Syiahindonesia.com - Melihat penderitaan Rakyat Suriah, terkhusus Aleppo membuat semua orang prihatin, Iba, marah, mengecam dan berbagai reaksi lainnya. Namun ada reaksi yang tidak wajar dari beberarapa jamaah pengajian tertentu. Melihat potret Suriah hari ini, mereka mengatakan, “Tragedi Suriah dimulai dengan demonstrasi damai. Namun yang terjadi, negeri hancur dan rakyat dibantai.” Kira-kira seperti itu yang mereka ucapkan.
Antara Jihad dan Demonstrasi di Suriah
Menjadikan kondisi Suriah hari ini sebagai dalil haramnya demonstrasi adalah hal yang kurang tepat. Karena pembahasan hukum demonstrasi sudah selesai oleh para ulama, jauh sebelum jihad Suriah. Demonstrasi termasuk dalam nazilah (Perkara baru yang membutuhkan ijtihad) dan hasil ijithad para ulama berbeda dalam menghukuminya.
Untuk lebih detailnya, mari bersama kita melihat fakta demi fakta dan keterangan para ulama dalam masalah ini. Hal ini agar kita senantiasa terbimbing oleh ilmu dalam setiap perkataan danperbuatan.
Fakta pertama adalah Bashar Asad merupakan penganut Syiah Nushairiyah. Seperti apakah Syiah Nushairiyah?
Syaikhul Islam di dalam Majmu’ Fatawanya berkata, “Mereka yang bernama Nushairiyah dan seluruh kelompok dari Qaramithoh Bathiniyah lebih kufur dari Yahudi dan Nasrani. Bahkan lebih kufur dari mayoritas kaum musyrikin. Bahaya mereka terhadap umat Muhammad –Shallallahu alaihi wasallam- lebih besar dari pada penjajah kafir seperti Tartar, kaum Frank dan selainnya.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 35/149, versi Maktabah Syamilah)
Terkait Sekte Syiah Bathiniyah (Nushairiyah termasuk di dalamnya) Imam Al-Ghazali berkata, “Kesimpulannya, mereka (Bathiniyah) diperlakukan seperti orang murtad dalam hal darah, harta, nikah, semblihan, berlakunya putusan pengadilan dan mengqodho Ibadah (Dalam mazhab Syafi’I, seorang murtad yang bertaubat wajib mengqodho kewajiban yang ditinggalkannya selama murtad). Perlakuan terhadap jiwa mereka tidak sama dengan orang kafir. Terhadap orang kafir imam memiliki 4 opsi. Membebaskannya, meminta tebusan, menjadikannya budak atau membunuhnya. Sementara imam tidak berwenang menjadikan orang murtad sebagai budak, tidak bisa mengambil jizyah darinya, membebaskannya atau meminta tebusan darinya, yang wajib dilakukan imam terhadap mereka adalah mengenyahkan mereka dari muka bumi.” (Fadhoihul Bathiniyah 156)
Dua kutipan di atas memberikan kesimpulan bahwa sekte yang dianut oleh Bashar Asad adalah sekte menyimpang dan keluar dari pokok-pokok Islam. Di antara pokok-pokok keyakinan Nushairiyah yang menyimpang adalah meyakini Ali bin Abi Thalib sebagai tuhan.
Kelompok Bathiniyah ini juga memiliki kebencian mendalam kepada umat Islam. Pengkhianatan mereka terhadap ahlussunnah sudah cukup menjadi bukti . Kasus yang paling masyhur adalah agresi Syiah Qaramithoh (Syiah Bathiniyah yang memiliki kemiripan dengan Nushairiyah) terhadap jamaah haji di Ka’bah pada abad ke 4 Hijriah.
Guna mengurai benang kusut antara haramnya demonstrasi dan krisis Suriah, baiknya kita kita mengkaji hukum keluar dari ketaatan pemimpin kafir.Karena untuk menghukumi suatu realita kita harus mengetahui hukum asalnya.
Di sebuah hadits Nabi Muhammad –Shallallahu alaihi wasallam– bersabda :
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا أَصْلَحَكَ اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،قَالَ: دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ: “فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ”. رواه البخاري
Artinya : “Dari Junadah bin Abi Umayyah berkata berkata, ‘Kami mendatangi Ubadah bin Shamit saat dia sakit.’ Kami berkata, ‘Semoga Allah menyembuhkanmu, sampaikan kepada kami sebuah hadits -yang Allah memberi manfaat kepadamu dengan hadits tersebut- yang kamu dengar dari Rasulullah –Shallallahu alaihi wasallam-.’ Dia berkata, ‘Nabi Muhammad –Shallallahu alaihi wasallam- memanggil kami dan kami membaiat beliau.’ Beliau berkata, ‘Beliau meminta kami untuk mendengar dan taat dalam keadaan lapang maupun sempit, susah maupun senang dan saat kalian diperlakukan sewenang-wenang. Kami diperintahkan untuk tidak merebut perkara (kepemimpinan) dari pemiliknya kecuali jika kalian melihat (pada pemimpin) kekufuran nyata yang ada keterangannya dari Allah.” (HR Bukhari)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Jika penguasa melakukan kekufuran nyata, maka tidak boleh mentaatinya dalam hal tersebut. Bahkan wajib melawannya jika ada qudrah (kemampuan) untuk melakukannya.” (Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori 13/7)
Di tempat Lain beliau berkata, “Ijma’ menyebutkan bahwa penguasa dilengserkan jika melakukan kekufuran. Wajib bagi setiap muslim melakukannya, barangsiapa melakukannya maka baginya pahala, sedangkan yang tidak mau mendapat dosa. Adapun yang tidak mampu wajib baginya meninggalkan tempat tersebut.” (Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori 13/123)
Syaikh Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad Dumaiji berkata, “Pemimpin jenis ini (yang melakukan kekufuran yang nyata) para ulama sepakat akan kebolehan menentangnya dan memeranginya jika memiliki kekuatan. Jika belum memiliki kekuatan maka wajib berusaha semampu mungkin untuk menggulingkannya dan mengakhiri hegemoni penguasa kafir atas kaum muslimin. Walaupun upaya melengserkannya membutuhkan usaha yang keras.” (Imamatul Udzma Inda Ahlissunnah wal Jama’ah 501-502)
Hadits dan nukilan-nukilan di atas mejelaskan kebolehan (wajib) keluar dari ketaatan pemimpin yang melakukan kekufuran nyata seperti Bashar Asad. Namun para ulama mensyaratkan harus adanya kemampuan dan kekuatan sebelum melakukan pemberontakan terhadap penguasa kafir.
Poin di atas mengandung perintah, jika kaum muslimin belum memiliki kekuatan dan kemampuan untuk keluar dari pemimin yang nyata kekufurannya, maka harus ada upaya untuk mempersiapkan kekuatan dan kemampuan. Allah –subhanahu wa taala- berfirman :
Artinya : “Kalau mereka (serius) ingin berangkat (jihad), tentulah mereka akan mempersiapkan untuk hal itu. Akan tetapi Allah Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. Dan dikatakan kepada mereka, “Duduklah kalian bersama orang-orang yang tinggal (tidak berangkat jihad).” (QS At-Taubah : 46)
Terlebih fatwa kebolehan melakukan demonstrasi telah dikeluarkan oleh Rabithoh Ulama Suriah. Di dalam situs www.islamsyria.com dimuat fatwa Dr Amir Abu Salamah terkait hukum demonstrasi di Suriah. Beliau berkata :
بأن خروج الشباب في سورية, إلى الساحات، بمظاهرات سلمية، مطالبين بحقوقهم المسلوبة, ومنادين بمطالبهم المشروعة،ومنددين بالظلم الواقع عليهم،يريدون الإصلاح، ويبحثون عن التغيير الإيجابي،وينادون بحقوق الإنسان وكرامته، جائز من الناحيةالشرعية، بل هو واجب، لأن مالا يتم الوجب إلا به فهو واجب،كما قال العلماء
Artinya : “Keluarnya pemuda Suriah ke jalan-jalan dengan aksi damai bertujuan menuntut hak-hak mereka yang terampas, menyerukan tuntutan-tuntunan yang sah, menentang kezaliman terhadap mereka. Mereka ingin perbaikan, perubahan posistif, menyerukan hak-hak manusia. Hal tersebut diperbolehkan secara syar’i bahkan wajib. Karena segala sesuatu yang menjadi pra syarat untuk sesuatu yang wajib hukumnya berubah menjadi wajib.”
Di fatwa tersebut beliau juga membantah pihak yang menyatakan hal terseut sebagai bentuk khuruj (pemberontakan). Menurut beliau pemberontakan (khuruj) adalah keluar melawan dengan senjata, sementara mereka hanya melakukan aksi damai.(kiblat)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Antara Jihad dan Demonstrasi di Suriah
Menjadikan kondisi Suriah hari ini sebagai dalil haramnya demonstrasi adalah hal yang kurang tepat. Karena pembahasan hukum demonstrasi sudah selesai oleh para ulama, jauh sebelum jihad Suriah. Demonstrasi termasuk dalam nazilah (Perkara baru yang membutuhkan ijtihad) dan hasil ijithad para ulama berbeda dalam menghukuminya.
Untuk lebih detailnya, mari bersama kita melihat fakta demi fakta dan keterangan para ulama dalam masalah ini. Hal ini agar kita senantiasa terbimbing oleh ilmu dalam setiap perkataan danperbuatan.
Fakta pertama adalah Bashar Asad merupakan penganut Syiah Nushairiyah. Seperti apakah Syiah Nushairiyah?
Syaikhul Islam di dalam Majmu’ Fatawanya berkata, “Mereka yang bernama Nushairiyah dan seluruh kelompok dari Qaramithoh Bathiniyah lebih kufur dari Yahudi dan Nasrani. Bahkan lebih kufur dari mayoritas kaum musyrikin. Bahaya mereka terhadap umat Muhammad –Shallallahu alaihi wasallam- lebih besar dari pada penjajah kafir seperti Tartar, kaum Frank dan selainnya.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 35/149, versi Maktabah Syamilah)
Terkait Sekte Syiah Bathiniyah (Nushairiyah termasuk di dalamnya) Imam Al-Ghazali berkata, “Kesimpulannya, mereka (Bathiniyah) diperlakukan seperti orang murtad dalam hal darah, harta, nikah, semblihan, berlakunya putusan pengadilan dan mengqodho Ibadah (Dalam mazhab Syafi’I, seorang murtad yang bertaubat wajib mengqodho kewajiban yang ditinggalkannya selama murtad). Perlakuan terhadap jiwa mereka tidak sama dengan orang kafir. Terhadap orang kafir imam memiliki 4 opsi. Membebaskannya, meminta tebusan, menjadikannya budak atau membunuhnya. Sementara imam tidak berwenang menjadikan orang murtad sebagai budak, tidak bisa mengambil jizyah darinya, membebaskannya atau meminta tebusan darinya, yang wajib dilakukan imam terhadap mereka adalah mengenyahkan mereka dari muka bumi.” (Fadhoihul Bathiniyah 156)
Dua kutipan di atas memberikan kesimpulan bahwa sekte yang dianut oleh Bashar Asad adalah sekte menyimpang dan keluar dari pokok-pokok Islam. Di antara pokok-pokok keyakinan Nushairiyah yang menyimpang adalah meyakini Ali bin Abi Thalib sebagai tuhan.
Kelompok Bathiniyah ini juga memiliki kebencian mendalam kepada umat Islam. Pengkhianatan mereka terhadap ahlussunnah sudah cukup menjadi bukti . Kasus yang paling masyhur adalah agresi Syiah Qaramithoh (Syiah Bathiniyah yang memiliki kemiripan dengan Nushairiyah) terhadap jamaah haji di Ka’bah pada abad ke 4 Hijriah.
Guna mengurai benang kusut antara haramnya demonstrasi dan krisis Suriah, baiknya kita kita mengkaji hukum keluar dari ketaatan pemimpin kafir.Karena untuk menghukumi suatu realita kita harus mengetahui hukum asalnya.
Di sebuah hadits Nabi Muhammad –Shallallahu alaihi wasallam– bersabda :
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا أَصْلَحَكَ اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،قَالَ: دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ: “فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ”. رواه البخاري
Artinya : “Dari Junadah bin Abi Umayyah berkata berkata, ‘Kami mendatangi Ubadah bin Shamit saat dia sakit.’ Kami berkata, ‘Semoga Allah menyembuhkanmu, sampaikan kepada kami sebuah hadits -yang Allah memberi manfaat kepadamu dengan hadits tersebut- yang kamu dengar dari Rasulullah –Shallallahu alaihi wasallam-.’ Dia berkata, ‘Nabi Muhammad –Shallallahu alaihi wasallam- memanggil kami dan kami membaiat beliau.’ Beliau berkata, ‘Beliau meminta kami untuk mendengar dan taat dalam keadaan lapang maupun sempit, susah maupun senang dan saat kalian diperlakukan sewenang-wenang. Kami diperintahkan untuk tidak merebut perkara (kepemimpinan) dari pemiliknya kecuali jika kalian melihat (pada pemimpin) kekufuran nyata yang ada keterangannya dari Allah.” (HR Bukhari)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Jika penguasa melakukan kekufuran nyata, maka tidak boleh mentaatinya dalam hal tersebut. Bahkan wajib melawannya jika ada qudrah (kemampuan) untuk melakukannya.” (Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori 13/7)
Di tempat Lain beliau berkata, “Ijma’ menyebutkan bahwa penguasa dilengserkan jika melakukan kekufuran. Wajib bagi setiap muslim melakukannya, barangsiapa melakukannya maka baginya pahala, sedangkan yang tidak mau mendapat dosa. Adapun yang tidak mampu wajib baginya meninggalkan tempat tersebut.” (Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori 13/123)
Syaikh Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad Dumaiji berkata, “Pemimpin jenis ini (yang melakukan kekufuran yang nyata) para ulama sepakat akan kebolehan menentangnya dan memeranginya jika memiliki kekuatan. Jika belum memiliki kekuatan maka wajib berusaha semampu mungkin untuk menggulingkannya dan mengakhiri hegemoni penguasa kafir atas kaum muslimin. Walaupun upaya melengserkannya membutuhkan usaha yang keras.” (Imamatul Udzma Inda Ahlissunnah wal Jama’ah 501-502)
Hadits dan nukilan-nukilan di atas mejelaskan kebolehan (wajib) keluar dari ketaatan pemimpin yang melakukan kekufuran nyata seperti Bashar Asad. Namun para ulama mensyaratkan harus adanya kemampuan dan kekuatan sebelum melakukan pemberontakan terhadap penguasa kafir.
Poin di atas mengandung perintah, jika kaum muslimin belum memiliki kekuatan dan kemampuan untuk keluar dari pemimin yang nyata kekufurannya, maka harus ada upaya untuk mempersiapkan kekuatan dan kemampuan. Allah –subhanahu wa taala- berfirman :
Artinya : “Kalau mereka (serius) ingin berangkat (jihad), tentulah mereka akan mempersiapkan untuk hal itu. Akan tetapi Allah Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. Dan dikatakan kepada mereka, “Duduklah kalian bersama orang-orang yang tinggal (tidak berangkat jihad).” (QS At-Taubah : 46)
Terlebih fatwa kebolehan melakukan demonstrasi telah dikeluarkan oleh Rabithoh Ulama Suriah. Di dalam situs www.islamsyria.com dimuat fatwa Dr Amir Abu Salamah terkait hukum demonstrasi di Suriah. Beliau berkata :
بأن خروج الشباب في سورية, إلى الساحات، بمظاهرات سلمية، مطالبين بحقوقهم المسلوبة, ومنادين بمطالبهم المشروعة،ومنددين بالظلم الواقع عليهم،يريدون الإصلاح، ويبحثون عن التغيير الإيجابي،وينادون بحقوق الإنسان وكرامته، جائز من الناحيةالشرعية، بل هو واجب، لأن مالا يتم الوجب إلا به فهو واجب،كما قال العلماء
Artinya : “Keluarnya pemuda Suriah ke jalan-jalan dengan aksi damai bertujuan menuntut hak-hak mereka yang terampas, menyerukan tuntutan-tuntunan yang sah, menentang kezaliman terhadap mereka. Mereka ingin perbaikan, perubahan posistif, menyerukan hak-hak manusia. Hal tersebut diperbolehkan secara syar’i bahkan wajib. Karena segala sesuatu yang menjadi pra syarat untuk sesuatu yang wajib hukumnya berubah menjadi wajib.”
Di fatwa tersebut beliau juga membantah pihak yang menyatakan hal terseut sebagai bentuk khuruj (pemberontakan). Menurut beliau pemberontakan (khuruj) adalah keluar melawan dengan senjata, sementara mereka hanya melakukan aksi damai.(kiblat)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: