Syiahindonesia.com - Syubhat yang diperlihatkan kaum Syi’ah kepada kita terkait sahabat-sahabat Nabi di antaranya adalah syubhat Hadits Haudh (hadits tentang telaga). Yang dimaksud dengan Hadits Haudh adalah sabda Nabi Muhammad saw berikut ini :
يرد عليّ رجال أعرفهم و يعرفوني فيذادون عن الحوض فأقول أصحابي أصحابي, فيقال أنك لا تدري ما أحدثوا بعدك
Artinya : “(Kelak) dating kepadakuorang-orang yang ku kenal mereka dan mereka mengenalku. Tapi, mereka lantas disingkirkan dari telaga (yakni telaga Nabi di hari Kiamat). Sehingga, aku berkata, ‘mereka itu sahabat-sahabatku’. Lantas dijawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang mereka buat sepeninggal dirimu’.” (Shahih Al-Bukhori, no,474, 7049 dan Shahih Muslim, no.37)
Dalam jalur periwayatan lain, hadits ini memiliki tambahan bahwa di akhir Nabi bersabda, “Maka akupun berkata, ‘Sungguh celaka mereka, sungguh celaka mereka’.” (Shahih Al-Bukhori, no. 7051, Shahih Muslim, no39) Pertanyaanya, siapa orang-orang yang disingkirkan dari telaga itu? Syi’ah Itsna Asyariah mengatakan bahwa mereka adalah para sahabat Nabi. Jikalau memang demikian, maka apa gunanya kita memuji sahabat-sahabat Nabi karena pada dasarnya mereka disingkirkan dari telaga dan diteruskan dengan penilaian Nabi ‘Sungguh celaka merek’?. Oleh karena itu, seraya memohon pertolongan kepada Allah, kami perlu menjelaskna secara gambling hal ini:
A. Bahwa sahabat-sahabat yang dimaksud dalam hadits diatas adalah orang-orang munafik yang ketika hidup di dunia menjadi sahabat Nabi. Di hadapan Nabi, mereka menampakkan keislaman, tetapi di dalam hati mereka menyembunyikan kekafiran. Ini sejalan dengan firman Allah. “Apabila orang-orang munafik dating kepadamu, mereka berkata,’Kami mengakui bahwasanya engkau benar-benar Rasul Allah,’ Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya. Dan Allah pun menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta”. (QS. Al-Munafiqun :1)
Bilasaja seseorang mempertanyakan, bukankah dahulu Nabi telah mengetahui siapa saja oran-orang munafik, sehingga semestinya di hari kiamat beliau tidak perlu terkejut seperti itu? Kami jawab, memang benar, tetapi beliau hanya mengetahui sebagian mereka dan dedengkotnya, tidak semuanya. Oleh sebab itu Allah berfirman kepada Nabi-Nya. “Dan di antara orang-orang Arab Badui yang disekelilingmu itu, ada orang-orang munafik. Dan di antara penduduk Madinah (juga ada orang-orang munafik). Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu tidak mengetahui mereka, tetapi kami mengetahui mereka. Nanti mereka akan kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada adzab yang besar.” (QS. At-Taubah : 101) Allah menjelaskan, bahwa Nabi tidak mengetahui semua orang munafik, sehingga beliau mengira mereka termasuk sahabat, padahal sebenarnya bukan, karena mereka adalah kaum munafik.
B. Yang dimaksud ddengan sahabat-sahabt dalam hadits ini adalah orang-orang yang murtad setelah Rasulullah wafat. Diketahui, setelah Nabi meninggal dunia, sebagian orang Arab murtad. Mereka murtad meninggalkan Diinullah sehingga Abu Bakar Ash-Shidiq bersama para sahabat memerangi mereka. Pertempuran-pertempuran ini disebut perang Riddah (perang terhadap gelombang kemurtadan). Jadi, maksud orang-orang yang dinilai celaka oleh Nabi di atas adalah orang-orang yang murtad dari Islam sepeninggal Nabi.
Baik tafsiran yang pertama maupun yang kedua, para sahabat Nabi tidak termasuk di dalamnya. Kenapa? Karena dalam mendefinisikan istilah siapa sahabat Nabi, kita berkata : “setiap orang yang bertemu Nabi, dalam keadaan beriman kepada beliau dan mati dalam keadaan tersebut (tetap berimand an berislam)”. Sehingga tafsiran pertama bahwa orang-orang yang disingkirkan dari telaga adalah orang-orang munafik, itu karena mereka tidak beriman secara lahir bathin kepada Nabi, dan dengan demikian mereka tidak termasuk dalam kategori sahabat Nabi secara istilah.
Untuk tafsiran yang kedua bahwa orang-orang itu adalah kaum murtadin, itu karena mereka mati tidak dalam keadaan islam, dan dengan begitu mereka juga tidak termasuk dalam kategori sahabat Nabi secara istilah. Adapun definisi yang dipakai oleh Syi’ah terhadap sahabat Nabi adalah setiap orang yang melihat Nabi, maka konsekuensinya Abu Jahal juga termasuk sahabat.
Demikian pula Abu Lahab, Umayyah bin Khalaf, Ubay bin Khalaf, Walid bin Mughirah, dan orang-orang musyrik lainya, mereka semua termasuk sahabat Nabi. Jelas, definisi semacam ini tidak bisa kita terima selamanya. Yang kita nyatakan sebagai sahabat Nabi adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abu Ubaidah, Saad bin Abi Waqqas, Saad bin Muadz, Muadz bin Jabal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Adullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin Ash, Fathimah, Aisyah, Hasan dan Husain, serta masih banyak lagi lainnya. Mereka inilah para sahabat Nabi. Siapakah di antara mereka yang menjadi munafik? Dan siapakah di antara meraka yang murtad meninggalkan agama Allah? Tidak ada. Bahkan sebaliknya, mereka semua beriman kepada Rasulullah bertemu dengan beliau dan mati dalam keadaan yang tetap sama seperti itu. Inilah yang dapat kita saksikan dari berbagai fakta sejarah.
Initnya, jawaban atas syubhat Hadits Haudh ini adalah:
1. Bahwa sabda Nabi “sungguh celaka meraka” ditunjukkan pada orang-orang munafik yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, sedangkan Nabi tidak mengetahui jati diri mereka itu di dunia.
2. Atau, mereka adalah orang-orang murtad sepeninggal Rasulullah. Ketika Nabi masih hidup mereka termasuk muslimin, tetapi setelah Nabi wafat mereka murtad dan meninggal islam.
3. Ada jawaban ketiga, yakni setiap orang yang bersahabat (berteman) dengan Nabi tetapi tidak mengikuti beliau (sahabat dalam arti bahasa). Contohnya seperti Abdullah bin Ubay bin Salul, yang sebagaimana diketahui, dia adalah pemimpin kaum munafik. Ia pulalah yang berkata, “Sungguh jika kami kembali ke Madinah, niscaya orang yang terhormat akan mengusir orang yang hina.” Dan dia juga yang berkata, “tiadalah perumpaa kita dengan Muhammad dan sahabat-sahabatnya kecuali seperti perkataan orang terdahulu, ‘Gemukkanlah anjingmu ia pasti memakanmu’!”.
Orang seperti ini disebut Nabi termasuk sahabat beliau (secara bahasa). Jadi, menurut jawaban yang ketiga, inilah maksud sahabat dalam hadits tadi. Maka di sini tampak bahwa definisi tentang sahabat yang telah kami sebutkan tadi, yaitu “setiap orang yang bertemu Nabi saw dalam keadaan beriman pada beliau dan mati dalam keadaan tersebut (beriman)” merupakan definisi yang dinyatakan oleh generasi belakangan. Adapun ucapan orang-orang Arab bahwa “setiap orang yang menyertai seseorang berarti ia termasuk sahabatnya, tanpa memandang apakah dia muslim atau tidak, mengikuti jalan hidupnya atau tidak” maka ini konteksnya umum dan bukan dalam persoalan mendefinisikan sahabat Nabi dalam istilah Syariat.
Karenanya, ketika Abdullah bin Ubay bin Salul mengeluarkan pernyataan busuknya “Niscaya orang-orang terhormat akan mengeluarkan orang yang hina”, Umar bin Khathab beridiri mendatangi Nabi lalu berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku memenggal leher orang munafik ini”. Maka Nabi bersabda: “Tidak wahai Umar, jangan sampai manusia mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya”. (Shahih Bukhari, no 4907, Shahih Muslim no 63) Nabi menyebutnya dengan kata sahabat, sekalipun ia dedengkot kaum munafik. Namun, maksudnya tetap dia tidak termasuk dalam kumpulan orang-orang yang secara istilah syariat dinamai dengan sahabat Nabi. Selain itu, bisa jadi maksud sahabat yang dinyatakan celakan dalam Hadits Haudh tadi juga adalah orang-orang yang mengikuti agama Nabi ini walaupun tidak bertemu langsung dengan beliau.
Dan kemudian setelah itu, orang-orang itu mengalami kondisi kemunafikan ataupun kemurtadan. Jika begitu, maka kita juga termasuk dalam celaan di hadits ini jika kita mengalami kemunafikan dan kemurtadan. Karena itulah, maka sebagian riwayat hadits haudh dari jalur lain berbunyi , “Ummati, Ummari (umatku, umatku)” (Shahih Bukhori, no 7048), sebagai ganti bagi penyebutan sahabat. Dan kita ini, termasuk dalam umat beliau.
Mungkin ada yang masih belum menerima, “Bagaimana mungkin maksudnya seperti itu, sementara dalam hadits tadi tersebutkan kata Nabi, ‘Aku mengetahui mereka dan mereka mengetahuiku?’”. Maka kita jawab, bahwasanya Nabi telah menerangkan bahwa beliau mengenali umatnya melalui bekas-bekas wudhu. Bukankah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Abu Ubaidah juga ada riwayat yang menuturkan keutamaan mereka? Lantas mengapa Ali –oleh kaum Syi’ah- tidak dimasukkan dalam kategori sahabat yang dicela Nabi, jika mereka memasukkan Abu Bakar dan Umar dalam kategori sahabat yang dicela? Toh Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali , ada riwayat yang menerangkan keutamaan mereka semua?
Jadi intinya dan kesimpulannya, hadits haudh tidak berbicara mengenai sahabat-sahabat Nabi. )Arwanev Al-Mutasyami) Syubuhat Syi’iyah wa Ar-Radd ‘alaiha, karya Syaikh Utsman bin Ahmad Al-Khumais dengan beberapa tambahan. (qodisiyah)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
يرد عليّ رجال أعرفهم و يعرفوني فيذادون عن الحوض فأقول أصحابي أصحابي, فيقال أنك لا تدري ما أحدثوا بعدك
Artinya : “(Kelak) dating kepadakuorang-orang yang ku kenal mereka dan mereka mengenalku. Tapi, mereka lantas disingkirkan dari telaga (yakni telaga Nabi di hari Kiamat). Sehingga, aku berkata, ‘mereka itu sahabat-sahabatku’. Lantas dijawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang mereka buat sepeninggal dirimu’.” (Shahih Al-Bukhori, no,474, 7049 dan Shahih Muslim, no.37)
Dalam jalur periwayatan lain, hadits ini memiliki tambahan bahwa di akhir Nabi bersabda, “Maka akupun berkata, ‘Sungguh celaka mereka, sungguh celaka mereka’.” (Shahih Al-Bukhori, no. 7051, Shahih Muslim, no39) Pertanyaanya, siapa orang-orang yang disingkirkan dari telaga itu? Syi’ah Itsna Asyariah mengatakan bahwa mereka adalah para sahabat Nabi. Jikalau memang demikian, maka apa gunanya kita memuji sahabat-sahabat Nabi karena pada dasarnya mereka disingkirkan dari telaga dan diteruskan dengan penilaian Nabi ‘Sungguh celaka merek’?. Oleh karena itu, seraya memohon pertolongan kepada Allah, kami perlu menjelaskna secara gambling hal ini:
A. Bahwa sahabat-sahabat yang dimaksud dalam hadits diatas adalah orang-orang munafik yang ketika hidup di dunia menjadi sahabat Nabi. Di hadapan Nabi, mereka menampakkan keislaman, tetapi di dalam hati mereka menyembunyikan kekafiran. Ini sejalan dengan firman Allah. “Apabila orang-orang munafik dating kepadamu, mereka berkata,’Kami mengakui bahwasanya engkau benar-benar Rasul Allah,’ Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya. Dan Allah pun menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta”. (QS. Al-Munafiqun :1)
Bilasaja seseorang mempertanyakan, bukankah dahulu Nabi telah mengetahui siapa saja oran-orang munafik, sehingga semestinya di hari kiamat beliau tidak perlu terkejut seperti itu? Kami jawab, memang benar, tetapi beliau hanya mengetahui sebagian mereka dan dedengkotnya, tidak semuanya. Oleh sebab itu Allah berfirman kepada Nabi-Nya. “Dan di antara orang-orang Arab Badui yang disekelilingmu itu, ada orang-orang munafik. Dan di antara penduduk Madinah (juga ada orang-orang munafik). Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu tidak mengetahui mereka, tetapi kami mengetahui mereka. Nanti mereka akan kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada adzab yang besar.” (QS. At-Taubah : 101) Allah menjelaskan, bahwa Nabi tidak mengetahui semua orang munafik, sehingga beliau mengira mereka termasuk sahabat, padahal sebenarnya bukan, karena mereka adalah kaum munafik.
B. Yang dimaksud ddengan sahabat-sahabt dalam hadits ini adalah orang-orang yang murtad setelah Rasulullah wafat. Diketahui, setelah Nabi meninggal dunia, sebagian orang Arab murtad. Mereka murtad meninggalkan Diinullah sehingga Abu Bakar Ash-Shidiq bersama para sahabat memerangi mereka. Pertempuran-pertempuran ini disebut perang Riddah (perang terhadap gelombang kemurtadan). Jadi, maksud orang-orang yang dinilai celaka oleh Nabi di atas adalah orang-orang yang murtad dari Islam sepeninggal Nabi.
Baik tafsiran yang pertama maupun yang kedua, para sahabat Nabi tidak termasuk di dalamnya. Kenapa? Karena dalam mendefinisikan istilah siapa sahabat Nabi, kita berkata : “setiap orang yang bertemu Nabi, dalam keadaan beriman kepada beliau dan mati dalam keadaan tersebut (tetap berimand an berislam)”. Sehingga tafsiran pertama bahwa orang-orang yang disingkirkan dari telaga adalah orang-orang munafik, itu karena mereka tidak beriman secara lahir bathin kepada Nabi, dan dengan demikian mereka tidak termasuk dalam kategori sahabat Nabi secara istilah.
Untuk tafsiran yang kedua bahwa orang-orang itu adalah kaum murtadin, itu karena mereka mati tidak dalam keadaan islam, dan dengan begitu mereka juga tidak termasuk dalam kategori sahabat Nabi secara istilah. Adapun definisi yang dipakai oleh Syi’ah terhadap sahabat Nabi adalah setiap orang yang melihat Nabi, maka konsekuensinya Abu Jahal juga termasuk sahabat.
Demikian pula Abu Lahab, Umayyah bin Khalaf, Ubay bin Khalaf, Walid bin Mughirah, dan orang-orang musyrik lainya, mereka semua termasuk sahabat Nabi. Jelas, definisi semacam ini tidak bisa kita terima selamanya. Yang kita nyatakan sebagai sahabat Nabi adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abu Ubaidah, Saad bin Abi Waqqas, Saad bin Muadz, Muadz bin Jabal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Adullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin Ash, Fathimah, Aisyah, Hasan dan Husain, serta masih banyak lagi lainnya. Mereka inilah para sahabat Nabi. Siapakah di antara mereka yang menjadi munafik? Dan siapakah di antara meraka yang murtad meninggalkan agama Allah? Tidak ada. Bahkan sebaliknya, mereka semua beriman kepada Rasulullah bertemu dengan beliau dan mati dalam keadaan yang tetap sama seperti itu. Inilah yang dapat kita saksikan dari berbagai fakta sejarah.
Initnya, jawaban atas syubhat Hadits Haudh ini adalah:
1. Bahwa sabda Nabi “sungguh celaka meraka” ditunjukkan pada orang-orang munafik yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, sedangkan Nabi tidak mengetahui jati diri mereka itu di dunia.
2. Atau, mereka adalah orang-orang murtad sepeninggal Rasulullah. Ketika Nabi masih hidup mereka termasuk muslimin, tetapi setelah Nabi wafat mereka murtad dan meninggal islam.
3. Ada jawaban ketiga, yakni setiap orang yang bersahabat (berteman) dengan Nabi tetapi tidak mengikuti beliau (sahabat dalam arti bahasa). Contohnya seperti Abdullah bin Ubay bin Salul, yang sebagaimana diketahui, dia adalah pemimpin kaum munafik. Ia pulalah yang berkata, “Sungguh jika kami kembali ke Madinah, niscaya orang yang terhormat akan mengusir orang yang hina.” Dan dia juga yang berkata, “tiadalah perumpaa kita dengan Muhammad dan sahabat-sahabatnya kecuali seperti perkataan orang terdahulu, ‘Gemukkanlah anjingmu ia pasti memakanmu’!”.
Orang seperti ini disebut Nabi termasuk sahabat beliau (secara bahasa). Jadi, menurut jawaban yang ketiga, inilah maksud sahabat dalam hadits tadi. Maka di sini tampak bahwa definisi tentang sahabat yang telah kami sebutkan tadi, yaitu “setiap orang yang bertemu Nabi saw dalam keadaan beriman pada beliau dan mati dalam keadaan tersebut (beriman)” merupakan definisi yang dinyatakan oleh generasi belakangan. Adapun ucapan orang-orang Arab bahwa “setiap orang yang menyertai seseorang berarti ia termasuk sahabatnya, tanpa memandang apakah dia muslim atau tidak, mengikuti jalan hidupnya atau tidak” maka ini konteksnya umum dan bukan dalam persoalan mendefinisikan sahabat Nabi dalam istilah Syariat.
Karenanya, ketika Abdullah bin Ubay bin Salul mengeluarkan pernyataan busuknya “Niscaya orang-orang terhormat akan mengeluarkan orang yang hina”, Umar bin Khathab beridiri mendatangi Nabi lalu berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku memenggal leher orang munafik ini”. Maka Nabi bersabda: “Tidak wahai Umar, jangan sampai manusia mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya”. (Shahih Bukhari, no 4907, Shahih Muslim no 63) Nabi menyebutnya dengan kata sahabat, sekalipun ia dedengkot kaum munafik. Namun, maksudnya tetap dia tidak termasuk dalam kumpulan orang-orang yang secara istilah syariat dinamai dengan sahabat Nabi. Selain itu, bisa jadi maksud sahabat yang dinyatakan celakan dalam Hadits Haudh tadi juga adalah orang-orang yang mengikuti agama Nabi ini walaupun tidak bertemu langsung dengan beliau.
Dan kemudian setelah itu, orang-orang itu mengalami kondisi kemunafikan ataupun kemurtadan. Jika begitu, maka kita juga termasuk dalam celaan di hadits ini jika kita mengalami kemunafikan dan kemurtadan. Karena itulah, maka sebagian riwayat hadits haudh dari jalur lain berbunyi , “Ummati, Ummari (umatku, umatku)” (Shahih Bukhori, no 7048), sebagai ganti bagi penyebutan sahabat. Dan kita ini, termasuk dalam umat beliau.
Mungkin ada yang masih belum menerima, “Bagaimana mungkin maksudnya seperti itu, sementara dalam hadits tadi tersebutkan kata Nabi, ‘Aku mengetahui mereka dan mereka mengetahuiku?’”. Maka kita jawab, bahwasanya Nabi telah menerangkan bahwa beliau mengenali umatnya melalui bekas-bekas wudhu. Bukankah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Abu Ubaidah juga ada riwayat yang menuturkan keutamaan mereka? Lantas mengapa Ali –oleh kaum Syi’ah- tidak dimasukkan dalam kategori sahabat yang dicela Nabi, jika mereka memasukkan Abu Bakar dan Umar dalam kategori sahabat yang dicela? Toh Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali , ada riwayat yang menerangkan keutamaan mereka semua?
Jadi intinya dan kesimpulannya, hadits haudh tidak berbicara mengenai sahabat-sahabat Nabi. )Arwanev Al-Mutasyami) Syubuhat Syi’iyah wa Ar-Radd ‘alaiha, karya Syaikh Utsman bin Ahmad Al-Khumais dengan beberapa tambahan. (qodisiyah)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: