Oleh Zulkarnain El-Madury
Lelucon Syiah yang paling
potensial mengundang tawa ketika
membanding-bandingkan antara Fatimah dan Aisyah [ sebagai Ibu kaum
Mukminin]. Dalam benak Syiah yang biasa mendramatiser mereka yang ditokohkan
para pinoner Syiah, sekelas Khadijah dan Fatimah, bagi Syiah adalah segalanya.
Sedangkan lawannya dibuat sedemikian rendah seolah tak punya kelebihan, bahkan
sengaja dicari cacat celanya untuk membuktikan kalau Syiah adalah yang paling
benar.
Padahal dari aksi aksi dramatiser
Syiah tak lebih dari sebuah lawakan saja yang tak bermakna, hanya karena mereka
sangat galaunya berbagai cara ditempuh mereka untuk mengurangi rasa stressnya.
Para ulama ulama besar, jaman para imam suni meletakkan sendi sendi aqidah
Ahlussunah, asal tahu sudah tau kekafiran Syiah, mereka tak mau tahu apa yang
dilakukan Syiah. Karena bagi sunni hal itu tidak terlalu penting. Beda Sunni,
kitab kitab Syiah saja memang sengaja meributkan kedudukan Imam Ali, tanpa
terperosoka pada skandal kebencian yang dilakukan rahbar atau para rahib Syiah
sebagai Mualim atau Nakoda Syiah yang menebar kebencian simana mana.
Fokusnya mulai dari Shahabat Nabi
hingga para istri istri Nabi digiring dalam pembicaraan penoh dosa dan fitnah.
Pertama memasarkan fitnah berkepanjangan terkait para sahabat dan Istri Nabi,
yang tertuduh sebagai murtadin dan pelaku kejahatan terencana dalam merebut
kekuasaan Ali [?] yang dibuat seperti dinasti monarkhisme, dalam hal ini adalah
Imamiyah yang menempatkan keyakinan Muslim menurut Syiah harus berdasarkan mata
rantai darah Rasulullah tidak berlaku pada orang lain yang tidak sekerabat.
Tetapi kemudian anehnya meskipun
mengurucut pada ahlul bait berdasarkan Aliran, dominasi berdarah Persia
mengungguli keluarga Hasan. Dan untuk legalitas kontruksi khilafah imamiyah
dibuat hadits hadits yang lahir dari kandungan para rahib Syiah, bahwa seolah
Nabi hanya mewariskan kapling terbanyak kepada keluarga Husein. Ciri khasnya
lainnya adalah Husein dan fatimah dua sosok yang paling berkibar dimata Persia.
Bahkan kitabpun semua bersumber dari Husein atau Abu Abdillah, sebuah keyakinan
Syiah yang paling mencerminkan Kitabpun harus berdinasti dari Husein dan tidak
berlaku bagian keluarga rasulullah dari keturunan Hasan.
Soal Fatimah misalnya, memang
kitab kitab sunni menyebutkan sebagai Sayyidatun Nisa’ fil Jannah.
Fatimah adalah penghulu atau pemimpin wanita Surga. Dengan melupakan
kemulyaan istri Nabi, bahkan sengaja seolah istri istri Nabi, mereka rendahkan
sedemikian rupa, guna menunjukkan kepada umat kalau Nabi beristrikan manusia
lacur, artinya secara tidak langsung akan menyebut nabi tidak terpimpin wahyu
dalam mencari Istri, tetapi mengikuti hawa nafsu setan, itu yang muncul dalam
otak para rahbar Syiah. Itulah sebabnya mereka merumuskan penghancuran
kehormatakan istri istri Nabi sebagai tertuduh.
Padahal bukan mereka tidak tahu
bahwa tuduhan mereka akan berimplikasi pada Nabi, sebagai rasul yang menurut
alQuran tidak mengikuti hawa nafsu. Bahwa semua wahyu dan sunnah Nabi itu
adalah ketentuan Allah. Lalu muncul feeling anak anak sesat dari para Syiah
penyesat umat itu yang berani menyimpulkan Nabi tidak selektif, Nabi tidak
makshum lagi, karena bisa tidur dengan siapa saja dari istri istri terkutuknya,
itu pikiran gelap Syiah.
Kemudian diangkat
setinggi-tingginya kalau Fatimah wanita termulya, sayangnya mereka tidak punya
dalil untuk mengangkat Syahrubanu termulya, sehingga terpaksa merancang cerita
sumbang dengan merekayasa tafsir terhadap hadits hadits Sunni yang menyatakan
Fatimah Penghulu Wanita Di surga. Padahal teks Alquran yang Maha Mulya keluar
dari firman firman Allah menyebut istri istri rasulullah ummahatul Mukminin :
Allah Ta’ala berfirman,
{النَّبِيُّ
أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ
مَعْرُوفًا كَانَ ذَلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا }
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah
ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain
lebih berhak (waris-mewaris) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang
mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada
saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di
dalam Kitab (Allah). [al Ahzab : 6 ]
Dalam ayat
itu menyebutkan :
1. Nabi lebih
utama bagi orang orang mukmin
2. Istri
Istrinya adalah ibu Suri , adalah Ibu bagi orang mukmin
Dalam semua
aturan agama, sumber sandaran semua hukum dan kegiatan yang bersifat Islam
harus bersumber dari risalah Rasulullah, termasuk Quran dan sunnah. Kemudian
istrinya perannya sama halnya dengan Ibu Negara atau Ibu Presiden, memiliki
kedudukan tertinggi dan terpandang dalam Islam. Dalam adat bernegara, biasa
dalam aktor kepemimpinan yang bisa hadir dan bernilai sangat terhormat. Bukan
anaknya yang disuruh menyambut tamu tamu Negara, selain Presiden sudah pasti
adalah Istri Presiden. Artinya kalau disebut ummahatul mukminin, sudah jelas
anaknya akan terhormat juga. Mengikuti keluarganya, meskipun seperti Fatimah
bukan anak langsung dari istri istri Nabi yang terdepan sesudah Nabi.
Kalau
Fatimah adalah Sayyidatul Nisa’ [ Penghulu Wanita ] apalakah lebih tinggi
kedudukannya dari istri istri nabi. Al Quran adalah hukum awal menetapkan
hukum, hadits adalah hukum kedua. Secara kedudukannya, alQuran tertinggi
sebelum Sunah. Artinya penobatan Istri Istri Nabi sebagai Ummahtul Mukminin,
bukan saja sebagai Ibu suri umat islam didunia, tetapi juga Ibu Suri kaum
mukmin di Surga, sedangkan Fatimah kemulyaannya jelas tidak lebih tinggi dari
Ummahatul Mukminin , karena Khadijah dan istri istri yang lainnya lebih berhak
atas Fatimah yang berada dalam naungan Ummahatul Mukminin.
Telah
diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b dan Ibnu Abbas r.a. bahwa keduanya membaca
ayat ini dengan bacaan berikut:
"النَّبِيُّ
أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ وَهُوَ
أَبٌ لَهُمْ"
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang mukmin daripada mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu
mereka —dan Nabi adalah bapak mereka—.
Itu posisi
Nabi sendiri sebagai ayahanda kaum mukmin dan Istrinya sebagai Ibunya. Ini
sangat membedakan kedudukan Fatimah dan Aisyah dalam pandangan Quran,
bagaimanapun Ibu itu lebih mulya dari seorang anak. Dalam hadits lain Aisyah
tidak mau disebut Ummahatul Mukminat, karena tahkim kalimat itu bersifat khusus
pada perempuan. Sedangkan mukmini mencakup segalanya [laki laki dan perempuan].
[ Bersambung ]
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: