Oleh: Said Assyaqofy*
Syiahindonesia.com – Kami ajak para pembaca untuk sedikit merujuk ke sejarah Rasulullah sebelum dan setelah beliau wafat.
Menurut ahlus sunnah wal jamaah ketika menjelang Rasulullah wafat umat islam kebingungan tidak tahu siapa yang akan menjadi pengganti beliau, karena tidak ada perintah langsung dari Rasulullah siapa penggantinya setelah beliau, para sahabat senior bersepakat menunjuk pengganti beliau yaitu Abu Bakar as-shidiq yang dipilih oleh para sahabat dan kaum msulimin.
Menentukan khalifah menurut ahlul sunnah wal jamaah yang telah disepakati oleh para ulama dan kaum muslimin karena tidak ada nash-nash yang sharih dan jelas dalam menentukan pemimpin dalam islam.
Berbeda dengan Syiah mereka memiliki metode dan cara tersendiri dalam menentukan khalifah dan berkeyakinan bahwa para khalifah dan pengganti Rasulullah setelah wafat sudah ada nash-nash dalam al-Qur’an dan hadits secara jelas dan sharih, mereka berkeyakinan yang ditunjukkan oleh nash-nash tersebut ialah para imam-imam mereka yang dua belas bahwa siapa saja imam atau khalifah selain dari imam mereka yang dua belas tersebut ialah bahtil dan tidak sah serta harus dicopot dari kedudukannya.
Di salah satu kitab syiah yang berjudul “MAZHAB KELIMA” terbitan Al Huda yang ditulis oleh Prof.Muhammad Husain T,penulis buku tersebut mengkritisi metode pemilihan khilafah melalui voting dan syuro yang telah dicontohkan serta disepakati oleh seluruh kaum muslimin.
Di dalam buku tersebut dijelaskan tentang tidak setujunya orang-orang Syiah dalam hal menentukan pengganti Rasulullah setelah wafat, sebagaimana disebutkan di halaman 66-69 berbunyi “pembaiatan Abu Bakar di saqifah, yang minimal sebagiannya dimotivasi oleh pertimbangan-pertimbangan politis, dan peristiwa yang dilukiskan dalam hadits “tinta dan kertas” yang terjadi pada hari-hari terakhir dari sakitnya Nabi Shallahu ‘alahi wasallam, mengungkapkan fakta bahwa orang-orang yang mengarahkan dan mendukung gerakan untuk memilih khalifah melalui proses pemilihan percaya bahwa kitab Allah harus dijaga dalam bentuk konstitusi,mereka menitikberatkan kitab Allah dan sedikit memperhatikan hadits-hadits Nabi sebagai sumber abadi dalam ajaran-ajaran Islam. Mereka tampaknya telah menerima modifikasi aspek-aspek tertentu dari ajaran-ajaran islam mengenai pemerintahan yang cocok dengan kondisi-kondisi zaman dan demi kesejahteraan umum.
Kecenderungan ini hanya untuk menitik beratkan prinsip-prinsip tertentu dari syariat ditegaskan melalui banyak perkataan yang kemudian diriwayatkan mengenai para sahabat nabi. Sebagai contoh, para sahabat memilki otoritas-otoritas independen dalam persoalan-persoalan syariat (mujtahid) yang mampu menggunakan keputusan independen dalam perkara-perkara kemasyarakatan. Juga mereka percaya bahwa jika mereka berhasil dalam tugas mereka, mereka akan diganjar oleh Allah dan jika mereka gagal mereka akan diampuni oleh Allah karena mereka termasuk para sahabat.
Ketika kita membaca tulisan yang penulis ambil dari buku syiah di atas jelas sekali mereka tidak mau menerima hadits-hadits dari para sahabat bahkan mereka tidak mengakui keabsahan ketika para sahabat melakukan ijtihad dalam agama, ini merupakan kebohongan yang nyata terhadap para sahabat Nabi shallahu ‘alahi wasallam, dengan mengatakan bahwa para sahabat tidak berhak berijtihad dalam agama dan tidak boleh diterima semua ijtihad mereka. Allahu musta’an, dengan apa mereka berpikir??
Di lanjutkan ke halaman berikutnya dari buku tersebut di atas bahwa mereka mengatakan “pandangan ini secara luas dianut selama bertahun-tahun awal menyusul kematian Nabi shallahu ‘alahi wa sallam. Syiah mengambil sikap yang lebih tegas dan percaya perbuatan-perbuatan para sahabat, sebagaimana perbuatan-perbuatan semua muslim lainnnya, akan dinilai secara tegas sesuai dengan ajaran-ajaran syariat. Dalam pandangan syiah sebuah toleransi tidak pantas terhadap beberapa perbuatan para sahabat yang melanggar norma kesalehan sempurna dan ketakwaan yang diatur oleh tindakan-tindakan elite spiritual di antara para sahabat.
Para pembaca yang dirahmati Allah, ketika kita membaca tulisan mereka di atas dalam menghujat para sahabat sungguh jelas sekali bahwa semua para sahabat tidak berhak mendapatkan kedudukan dan derajat yang tinggi dalam islam, itulah menurut orang-orang syiah, mereka meragukan ketakwaan, kezuhudan serta kapasitas dan legalitas para sahabat Nabi Shallahu’alahi wa salam dalam hal memilih kempimpinan dan pengganti Rasulullah setelah beliau tidak ada.
Mudah-mudahan Allah sealau menjaga aqidah dan tauhid serta kemurnian ibadah sehingga kita dapat membedakan mana al-haq dan mana yang bathil. (em/headlineislam.com/syiahindonesia.com)
*Said Asy-Syaqofi adalah seorang ahli dalam bidang perkembangan Syiah dan berperan aktif di organisasi kemahasiswaan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Syiahindonesia.com – Kami ajak para pembaca untuk sedikit merujuk ke sejarah Rasulullah sebelum dan setelah beliau wafat.
Menurut ahlus sunnah wal jamaah ketika menjelang Rasulullah wafat umat islam kebingungan tidak tahu siapa yang akan menjadi pengganti beliau, karena tidak ada perintah langsung dari Rasulullah siapa penggantinya setelah beliau, para sahabat senior bersepakat menunjuk pengganti beliau yaitu Abu Bakar as-shidiq yang dipilih oleh para sahabat dan kaum msulimin.
Menentukan khalifah menurut ahlul sunnah wal jamaah yang telah disepakati oleh para ulama dan kaum muslimin karena tidak ada nash-nash yang sharih dan jelas dalam menentukan pemimpin dalam islam.
Berbeda dengan Syiah mereka memiliki metode dan cara tersendiri dalam menentukan khalifah dan berkeyakinan bahwa para khalifah dan pengganti Rasulullah setelah wafat sudah ada nash-nash dalam al-Qur’an dan hadits secara jelas dan sharih, mereka berkeyakinan yang ditunjukkan oleh nash-nash tersebut ialah para imam-imam mereka yang dua belas bahwa siapa saja imam atau khalifah selain dari imam mereka yang dua belas tersebut ialah bahtil dan tidak sah serta harus dicopot dari kedudukannya.
Di salah satu kitab syiah yang berjudul “MAZHAB KELIMA” terbitan Al Huda yang ditulis oleh Prof.Muhammad Husain T,penulis buku tersebut mengkritisi metode pemilihan khilafah melalui voting dan syuro yang telah dicontohkan serta disepakati oleh seluruh kaum muslimin.
Di dalam buku tersebut dijelaskan tentang tidak setujunya orang-orang Syiah dalam hal menentukan pengganti Rasulullah setelah wafat, sebagaimana disebutkan di halaman 66-69 berbunyi “pembaiatan Abu Bakar di saqifah, yang minimal sebagiannya dimotivasi oleh pertimbangan-pertimbangan politis, dan peristiwa yang dilukiskan dalam hadits “tinta dan kertas” yang terjadi pada hari-hari terakhir dari sakitnya Nabi Shallahu ‘alahi wasallam, mengungkapkan fakta bahwa orang-orang yang mengarahkan dan mendukung gerakan untuk memilih khalifah melalui proses pemilihan percaya bahwa kitab Allah harus dijaga dalam bentuk konstitusi,mereka menitikberatkan kitab Allah dan sedikit memperhatikan hadits-hadits Nabi sebagai sumber abadi dalam ajaran-ajaran Islam. Mereka tampaknya telah menerima modifikasi aspek-aspek tertentu dari ajaran-ajaran islam mengenai pemerintahan yang cocok dengan kondisi-kondisi zaman dan demi kesejahteraan umum.
Kecenderungan ini hanya untuk menitik beratkan prinsip-prinsip tertentu dari syariat ditegaskan melalui banyak perkataan yang kemudian diriwayatkan mengenai para sahabat nabi. Sebagai contoh, para sahabat memilki otoritas-otoritas independen dalam persoalan-persoalan syariat (mujtahid) yang mampu menggunakan keputusan independen dalam perkara-perkara kemasyarakatan. Juga mereka percaya bahwa jika mereka berhasil dalam tugas mereka, mereka akan diganjar oleh Allah dan jika mereka gagal mereka akan diampuni oleh Allah karena mereka termasuk para sahabat.
Ketika kita membaca tulisan yang penulis ambil dari buku syiah di atas jelas sekali mereka tidak mau menerima hadits-hadits dari para sahabat bahkan mereka tidak mengakui keabsahan ketika para sahabat melakukan ijtihad dalam agama, ini merupakan kebohongan yang nyata terhadap para sahabat Nabi shallahu ‘alahi wasallam, dengan mengatakan bahwa para sahabat tidak berhak berijtihad dalam agama dan tidak boleh diterima semua ijtihad mereka. Allahu musta’an, dengan apa mereka berpikir??
Di lanjutkan ke halaman berikutnya dari buku tersebut di atas bahwa mereka mengatakan “pandangan ini secara luas dianut selama bertahun-tahun awal menyusul kematian Nabi shallahu ‘alahi wa sallam. Syiah mengambil sikap yang lebih tegas dan percaya perbuatan-perbuatan para sahabat, sebagaimana perbuatan-perbuatan semua muslim lainnnya, akan dinilai secara tegas sesuai dengan ajaran-ajaran syariat. Dalam pandangan syiah sebuah toleransi tidak pantas terhadap beberapa perbuatan para sahabat yang melanggar norma kesalehan sempurna dan ketakwaan yang diatur oleh tindakan-tindakan elite spiritual di antara para sahabat.
Para pembaca yang dirahmati Allah, ketika kita membaca tulisan mereka di atas dalam menghujat para sahabat sungguh jelas sekali bahwa semua para sahabat tidak berhak mendapatkan kedudukan dan derajat yang tinggi dalam islam, itulah menurut orang-orang syiah, mereka meragukan ketakwaan, kezuhudan serta kapasitas dan legalitas para sahabat Nabi Shallahu’alahi wa salam dalam hal memilih kempimpinan dan pengganti Rasulullah setelah beliau tidak ada.
Mudah-mudahan Allah sealau menjaga aqidah dan tauhid serta kemurnian ibadah sehingga kita dapat membedakan mana al-haq dan mana yang bathil. (em/headlineislam.com/syiahindonesia.com)
*Said Asy-Syaqofi adalah seorang ahli dalam bidang perkembangan Syiah dan berperan aktif di organisasi kemahasiswaan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: