Syiahindonesia.com - Tepatnya pada tanggal 27 Februari 1933, sekitar pukul 9 malam, gedung parlemen Jerman, Reichstag, terbakar. Siapa yang membakar? Kita tidak tahu, dan tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah aksi teror tersebut kemudian menginisiasi sebuah politik darurat.
Menatap kobaran api dengan penuh kegembiraan, Hitler mengatakan: “Api ini hanyalah sebuah awalan.” Apakah pelaku pembakaran Nazi atau bukan, Hitler melihat sebuah peluang politik: “Tidak akan ada belas kasih sekarang. Siapapun yang menghalangi jalan, akan kita habisi.”
Hari berikutnya, Hitler meminta dikeluarkannya sebuah dekrit, dengan dalih untuk “melindungi rakyat dan negara”. Dekrit tersebut mencabut hak asasi warga Jerman, seperti kebebasan untuk berpendapat dan berkumpul, yang membuat mereka bisa ditangkap oleh polisi atas nama pencegahan.
Bermodal klaim bahwa kebakaran tersebut adalah kerjaan dari musuh Jerman, Partai Nazi mampu memenangkan pemilihan parlemen pada tanggal 5 Maret 1933. Polisi dan paramiliter Nazi mulai menangkapi anggota partai oposisi dan menempatkannya di kamp konsentrasi. Pada tanggal 23 Maret 1933, parlemen baru merilis sebuah aturan yang mengijinkan Hitler untuk memerintah dengan dekrit.
Sejak saat itu, Jerman diputuskan berada dalam kondisi darurat hingga 12 tahun ke depan, sampai berakhirnya Perang Dunia II. Hitler menggunakan aksi terror, sebuah peristiwa yang sudah diukur batas signifikansinya, untuk kemudian membangun sebuah rezim terror yang pada akhirnya membunuh jutaan manusia dan mengubah dunia.
Api Reichstag adalah momen saat pemerintahan Hitler, yang terpilih melalui jalur demokratis, akhirnya berubah menjadi rezim Nazi permanen. Inilah pola dasar dari manajemen teror. Api Reichstag menunjukkan betapa cepatnya sebuah negara republik bisa ditransformasi menjadi sebuah rezim otoriter.
Para pemimpin otoriter hari ini adalah para manajer teror, bahkan mereka lebih kreatif. Vladimir Putin merengkuh kekuasaan melalui sebuah insiden yang mirip dengan api Reichstag, ia menggunakan serangkaian serangan teror—baik yang riil maupun yang palsu—untuk menyingkirkan segala hambatan menuju kekuasaan total.
Putin ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Boris Yeltsin pada bulan Agustus 1999. Beberapa bulan berikutnya, sejumlah bangunan di Rusia dibom, kemungkinan besar oleh polisi rahasia Rusia. Beberapa pejabat kepolisian ditangkap oleh rekannya sendiri, namun akhirnya dilepaskan. Bahkan dalam salah satu kasus, Parlemen Rusia mengumumkan adanya ledakan beberapa hari sebelum ledakan tersebut terjadi. Putin mengarahkan kesalahan pada Muslim Chechnya dan mencapnya sebagai teroris. Dengan dalih tersebut, Putin mendeklarasikan balas dendam terhadap populasi Muslim di Chechnya dan berjanji untuk menggosok mereka di tempat pembuangan kotoran.
Warga Rusia tergalang. Dukungan pada Putin meningkat tajam, yang membawanya ke tampuk kursi kepresidenan. Pada tahun 2002, ketika pasukan keamanan Rusia membunuh sejumlah warga sipil saat mencoba menangani serangan terror di sebuah teater Moscow, Putin mengeksploitasi peristiwa tersebut untuk mengontrol televisi swasta. Saat sekolah di Beslan disandera oleh pejuang Chechnya pada tahun 2004, Putin menghapus posisi gubernur regional terpilih. Putin berhasil memperkuat kekuasaannya dan mengeliminasi dua institusi besar—televisi swasta dan gubernur regional terpilih—dengan manajemen terror, baik yang asli maupun yang palsu. Sejak itulah rezim Putin dibangun.
Saat sebuah rezim otoriter dibangun, ancaman terorisme bisa digunakan sebagai alat untuk menguatkan represi.
Saat serangan di dunia Barat dan di tempat lain semakin meningkat, terorisme tampaknya justru menjadi anugerah bagi para tiran. Dari Putin, Bashar Assad hingga As-Sisi, terorisme menjadi sekutu strategis penting para diktator di seluruh dunia, meskipun mereka mengklaim memeranginya.
Di tengah iklim ketakutan, para penguasa tersebut—yang mengklaim sebagai benteng melawan teroris, meski dalam kenyataannya mereka adalah teroris—mampu membuai kita untuk melupakan fakta bahwa kekerasan mereka jauh lebih mematikan daripada pihak yang mereka sebut ‘teroris’.
Teroris memberikan dalih yang nyaman bagi pemerintah untuk membangun kembali legitimasi dan menjustifikasi otoriterisme mereka.
Kondisi ini bukan berarti bahwa pemerintah bersukacita dalam serangan-serangan mematikan, atau bahwa mereka berharap, secara rahasia, untuk terjadinya tragedi tersebut. Hanya, mereka memiliki banyak keuntungan dari terjadinya serangan ini dan mahir mengubahnya untuk keuntungan mereka. Sebenarnya, bukan kepentingan mereka untuk memberantas terorisme. Justru sebaliknya.
Pemerintah menuai banyak manfaat atas obsesi publik terhadap “ancaman teroris”. Banyak sekali buku yang membahas tentang topik ini. Dari Machiavelli sampai Hume, para pemikir politik besar telah lama memahami dan berteori akan perlunya rasa takut dalam melembagakan pemerintahan dan dominasi.
Sebagaimana ungkapan ekonom Robert Higgs, “tanpa rasa takut rakyat, tidak ada pemerintahan yang bisa bertahan lebih dari 24 jam”. Bersambung ke bagian selanjutnya. (kiblat)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Menatap kobaran api dengan penuh kegembiraan, Hitler mengatakan: “Api ini hanyalah sebuah awalan.” Apakah pelaku pembakaran Nazi atau bukan, Hitler melihat sebuah peluang politik: “Tidak akan ada belas kasih sekarang. Siapapun yang menghalangi jalan, akan kita habisi.”
Hari berikutnya, Hitler meminta dikeluarkannya sebuah dekrit, dengan dalih untuk “melindungi rakyat dan negara”. Dekrit tersebut mencabut hak asasi warga Jerman, seperti kebebasan untuk berpendapat dan berkumpul, yang membuat mereka bisa ditangkap oleh polisi atas nama pencegahan.
Bermodal klaim bahwa kebakaran tersebut adalah kerjaan dari musuh Jerman, Partai Nazi mampu memenangkan pemilihan parlemen pada tanggal 5 Maret 1933. Polisi dan paramiliter Nazi mulai menangkapi anggota partai oposisi dan menempatkannya di kamp konsentrasi. Pada tanggal 23 Maret 1933, parlemen baru merilis sebuah aturan yang mengijinkan Hitler untuk memerintah dengan dekrit.
Sejak saat itu, Jerman diputuskan berada dalam kondisi darurat hingga 12 tahun ke depan, sampai berakhirnya Perang Dunia II. Hitler menggunakan aksi terror, sebuah peristiwa yang sudah diukur batas signifikansinya, untuk kemudian membangun sebuah rezim terror yang pada akhirnya membunuh jutaan manusia dan mengubah dunia.
Api Reichstag adalah momen saat pemerintahan Hitler, yang terpilih melalui jalur demokratis, akhirnya berubah menjadi rezim Nazi permanen. Inilah pola dasar dari manajemen teror. Api Reichstag menunjukkan betapa cepatnya sebuah negara republik bisa ditransformasi menjadi sebuah rezim otoriter.
Para pemimpin otoriter hari ini adalah para manajer teror, bahkan mereka lebih kreatif. Vladimir Putin merengkuh kekuasaan melalui sebuah insiden yang mirip dengan api Reichstag, ia menggunakan serangkaian serangan teror—baik yang riil maupun yang palsu—untuk menyingkirkan segala hambatan menuju kekuasaan total.
Putin ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Boris Yeltsin pada bulan Agustus 1999. Beberapa bulan berikutnya, sejumlah bangunan di Rusia dibom, kemungkinan besar oleh polisi rahasia Rusia. Beberapa pejabat kepolisian ditangkap oleh rekannya sendiri, namun akhirnya dilepaskan. Bahkan dalam salah satu kasus, Parlemen Rusia mengumumkan adanya ledakan beberapa hari sebelum ledakan tersebut terjadi. Putin mengarahkan kesalahan pada Muslim Chechnya dan mencapnya sebagai teroris. Dengan dalih tersebut, Putin mendeklarasikan balas dendam terhadap populasi Muslim di Chechnya dan berjanji untuk menggosok mereka di tempat pembuangan kotoran.
Warga Rusia tergalang. Dukungan pada Putin meningkat tajam, yang membawanya ke tampuk kursi kepresidenan. Pada tahun 2002, ketika pasukan keamanan Rusia membunuh sejumlah warga sipil saat mencoba menangani serangan terror di sebuah teater Moscow, Putin mengeksploitasi peristiwa tersebut untuk mengontrol televisi swasta. Saat sekolah di Beslan disandera oleh pejuang Chechnya pada tahun 2004, Putin menghapus posisi gubernur regional terpilih. Putin berhasil memperkuat kekuasaannya dan mengeliminasi dua institusi besar—televisi swasta dan gubernur regional terpilih—dengan manajemen terror, baik yang asli maupun yang palsu. Sejak itulah rezim Putin dibangun.
Saat sebuah rezim otoriter dibangun, ancaman terorisme bisa digunakan sebagai alat untuk menguatkan represi.
Saat serangan di dunia Barat dan di tempat lain semakin meningkat, terorisme tampaknya justru menjadi anugerah bagi para tiran. Dari Putin, Bashar Assad hingga As-Sisi, terorisme menjadi sekutu strategis penting para diktator di seluruh dunia, meskipun mereka mengklaim memeranginya.
Di tengah iklim ketakutan, para penguasa tersebut—yang mengklaim sebagai benteng melawan teroris, meski dalam kenyataannya mereka adalah teroris—mampu membuai kita untuk melupakan fakta bahwa kekerasan mereka jauh lebih mematikan daripada pihak yang mereka sebut ‘teroris’.
Teroris memberikan dalih yang nyaman bagi pemerintah untuk membangun kembali legitimasi dan menjustifikasi otoriterisme mereka.
Kondisi ini bukan berarti bahwa pemerintah bersukacita dalam serangan-serangan mematikan, atau bahwa mereka berharap, secara rahasia, untuk terjadinya tragedi tersebut. Hanya, mereka memiliki banyak keuntungan dari terjadinya serangan ini dan mahir mengubahnya untuk keuntungan mereka. Sebenarnya, bukan kepentingan mereka untuk memberantas terorisme. Justru sebaliknya.
Pemerintah menuai banyak manfaat atas obsesi publik terhadap “ancaman teroris”. Banyak sekali buku yang membahas tentang topik ini. Dari Machiavelli sampai Hume, para pemikir politik besar telah lama memahami dan berteori akan perlunya rasa takut dalam melembagakan pemerintahan dan dominasi.
Sebagaimana ungkapan ekonom Robert Higgs, “tanpa rasa takut rakyat, tidak ada pemerintahan yang bisa bertahan lebih dari 24 jam”. Bersambung ke bagian selanjutnya. (kiblat)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: