi, hal. 26-27, Hadis No. 12)
Hadis di atas dijadikan rujukan oleh para ulama Syi’ah, antara lain Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayyasyi dalam Tafsir al-‘Ayyasyi, Juz 1, hal. 199, Hadis No. 148; Syekh al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar, Juz 28, hal. 236, Hadis No. 22. Kata Syekh al-Majlisi:
الْحَدِيْثُ الْحَادِيُّ وَالأَرْبَعُوْنَ وَالثَّلاَثُمِائَةِ : حَسَنٌ أَوْ مُوَثَّقٌ
“Hadis No. 341, Hasan atau Muwatsaq.” Lihat, Mir’ah al-‘Uqul fi Syarh Akhbari Ali ar-Rasul, Juz 26, hal. 213, Hadis No. 341, bab:
إِرْتِدَادُ النَّاسِ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله إِلاَّ ثَلاَثَةً
Penjelasan tentang kriteria Hasan atau Muwatsaq menurut ulama Syi’ah dapat dibaca pada pembahasan selanjutnya.
[2]Penjelasan secara garis besar tentang sikap Syi’ah terhadap sahabat, Tabi’in, hingga generasi pencatat hadis yang tidak diterima periwayatannya dapat dibaca antara lain, pada tulisan Sayyid Murtadha al-‘Askari, dalam Muqadimah Mir’ah al-Ushul fi Syarh Akhbar ar-Rasul, karya Syekh al-Majlisi, Juz 1, hal. 24- 26.
[3]Suatu cabang filsafat yang membahas tentang asal, struktur, metode-metode, keshahihan, dan tujuan pengetahuan. Epistemologi, juga merupakan sarana untuk mendekati masalah-masalah pokok berkaitan dengan dinamika ilmu pengetahuan yang menyangkut sumber, hakekat, validitas dan metodologi.
[4]Banyak definisi yang diajukan oleh para ulama Syi’ah tentang kriteria shahih menurut ulama Syiah mutaqaddimin, antara lain: “Shahih menurut al-Qudama’ ialah hadis yang dipercayai bersumber dari imam ma’shum. Makna ini lebih umum daripada sekadar kepercayaan yang bersumber dari seorang rawi yang tsiqah (kredibel) dan tanda-tanda lainnya. Dan mereka dapat memastikannya bersumber darinya atau menduga.” Lihat, Masyriq asy-Syamsain, hal. 269; Jami al-Maqal, hal. 35; Fawa’id al-Wahid, hal. 27; Lub al-Bab, hal. 457, Nihayah ad-Dirayah, hal. 116; Miqbas al-Hidayah, Juz 1, hal. 183, Juz 2, hal. 168. Namun, menurut ulama Syiah mutaakhirin, sebagaimana disebutkan Syahid Tsani, “Hadis shahih ialah yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum, diriwayatkan oleh rawi adil lagi syi’ah imami dari yang semisalnya dalam semua tingkatan di mana tingkatan itu banyak, dan meskipun terkena syadz.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 77. Definisi ini dikutip oleh al-Hasan bin Zainuddin (Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 4), Syekh Mahdi al-Kajuri asy-Syirazi (al-Fawa’id ar-Rijaliyyah, hal. 183), I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli (Rasa’il fi Dirayah al-Hadits, Juz 1, hal. 125), dan Syekh Ja’far Subhani (Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 50)
[5] Menurut Syahid Tsani, “Hadis muwassaq yaitu hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum, namun pada sanadnya terdapat orang yang dinyatakan tsiqah oleh para pemilik kitab rijal, meskipun dia rusak akidahnya, dan aspek-aspek lainnya tidak meliputi yang dha’if.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 84. Definisi ini dikutip oleh I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli (Rasa’il fi Dirayah al-Hadits, Juz 1, hal. 125), dengan tambahan kalimat di awal: wa yuqaalu lahu al-qawwi. Dikutip pula oleh Muhyiddin al-MuSawi al-Ghuraifi (Qawa’id al-Hadits, hal. 24), Syekh Akram Barakat (Durus fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 48), Ja’far Subhani (Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 50). Latar belakang penamaan muwatsaq, dijelaskan pula oleh Syahid Tsani, “Dinamakan demikian (muwatsaq) karena rawinya tsiqah meskipun berbeda akidah. Dan dengan unsur ini, muwatsaq berbeda dengan Shahih meskipun terdapat kesamaan pada aspek tsiqah. Dinamakan pula Qawwi karena dugaan kuat padanya dengan sebab penilaian tsiqah terhadap dirinya.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 84
[6] Menurut Syahid Tsani, “Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum diriwayatkan oleh rawi imami yang terpuji meskipun tidak ada yang menyatakan sifat adilnya, serta yang demikian itu nyata pada semua atau sebagian tingkatan rawi dalam sanadnya, sementara para rawi lainnya termasuk kategori rawi shahih.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 81. Definisi ini dikutip oleh al-Hasan bin Zainuddin (Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 5), I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli (Rasa’il fi Dirayah al-Hadis, Juz 1, hal. 297), Sayyid Hasan ash-Shadr (Nihayah ad-Dirayah, hal. 289), Syekh Ja’far Subhani (Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 50) dan Muhammad Ridha Jadidi (Mu’jam Musthalahat ar-Rijal wa ad-Dirayah, hal. 56), semuanya menyertakan tambahan kalimat:
بلا معارضة ذم مقبول
Dikutip pula oleh Muhyiddin al-Musawi al-Ghuraifi (Qawa’id al-Hadits, hal. 24), Syekh Ali Akbar al-Mazandarani (Miqyas ar-Riwayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 66-67), Syekh Akram Barakat (Durus fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 48), Abul Huda al-Kalbasi (Sama’ al-Maqal fi ‘Ilm ar-Rijal, hal. 448), dan Dr. Abdul Hadi al-Fadhli (Ushul al-Hadits, hal. 107), semuanya tanpa menyertakan kalimat di atas.
[7] Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, Juz 1, hal. 95; Miqbas al-Hidayah, Juz 1, hal. 137; Durus fi ’Ilm ad-Dirayah, hal. 45. Bandingkan dengan keterangan Syekh Ja’far Subhani dalam Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 46-47.
[8]Para ulama Syi’ah berbeda pendapat dalam menetapkan orang yang mempeloporinya. Sebagian berpendapat bahwa pelopornya Ibn Thawus (w. 674 H). Sementara ulama lainnya berpendapat Alamah al-Hilli (w. 726 H.). Menurut Syekh Ja’far Subhani, yang benar bahwa pelopornya Ibn Thawus, sebagaimana anda ketahui pernyataan Syekh Zainuddin al-‘Amili, penyusun kitab Muntaqa al-Juman. (Lihat, Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu, hal. 46).
[9] Hadis Qawwi menurut Syahid Awal dan Syahid Tsani istilah lain bagi hadis Muwatsaq. Pendapat ini diikuti para ulama Syi’ah periode selanjutnya, seperti al-Hasan bin Zainuddin[9], Sayyid Murtadha al-Askari, Syekh Ali Akbar al-Mazandarani, dan I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli.
Namun Syekh Sayyid Hasan ash-Shadr dan Syekh Abul Huda al-Kalbasi mempunyai pendapat yang berbeda, karena menurut keduanya istilah Qawwi memiliki kriteria tersendiri yang layak diposisikan sebagai martabat terpisah. Meski berbeda dalam menetapkan posisi Qawwi, namun keduanya sepakat menetapkan klasifikasi hadis itu menjadi 5 macam. Menurut Sayyid Hasan ash-Shadr, “Qawwi adalah khabar yang pada silsilah sanadnya terdapat dua rawi imami tanpa pujian dan tidak pula celaan, baik kedua-duanya maupun salah satunya, namun para rawi lainnya mendapat penilaian ‘adil. Maka qawwi secara istilah karena dugaan kuat padanya.” Lihat, Nihayah ad-Dirayah, hal. 263.
[10] Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ar-Dirayah, hal. 85; al-Wajizah fi ad-Dirayah, hal. 5. Lihat pula keterangan Dr. Sayyid Ridha Mu’addib dalam Tarikh al-Hadits, hal. 124.
[11] Lihat, Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 13.
[12] Lihat, Rawdhah al-Muttaqin fi Syarh Man La Yahdhuruh al-Faqih, Juz 1, hal. 19.
[13] Lihat, Wasa’il asy-Syi’ah, Juz 30, hal. 262.
[14] Lihat, al-Hada’iq an-Nadhirah, Juz 1, hal. 14
[15] Lihat, A’yan asy-Syi’ah, Juz 1, hal. 149
[16] Lihat, Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 8.
[17] Lihat, Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 13.
[18]Lihat, Wasa’il asy-Syi’ah, Juz 30, hal. 262; Pandangan beliau—dengan sedikit perbedaan redaksi—disampaikan pula dalam kitab Hidayah al-‘Ummah ilaa Ahkam al-Aimmah, Juz 8, hal. 581.
[19]Menurut Syekh Ja’far Subhani, klasifikasi ini kemungkinan diambil dari karya-karya ulama mutaqaddimin seperti Syekh as-Shaduq, Sayyid Murtadha dalam kitabnya Dzari’ah, dan Syekh ath-Thusi dalam kitabnya ‘Uddah. Namun dimungkinkan pula diambil dari klasifikasi tiga macam hadis yang beredar di kalangan Ahli Hadis Islam. Karena hadis menurut mereka terbagi menjadi shahih, hasan, dan dha’if. (Lihat, Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu, hal. 47).
Selain dalam peristilahan klasifikasi hadis, ulama Syi’ah generasi berikutnya—setelah selesai era mutaakhir—menjiplak pula teori-teori ilmu hadis dirayah Islam. Demikian itu dilakukan oleh Syahid Tsani (911-966 H). Namanya Zainuddin bin Nuruddin ‘Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Jamaluddin al-‘Amili. Beliau dipandang sebagai ulama Syi’ah pertama yang membukukan ilmu dirayah hadis. Demikian itu diakui oleh ulama Syi’ah, antara lain Syekh Husen Abdus Shamad Walid al-Baha’I al-‘Amili (918-984 H), sebagai murid Syahid Tsani. Beliau berkata tentang biografi, gurunya Syekh Zainuddin asy-Syahid:
ثُمَّ اعْلَمْ أَنَّ الشَّيْخَ زَيْنَ الدِّيْنِ هذَا هُوَ أَوَّلُ مَنْ نَقَلَ عِلْمَ الدِّرَايَةِ مِنْ كُتُبِ الْعَامَّةِ وَطَرِيْقَتَهُمْ إِلَى كُتُبِ الْخَاصَّةِ، وَأَلَّفَ فِيْهِ الرِّسَالَةَ الْمَشْهُوْرَةَ ثُمَّ شَرَحَهَا كَمَا صَرَّحَ بِهِ جَمَاعَةٌ مِمَّنْ تَأَخَّرَ عَنْهُ ، وَيَلُوْحُ مِنْ تَتَبُّعِ كُتُبِ الأَصْحَابِ أَيْضًا، ثُمَّ أَلَّفَ بَعْدَهُ تِلْمِيْذُهُ الشَّيْخُ حُسَيْنُ ابْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ الْحَارِثِيُّ وَبَعْدَهُ وَلَدُهُ الشَّيْخُ الْبُهَائِيُّ وَهكَذَا
“Kemudian, ketahuilah bahwa Syekh Zainuddin ini adalah orang yang pertama menukil ilmu dirayah dari kitab-kitab awam (Islam) dan metode mereka ke dalam kitab-kitab kelompok khusus (Syi’ah), dan padanya disusun risalah yang populer, lalu beliau mensyarahinya sebagaimana dijelaskan oleh sekelompok orang yang hidup setelah beliau dan tampak pula dari penelusuran kitab-kitab para sahabatnya, dan setelah itu oleh anaknya Syekh Buha’I, demikianlah.”
Selanjutnya, beliau berkata:
وَهُوَ – أَيْ الشَّهِيْدُ الثَّانِيْ – أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ مِنَ الإِمَامِيَّةِ فِيْ دِرَايَةِ الْحَدِيْثِ لكِنَّهُ نَقَلَ الإِصْطِلاَحَاتِ مِنْ كُتُبِ الْعَامَّةِ كَمَا ذَكَرَهُ وَلَدُهُ وَغَيْرُهُ .
“Dan dia—Syahid Tsani—orang Syi’ah Imamiyah yang pertama kali menyusun ilmu dirayah hadis, namun dia menukil berbagai istilah dari kitab-kitab awam (ahlusunah), sebagaimana disebutkan oleh anaknya dan lain-lain.” (Lihat, Wushul al-Akhyar ila Ushul al-Akhbar, hal. 7-8).
Syekh al-Ha’iri berkata:
إِنَّهُ لَمْ يُصَنِّفْ فِيْ دِرَايَةِ الْحَدِيْثِ مِنْ عُلَمَائُنَا قَبْلَ الشَّهِيْدِ الثَّانِيْ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ عُلُوْمِ الْعَامَّةِ
“Tidak ada ulama kita yang menyusun ilmu dirayah hadis sebelum Syahid Tsani, dan dia tiada lain diambil dari ilmu-ilmu kelompok ‘awam (Islam).” (Lihat, Muqtabas al-Atsar, Juz 3, hal. 73).
Syekh al-Hurr al-‘Amili berkata:
وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ مِنَ الإِمَامِيَّةِ فِيْ دِرَايَةِ الْحَدِيْثِ لكِنَّهُ نَقَلَ الإِصْطِلاَحَاتِ مِنْ كُتُبِ الْعَامَّةِ كَمَا ذَكَرَهُ وَلَدُهُ وَغَيْرُهُ
“Dia ulama Syi’ah Imamiyah yang pertama menyusun ilmu dirayah hadis, namun dia menukil berbagai istilah dari kitab-kitab awam, sebagaimana disebutkan oleh anaknya dan lain-lain.” (Lihat, Amal al-Amil, Juz 1, hal. 86; Mu’jam Rijal al-Hadits, Juz 8, hal. 385)
[20] Dalam kitabnya Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 10 dan seterusnya.
[21] Dalam kitabnya al-Fawa’id al-Madaniyah, hal. 181 dan seterusnya.
[22] Dalam kitabnya al-Wafi, Juz 1, hal. 19 dan seterusnya, pada topik al-Muqaddamah ats-tsaniah.
[23] Dalam kitabnya Tafshil Wasa’il asy-Syi’ah, Juz 30, hal. 249 dan seterusnya, Fasal ke-9, topik:
فِي الإِسْتِدْلاَلِ عَلَى صِحَّةِ أَحَادِيْثِ الْكُتُبِ الْمَنْقُوْلِ مِنْهَا
“Tentang mencari petunjuk mengenai keshahihan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab yang disalin darinya”
[24] Dalam kitabnya al-Hada’iq an-Nazhirah, Juz 1, hal. 14 dan seterusnya, pada topik:
فِيْ إِثْبَاتِ صِحَّةِ جَمِيْعِ الأَخْبَارِ وَإِبْطَالِ الإِصْطِلاَحِ فِيْ تَنْوِيْعِ الْحَدِيْثِ إِلَى الأَنْوَاعِ الأَرْبَعَةِ
[25] Dalam kitabnya Nihayah ad-Dirayah, hal. 109 dan seterusnya, Fasal ke-9, topik Tanwi’ al-Hadis.
[26] Dalam kitabnya Risalah fi Dirayah al-Hadits, Juz 2, hal. 238 dan seterusnya, pada topik fii Hujjah an-Nafiy.
[27] Ibid.
[28] Rujuk dalam Lu’lu’ al-Bahrain, hlm. 47, dikutip dalam Nukhâwalah al-Madaniyah: Bahts Tafshîlî, hlm. 75-77.
[29] Nashb ar-Râyah fi Takhrîj Ahadîts al-Hidâyah, juz 2 hlm. 273.
(sigabah.com/syiahindonesia.com)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: