Foto edited by; Syiahindonesia.com |
Syiahindonesia.com - Sejak Revolusi Iran dicanangkan, tahun 1979, maka semenjak itu pula euforia revolusi Persi menyebarkan propaganda Syiah ke mana-mana. Khususnya di negara-negara Arab sebagai tetangga – dan juga negara Islam lainnya. Apalagi Indonesia, sebagai negara terbesar mayoritas Muslim di dunia, menjadi incaran pertama dan utama syiahisasi di sini dengan mengusung retorika revolusi dan anti Amerika, isu nuklir, serta pro Palestina yang tidak pernah kongkret.
Padahal, siapapun tahu bahwa Revolusi Iran (1979) saat itu disiarkan media internasional sebagai revolusi yang telah memakan anak kandungnya sendiri. PM Sadeq Qotbzadeh (PM pertama pasca revolusi) dihukum gantung oleh Khomeini. Presiden pertama, Bani Shadr divonis mati, andai tak lari mencari suaka ke Prancis (sampai kini) pasti ia mengalami nasib yang sama dengan Qotbzadeh. Ayatullah Bahesti dibom bersama konon puluhan anggotanya di parlemen, dan Ayatullah Syariat Madari dikucilkan dari revolusi karena bersaing dengan Ayatullah Khomeini.
Revolusi Iran sampai kini tercatat belum memberikan perubahan yang berarti, sampai terpilihnya Presiden Rouhani yang dianggap moderat. Semasa pemerintahan Ahmadinejad yang dekat dengan Rusia (padahal Khomeini saat revolusi menyebut Rusia sebagai syaitan bozor=setan besar) gagal membangun hubungan baik dengan negara-negara Arab sebagai tetangga, membangun ekonomi dalam negeri hingga riyal Iran anjlok, banyak migrasi Iran (mencari penghidupan dan suaka) ke Australia bahkan terdampar di Indonesia, juga ada sindikat perdagangan narkoba. Pasca perang Iran-Irak, mencuat kasus skandal Iran-Contra (perdagangan senjata yang melibatkan AS dan Israel). Sementara euforia revolusi dan anti Barat terus dijadikan sebagai kekuatan diplomasi propaganda yang intensif di Dunia Islam.
Orang lupa bahwa sesungguhnya Revolusi Iran adalah milik Iran sendiri, karena tidaklah mungkin dan tak akan pernah – minoritas Syiah Iran dapat mewakili mayoritas Muslim di Dunia yang menganut akidah dan mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah. Sementara perbedaan aqidah, manhaj, mazhab dan ideologi politik tidak saja berbeda prinsip dengan Sunni, melainkan berlawanan dengan prinsip keyakinan mayoritas.
Karena sebab-sebab itulah, maka pendekatan yang pernah dilakukan, sebut saja kesepakatan Yordan dan Qatar tidak akan pernah menghasilkan solusi yang kongkret. Karena memang kedua pihak tak mungkin dapat dipertemukan, tidak ada contohnya antara Sunni dan Syiah ini bisa bersatu. Jika umat Islam internal Ahlussunnah wal Jamaah, berbeda mazhab dan aliran bisa shalat berjama’ah (sebagai simbol persatuan/ukhuwwah) maupun bersepakat untuk kepentingan bersama, maka dengan Syiah Rafidhah hal itu mustahil bisa terwujud. Niat baik ulama Sunni untuk melakukan taqrib (hidup rukun dengan masing-masing aqidah) selalu gagal karena terhalang tradisi keyakinan mereka yang selalu menistakan pemuka sahabat dan isteri Nabi Muhammad saw. Selain itu, kesepakatan-kesepakatan mungkin terjadi di atas kertas dan di dalam forum, namun di lapangan, kesepakatan-kesepakatan itu sama sekali tidak dilaksanakan.
Untuk melihat seberapa lebar celah “persatuan kedua aliran” menganga, pandangan Syekh Muhibbuddin al-Khatib pantas untuk terus dipublikasikan, khususnya melalui warung sigabah.com, agar semakin tumbuh kesadaran kolektif dan kepekaan umat Islam akan bahaya ajaran dan gerakan Syiah yang dapat mengancam, bukan saja persatuan dan kesatuan umat Islam, namun juga keutuhan NKRI.
Pandangan beliau diadaptasi dari buku “Mungkinkah Syi’ah & Sunnah Bersatu?”, terbitan Pustaka Muslim. Buku ini terjemahan dari kitab berbahasa Arab karya Syekh Muhibbuddin al-Khatib dengan judul:
الخطوط العريضة للأسس التي قام عليها دين الشيعة الإمامية الاثنى عشرية
coba
Al-Khuthuth al-‘Ariidhah lil Usus Allati Qama ‘Alaiha Din asy-Syi’ah al-Imamiyyah al-Itsna ’Asyariah. Selamat membaca.
By Redaksi sigabah.com
Muqaddimah
:الØمدُ للهِ، والصَّلاةُ والسَّلامُ على رسولِ اللهِ أما بعد
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasul termulia, keluarga dan seluruh sahabatnya. Wa Ba’du.
Seruan kepada taqriib (pendekatan) antara agama Syi’ah Imamiyyah Itsna ‘Asyriyah dengan selain mereka dari kalangan Ahlusunnah, Zaidiyyah dan Ibadiyyah yang gencar dikumandangkan pada tahun-tahun terakhir ini telah menarik perhatian banyak orang untuk mengkaji permasalahan ini secara ilmiah. Shahibul fadhilah, penulis besar Islam, Sayyid Muhibbuddin Al-Khathiib telah melakukan pengkajian ini melalui buku-buku utama sekte Syi’ah guna mencari sarana taqriib ini dalam buku-buku tersebut. Dan terbukti bagi beliau bahwa terwujudnya taqriib adalah suatu hal yang mustahil. Hal ini dikarenakan para penggagas agama Syi’ah tidak menyisakan satu sarana pun untuk terjadinya taqriib tersebut. Mereka telah menegakkan agama Syi’ah di atas pilar-pilar yang bertentangan dengan syari’at Nabi saw. dan yang diserukan oleh para sahabat beliau, serta agama terang benderang nan bercahaya yang beliau wariskan, sehingga tiada orang yang menyeleweng darinya melainkan orang yang benar-benar binasa.
Karena berbagai nukilan yang disebutkan dalam karya tulis ini langsung diambil dari buku-buku utama sekte Imamiyyah Itsna ‘Asyriyah, dengan disertai nomor halaman, serta penjelasan tentang edisi penerbitannya, sehingga tidak mungkin ada orang yang dapat mengingkarinya, maka kami merasa perlu untuk mempersembahkannya kepada seluruh manusia. Agar hidup orang yang hidup di atas penjelasan dan binasa orang yang binasa di atas penjelasan, dan hanya Allah lah yang menjadi pembela bagi orang-orang yang telah mendapat petunjuk.
Mustahil Terjadinya Pendekatan Antara Islam dan Syi’ah
Prinsip-prinsip Dasar Ajaran Sekte Syi’ah Al Imamiyyah Mustahil Terjadi Pendekatan Antaranya Dengan Prinsip-prinsip Islam Dengan Berbagai Aliran dan Kelompoknya
Mendekatkan pemikiran, kepercayaan, metodologi dan tekad umat Islam merupakan salah satu tujuan syariat Islam, dan termasuk salah satu sarana bagi terwujudnya kekuatan, kebangkitan dan perbaikan mereka. Sebagaimana hal itu merupakan kebaikan bagi tatanan masyarakat dan persatuan umat Islam di setiap masa dan negara. Setiap seruan kepada pendekatan semacam ini -bila benar-benar bersih dari berbagai kepentingan, dan pada perinciannya tidak berdampak buruk yang lebih besar dibanding kemaslahatan yang diharapkan- maka wajib hukumnya atas setiap muslim untuk memenuhinya, serta bahu membahu bersama seluruh komponen umat Islam guna mewujudkannya.
Beberapa tahun terakhir, seruan semacam ini ramai dibicarakan orang. Kemudian berkembang hingga sebagian mereka terpengaruh dengannya, hingga pengaruhnya sampai ke Universitas Al Azhar -suatu lembaga pendidikan agama Islam paling terkenal dan terbesar yang dimiliki oleh Ahlis Sunnah, yang menisbatkan dirinya kepada empat Mazhab Fikih (yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Oleh karenanya Al Azhar mengemban misi “pendekatan” tersebut dalam lingkup yang lebih luas daripada misi yang ia emban dengan tak kenal lelah sejak masa Sholahuddin Al Ayyubi hingga sekarang ini. Oleh karenanya Universitas Al Azhar keluar dari lingkup tersebut kepada upaya mengenal berbagai Mazhab lainnya, terutama Mazhab “Syi’ah Al Imamiyyah Al Itsna ‘Asyriyah”. Dalam hal ini, Al Azhar masih berada di awal perjalanan. Oleh karenanya, permasalahan penting ini amatlah perlu untuk dikaji, dipelajari, dipaparkan oleh setiap muslim yang memiliki pengetahuan tentangnya, dan digali segala hal yang berkaitan dengannya serta segala dampak dan risiko yang mungkin terjadi.
Dikarenakan berbagai permasalahan dalam agama amatlah rumit, maka penyelesaiannya pun haruslah dengan cara yang bijak, cerdas dan tepat. Dan hendaknya orang yang mengkajinya pun benar-benar menguasai segala aspeknya, menguasai ilmu agama, bersifat obyektif dalam setiap pengkajian dan kesimpulan, agar solusi yang ditempuh -dengan izin Allah- benar-benar membuahkan hasil yang diinginkan dan mendatangkan berbagai dampak positif. Hal pertama yang menjadi catatan kami pada perkara ini -juga dalam setiap perkara yang berkaitan dengan berbagai pihak- ialah: bahwa salah satu faktor terkuat bagi keberhasilannya ialah adanya interaksi dari kedua belah pihak atau seluruh pihak terkait.
Kita contohkan dengan perkara pendekatan antara Ahlusunnah dengan Syi’ah, telah dicatat bahwa guna merealisasikan seruan kepada pendekatan antara kedua paham ini didirikanlah suatu lembaga di Mesir, yang didanai oleh anggaran belanja negara yang berpaham Syi’ah. Negara dengan paham Syi’ah ini telah memberikan bantuan resmi tersebut hanya kepada kita, padahal mereka tidak pernah memberikan hal tersebut kepada bangsa dan penganut pahamnya sendiri. Mereka tidak pernah memberikan bantuan ini guna mendirikan “Lembaga Pendekatan” di kota Teheran, atau Kum, atau Najef atau Jabal ‘Amil, atau tempat-tempat lain yang merupakan pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah.[1]
Dan dari berbagai pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah tersebut -pada beberapa tahun terakhir ini- beredar berbagai buku yang meruntuhkan gagasan solidaritas dan pendekatan, sampai-sampai menjadikan bulu roma berdiri. Di antara buku-buku tersebut adalah buku (Az Zahra) dalam tiga jilid, yang diedarkan oleh ulama’ kota Najef. Pada buku tersebut, mereka mengisahkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu ditimpa suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan selain dengan air mani kaum laki-laki!!? Buku tersebut berhasil didapatkan oleh Ustadz Al Basyir Al Ibrahimi, ketua ulama’ Al Jazair pada kunjungan pertamanya ke Irak. Kebutuhan jiwa najis yang telah mencetuskan kekejian mazhab semacam ini kepada “Seruan Pendekatan” lebih mendesak dibanding kebutuhan kita sebagai Ahlusunnah kepada seruan semacam ini.
Bila perbedaan paling mendasar antara kita dengan mereka berkisar seputar dakwaan mereka bahwa mereka lebih loyal kepada Ahlul Bait (Ahlul Bait ialah karib kerabat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam) dibanding kita, dan tentang anggapan bahwa mereka menyembunyikan, bahkan -menampakkan- kebencian dan permusuhan kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang di atas pundak merekalah agama Islam tegak. Sampai-sampai mereka berani mengucapkan perkataan kotor semacam ini tentang Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu. Maka obyektivitas sikap mengharuskan agar mereka lebih dahulu mengurangi kebencian dan permusuhan mereka kepada para imam generasi pertama umat Islam dan agar mereka bersyukur kepada Ahlusunnah atas sikap terpuji mereka kepada para Ahlul Bait, dan atas sikap mereka yang tidak pernah lalai dari menunaikan kewajiban menghormati dan memuliakan mereka (Ahlul Bait), kecuali kelalaian kita dari penghormatan kepada Ahlul Bait yang berupa menjadikan mereka sebagai sesembahan yang diibadahi bersama Allah, sebagaimana yang dapat kita saksikan pada berbagai kuburan mereka yang berada di tengah-tengah penganut paham Syi’ah yang hendak diadakan pendekatan antara kita dan mereka.
Interaksi haruslah dilakukan oleh kedua belah pihak yang hendak dibangun toleransi dan pendekatan antara keduanya. Tidaklah ada interaksi melainkan bila antara positif dan negatif (pro dan kontra) dapat dipertemukan, dan bila berbagai gerak dakwah dan upaya pewujudannya tidak hanya terfokus pada satu pihak semata, sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
Kritikan kami tentang keberadaan lembaga pendekatan tunggal yang berpusatkan di ibu kota negeri Ahlusunnah, yaitu Mesir ini, dan yang tidak diiringi oleh pusat-pusat kota negeri Mazhab Syi’ah, padahal berbagai pusat penyebaran paham Syi’ah gencar mengajarkannya, dan memusuhi paham lain, berlaku pula pada upaya memasukkan permasalahan ini sebagai mata kuliah di Universitas Al Azhar, selama hal yang sama tidak dilakukan di berbagai perguruan Syi’ah.
Adapun bila upaya ini—sebagaimana yang sekarang terjadi—hanya dilakukan pada satu pihak dari kedua belah pihak atau berbagai pihak terkait, maka tidak akan pernah berhasil, dan tidak menutup kemungkinan malah menimbulkan interaksi balik yang tidak terpuji.
Termasuk cara paling sederhana dalam mengadakan pengenalan ialah dimulai dari permasalahan permasalahan ushul (prinsip) sebelum membahas berbaga furu’ (cabang)! Ilmu Fikih Ahlusunnah dan Ilmu Fikih Syi’ah tidaklah bersumberkan dari dalil-dalil yang disepakati antara kedua kelompok. Syariat fikih menurut empat Imam Mazhab Ahlusunnah tegak di atas dasar-dasar yang berbeda dengan dasar-dasar syariat fikih menurut Syi’ah. Dan selama tidak terjadi penyatuan dasar-dasar hukum ini sebelum menyibukkan diri dengan berbagai permasalahan furu’, dan selama tidak ada interaksi antara kedua belah pihak dalam hal ini, pada lembaga-lembaga pendidikan agama yang mereka miliki, maka tidak ada gunanya kita menyia-nyiakan waktu dalam permasalahan furu’ sebelum terjadi kesepakatan dalam permasalahan ushul. Yang kita maksudkan bukan hanya ilmu ushul fikih, akan tetapi ushul atau dasar-dasar agama kedua belah pihak dari akar permasalahannya yang paling mendasar.
By Maman Rukmana, diadaptasi dari buku: “Mungkinkah Syi’ah & Sunnah Bersatu?” karya Syekh Muhibbuddin terbitan Pustaka Muslim.
[1] Bantuan semacam ini sepanjang sejarah telah mereka lakukan berulang kali, dan berkat para da’i yang mereka utus dengan misi inilah, selatan Irak berubah dari negeri Sunni yang terdapat padanya minoritas Syi’ah menjadi negeri Syi’ah yang padanya terdapat minoritas kaum Sunni. Dan pada masa Jalaluddin As Suyuthi, ada seorang da’i Syi’ah yang datang dari Iran ke Mesir, dan orang inilah yang diisyaratkan oleh As Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul “Al-Hawi Lil Fatawi”, cetakan Al Muniriyyah, jilid 1, Hlm. 330. Disebabkan oleh da’i asal Iran tersebutlah As Suyuthi menuliskan karyanya yang berjudul “Miftahul Jannah Fil Ihtijaj Bis Sunnah.”
Sumber: Sigabah.com
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: