Syiahindonesia.com - SOPIR taksi online di Yangon itu adalah orang kesekian yang bertanya kepada Jawa Pos tentang agama yang dipeluk. Pada saat konflik Rohingya masih demikian membara, pertanyaan yang sangat personal itu tentu menimbulkan kecurigaan. Juga memicu kewaspadaan.
Tapi, ternyata semua terkait makanan. Maklum, latar belakang warga Yangon beragam "Banyak muslim yang mengeluh tidak bisa makan halal selama di Yangon. Kalau tahu (Anda muslim, Red), saya bisa memberikan rekomendasi tempat makan," terang Naing Lin, si pengemudi taksi online. "Jadi, tak ada kaitannya dengan konflik Rohingya," lanjut Naing seolah membaca kekhawatiran Jawa Pos.
Dengan 7,3 juta penduduk, bekas ibu kota Myanmar tersebut memang tak ubahnya melting pot bagi setidaknya sepuluh etnis di Myanmar. Mulai keturunan Tionghoa, Bamar, India, sampai orang Rohingya pun ada di sana.
Begitu juga dengan pemeluk agama. Di luar Buddha, agama mayoritas warga negara yang dahulu bernama Burma itu, juga bisa ditemukan orang Islam, Kristen, Hindu, dan Yahudi.
Jadi, tak mengherankan kalau krisis Rohingya yang telah menewaskan ratusan orang dan mengakibatkan ratusan ribu lainnya mengungsi itu tak berjejak di Yangon. Karena memang secara jarak, Yangon terpisah 600 kilometer dari Rakhine.
Yang justru menonjol di Yangon adalah aura toleransi. Salah satu ikon kota, Sule Pagoda, bahkan berdampingan dengan Masjid Sunni Bengali dan Gereja Baptis Immanuel. Beberapa blok dari sana ada sinagoge Yahudi, masjid milik kalangan Syiah, dan komunitas Ahmadiyah.
"Semuanya rukun, tidak pernah ada konflik beragama di sini. Bahkan, saya tidak pernah mendengar konflik antara Sunni dan Syiah," ujar Myo Thant Tun, 33, seorang tour guide di Yangon, kemarin.
Myo lantas mengajak Jawa Pos ke pusat kota untuk melihat bukti lainnya. Persisnya ke kawasan Merchant Road yang merupakan pusat perdagangan sekaligus tempat bagi komunitas muslim. Apalagi, di situ ada ada Masjid Surti Sunni.
Tapi, para pedagangnya datang dari berbagai etnis dan agama. Sehari-hari mereka membaur tanpa gesekan.
Ketika salat Duhur tiba, pukul 13.00 waktu setempat, beberapa umat muslim sudah berkumpul di Masjid Surti Sunni. Jawa Pos turut menjalankan salat di sana.
Tidak banyaknya umat muslim di Yangon membuat jamaah tahu jika ada orang asing di lingkungan itu. Ada yang cuma ngeliatin, ada juga yang mengajak bersalaman dan mengucapkan salam. Beberapa orang mencoba mengajak bicara bahasa Melayu.
Salah satunya sebut saja Ahmad. Dia adalah orang Rohingya yang meninggalkan Rakhine pada 1994. Dia lantas bekerja di Malaysia hingga belasan tahun. Karena itulah, dia sangat mahir berbahasa Melayu.
"Saya pun orang Rohingya. Famili pun Rohingya," ujarnya.
Ahmad yang melihat Jawa Pos datang bersama penerjemah seperti merasa tidak nyaman. Dia khawatir ceritanya akan bocor.
Karena itulah, dia lebih suka berbicara dengan bahasa Melayu. Dari mulutnya baru keluar bahasa Myanmar ketika menyampaikan sesuatu yang bersifat umum.
Dia beralasan, aktivitas orang-orang muslim sedang dipantau. Jangan sampai ada pembicaraan terkait Rohingya yang merebak. Entah benar atau tidak.
Yang jelas, dia khawatir orang-orang Islam di Yangon ikut terseret konflik. Padahal jelas, dia melarikan diri dari Rakhine untuk mendapat kehidupan yang lebih baik.
"Famili tak selamat lah. Abang nomor satu pun mati," katanya.
Namun, dia tidak tahu pasti bagaimana kabar orang-orang di kampungnya setelah tragedi 25 Agustus yang membuat ratusan orang Rohingya tewas dan ratusan ribu lainnya mengungsi. Yang dia tahu, ribuan orang masih terjebak di hutan.
Jamaah masjid memang enggan mengutarakan pemikirannya tentang konflik di Rakhine. Tidak ada yang memberikan alasan pasti. Yang jelas, mereka berharap tidak melebar ke Yangon karena selama ini sudah adem ayem. Bahkan, beberapa orang ketika dimintai nama dan izin agar keterangannya ditulis di media pun langsung menolak.
Warna dari konflik yang terjadi di Rakhine hanya terlihat dari headline berbagai media massa Myanmar. Dari koran lokal sampai yang berbahasa Inggris, semuanya memasang konflik itu sebagai tajuk utama. Bahkan, banyak yang memberikan tempat sampai tiga halaman.
"Sebenarnya kami tidak memiliki masalah dengan agama apa pun. Perbedaan itu seperti aneka warna bunga di taman, indah," terang warga Myanmar yang akrab disapa A-ming. Jawapos
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Tapi, ternyata semua terkait makanan. Maklum, latar belakang warga Yangon beragam "Banyak muslim yang mengeluh tidak bisa makan halal selama di Yangon. Kalau tahu (Anda muslim, Red), saya bisa memberikan rekomendasi tempat makan," terang Naing Lin, si pengemudi taksi online. "Jadi, tak ada kaitannya dengan konflik Rohingya," lanjut Naing seolah membaca kekhawatiran Jawa Pos.
Dengan 7,3 juta penduduk, bekas ibu kota Myanmar tersebut memang tak ubahnya melting pot bagi setidaknya sepuluh etnis di Myanmar. Mulai keturunan Tionghoa, Bamar, India, sampai orang Rohingya pun ada di sana.
Begitu juga dengan pemeluk agama. Di luar Buddha, agama mayoritas warga negara yang dahulu bernama Burma itu, juga bisa ditemukan orang Islam, Kristen, Hindu, dan Yahudi.
Jadi, tak mengherankan kalau krisis Rohingya yang telah menewaskan ratusan orang dan mengakibatkan ratusan ribu lainnya mengungsi itu tak berjejak di Yangon. Karena memang secara jarak, Yangon terpisah 600 kilometer dari Rakhine.
Yang justru menonjol di Yangon adalah aura toleransi. Salah satu ikon kota, Sule Pagoda, bahkan berdampingan dengan Masjid Sunni Bengali dan Gereja Baptis Immanuel. Beberapa blok dari sana ada sinagoge Yahudi, masjid milik kalangan Syiah, dan komunitas Ahmadiyah.
"Semuanya rukun, tidak pernah ada konflik beragama di sini. Bahkan, saya tidak pernah mendengar konflik antara Sunni dan Syiah," ujar Myo Thant Tun, 33, seorang tour guide di Yangon, kemarin.
Myo lantas mengajak Jawa Pos ke pusat kota untuk melihat bukti lainnya. Persisnya ke kawasan Merchant Road yang merupakan pusat perdagangan sekaligus tempat bagi komunitas muslim. Apalagi, di situ ada ada Masjid Surti Sunni.
Tapi, para pedagangnya datang dari berbagai etnis dan agama. Sehari-hari mereka membaur tanpa gesekan.
Ketika salat Duhur tiba, pukul 13.00 waktu setempat, beberapa umat muslim sudah berkumpul di Masjid Surti Sunni. Jawa Pos turut menjalankan salat di sana.
Tidak banyaknya umat muslim di Yangon membuat jamaah tahu jika ada orang asing di lingkungan itu. Ada yang cuma ngeliatin, ada juga yang mengajak bersalaman dan mengucapkan salam. Beberapa orang mencoba mengajak bicara bahasa Melayu.
Salah satunya sebut saja Ahmad. Dia adalah orang Rohingya yang meninggalkan Rakhine pada 1994. Dia lantas bekerja di Malaysia hingga belasan tahun. Karena itulah, dia sangat mahir berbahasa Melayu.
"Saya pun orang Rohingya. Famili pun Rohingya," ujarnya.
Ahmad yang melihat Jawa Pos datang bersama penerjemah seperti merasa tidak nyaman. Dia khawatir ceritanya akan bocor.
Karena itulah, dia lebih suka berbicara dengan bahasa Melayu. Dari mulutnya baru keluar bahasa Myanmar ketika menyampaikan sesuatu yang bersifat umum.
Dia beralasan, aktivitas orang-orang muslim sedang dipantau. Jangan sampai ada pembicaraan terkait Rohingya yang merebak. Entah benar atau tidak.
Yang jelas, dia khawatir orang-orang Islam di Yangon ikut terseret konflik. Padahal jelas, dia melarikan diri dari Rakhine untuk mendapat kehidupan yang lebih baik.
"Famili tak selamat lah. Abang nomor satu pun mati," katanya.
Namun, dia tidak tahu pasti bagaimana kabar orang-orang di kampungnya setelah tragedi 25 Agustus yang membuat ratusan orang Rohingya tewas dan ratusan ribu lainnya mengungsi. Yang dia tahu, ribuan orang masih terjebak di hutan.
Jamaah masjid memang enggan mengutarakan pemikirannya tentang konflik di Rakhine. Tidak ada yang memberikan alasan pasti. Yang jelas, mereka berharap tidak melebar ke Yangon karena selama ini sudah adem ayem. Bahkan, beberapa orang ketika dimintai nama dan izin agar keterangannya ditulis di media pun langsung menolak.
Warna dari konflik yang terjadi di Rakhine hanya terlihat dari headline berbagai media massa Myanmar. Dari koran lokal sampai yang berbahasa Inggris, semuanya memasang konflik itu sebagai tajuk utama. Bahkan, banyak yang memberikan tempat sampai tiga halaman.
"Sebenarnya kami tidak memiliki masalah dengan agama apa pun. Perbedaan itu seperti aneka warna bunga di taman, indah," terang warga Myanmar yang akrab disapa A-ming. Jawapos
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: