AHLU SUNNAH MENJADI INCARAN GOLONGAN LAIN
Benteng kaum Muslimin diserang dari dalam, kira kira
begitulah ungkapan yang dirasakan umat ini atas kejahatan ahli bid’ah khususnya
Syiah terhadap Islam, Sunnah dan Ahlu Sunnah. Pengkhianatan dan kekejaman yang
dilakukan oleh ahli bid’ah terhadap Islam dan kaum Muslimin sangat banyak
terjadi. Ini tidak lain dilandasi oleh keyakinan mereka yang mengkafirkan dan
menghalalkan darah orang-orang yang berada di luar kalangan mereka. Kurangnya
penghormatan mereka terhadap kehormatan, harta dan darah kaum Muslimin dan
kesembronoan mereka dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap siapa saja yang
tidak sepaham menjadi alasan mereka melakukan semua itu.
Tercatat di awal sejarah Islam dua kelompok bid’ah yang
melakukannya, yaitu, Syiah dan Khawârij. Akibat dari tindakan pengkhianatan
mereka tersebut banyak Sahabat Nabi Radhiyallahu ‘anhum yang terbunuh. Mereka
tak segan-segan menghalalkan darah Sahabat Radhiyallahu a’nhum, para Ulama dan
orang shalih dengan alasan yang mengada-ada tanpa rasa takut dan rasa malu
sedikit pun terhadap Allâh Azza wa Jalla.
Sejak awal kemunculan kelompok-kelompok bid’ah ini selalu
yang menjadi incaran dan targetnya adalah Ahlu Sunnah. Kelompok-kelompok bid’ah
itu rela melupakan perbedaan-perbedaan di antara mereka walaupun dalam masalah
yang prinsipil untuk bekerja sama dalam mematikan Sunnah dan menghancurkan Ahlu
Sunnah, begitulah sejarah berbicara. Khususnya pada abad ke-4 Hijriyah ketika
mulai berdirinya daulah Syiah di beberapa wilayah, terutama di daerah-daerah
pegunungan. Seiring dengan semakin gencarnya gerakan dakwah mereka ditambah
lagi semakin lemahnya daulah Ahlu Sunnah pada masa itu.
SYIAH, MUSUH DALAM SELIMUT
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah telah menjelaskan fenomena ini
dalam kitabnya ketika menyebutkan biografi salah seorang tokoh Syiah yaitu Ibnu
Nu’mân : “Ibnu Nu’mân ini adalah seorang tokoh Syiah dan pembela mereka. Ia
punya kedudukan di kalangan penguasa-penguasa daerah karena mayoritas penduduk
di daerah-daerah tersebut pada masa itu mulai condong kepada tasyayyu’
(Syi’ah). Di antara muridnya adalah asy-Syarîf ar-Râdhi dan al-Murtadhâ.”[1]
Beberapa sekte, seperti Ismâ’îliyah, Buwaihiyah, Qarâmithah
dan lain-lainnya memakai jubah Syiah ini untuk meraih tujuannya. Contoh
kasusnya adalah yang terjadi di Afrika utara, salah seorang juru dakwah Syiah
yang bernama Husain bin Ahmad bin Muhammad bin Zakariya ash-Shan’âni yang
berjuluk Abu ‘Abdillâh asy-Syî’i masuk ke wilayah Afrika seorang diri tanpa
harta dan tanpa satu pun orang yang mendampinginya. Ia terus melakukan kegiatan
dakwah di sana hingga ia berhasil menguasainya. [2]
Abu ‘Abdillâh asy-Syîi’i inilah yang berhasil meyakinkan
kaum Muslimin untuk menerima ‘Ubaidullâh al-Qaddah sebagai imam dakwah sehingga
mereka membaiatnya. Lalu ‘Ubaidullâh ini menggelari dirinya sebagai al-Mahdi
dan mendirikan daulah ‘Ubaidiyah yang kemudian lebih dipopulerkan dengan
sebutan sebagai daulah Fâthimiyyah. Padahal pada hakekatnya merupakan daulah
yang beraliran bathiniyah.
Di antara kejahatan yang dilakukan oleh ‘Ubaidullâh ini,
suatu kali kudanya masuk ke dalam masjid. Lalu rekan-rekannya ditanya tentang
hal itu, mereka menjawab, “Sesungguhnya kencing dan kotoran kuda itu suci,
karena ia adalah kuda al-Mahdi (yakni ‘Ubaidullâh). Pengurus masjid mengingkari
hal itu. Maka mereka pun membawanya ke hadapan ‘Ubaidullâh al-Mahdi, dan
akhirnya ia menghabisi pengurus masjid tersebut. Ibnu ‘Adzâra t
berkata,“Sesungguhnya di akhir hayatnya ‘Ubaidullâh ini ditimpa sebuah penyakit
yang mengerikan yaitu adanya cacing yang keluar dari duburnya dan kemudian memakan
kemaluannya. Begitulah keadaannya hingga kematian merenggutnya.” [3]
Abu Syâmah rahimahullah berkomentar tentang ‘Ubaidullâh ini
dengan berkata, “Ia adalah seorang zindiq (kafir), khabîts (sangat buruk), dan
merupakan musuh Islam. Menunjukkan diri sebagai Syiah dan berupaya keras untuk
menghilangkan agama Islam. Ia banyak membunuh Fuqahâ’, ahli hadits, orang orang
shalih dan banyak manusia lainnya. Anak keturunannya tumbuh dengan pola pikir
seperti itu dan apabila ada kesempatan mereka akan menunjukkan taringnya, jika
tidak maka mereka akan menyembunyikan diri.” [4]
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Duhai kiranya kalau ia
hanya seorang penganut Syiah saja, tetapi ternyata di samping itu ia juga
seorang zindiq.” [5]
Para ulama yang telah mereka bunuh di antaranya adalah Abu
Bakar an-Nâbilisi, Muhammad bin al-Hubulli, Ibnu Bardûn yang dibunuh oleh Abu
‘Abdillâh asy-Syî’i. Sementara Ibnu Khairûn Abu Ja’far Muhammad bin Khairûn
al-Mu’âfiri tewas di tangan ‘Ubaidullâh al-Mahdi.
Di antara penguasa mereka yang telah banyak membunuh para
Ulama adalah al-‘Adhid, penguasa terakhir Bani ‘Ubaid. Ibnu Khalikân
rahimahullah berkata tentang orang ini, “al-‘Adhid ini orang yang sangat kental
Syi’ahnya, sangat keterlaluan dalam mencaci maki Sahabat Nabi, apabila ia melihat
seorang Sunni (Ahlu Sunnah), ia menghalalkan darahnya.” [6]
Salah satu sekte yang menimpakan berbagai bala terhadap Ahlu
Sunnah adalah Buwaihiyah. Sekte ini dinisbatkan kepada Buwaihi bin Fannakhasru
ad-Dailami al-Fârisi. Berkuasa di Irak dan Persia lebih kurang satu abad ketika
kekhalifahan ‘Abbasiyah sedang melemah di Baghdad. Sekte ini juga menunjukkan
kefanatikannya kepada ajaran Syi’ah. Bahkan mereka memotivasi orang orang Syiah
di Baghdad untuk melakukan tindakan-tindakan perlawanan terhadap Ahlu Sunnah.
Hampir tiap tahun terjadi pertikaian dan benturan-benturan antara kaum Syiah
dan Ahlu Sunnah. Sehingga banyak korban jiwa jatuh dan menimbulkan kerugian
materiil yang besar, toko-toko dan pasar-pasar dibakar. Untuk menunjukkan
hegemoni dan dominasi mereka atas Ahlu Sunnah, pada tahun 351H kaum Syiah di
Baghdad dengan dukungan dari Mu’izzud Daulah mewajibkan masjid-masjid untuk
melaknat Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu dan tiga Khalifah Râsyid (Abu Bakar,
‘Umar dan ‘Utsman Radhiyallahu ‘anhum ). Sebuah ketetapan yang tak mampu
dicegah oleh kekhalifahan ‘Abbasiyah.[7]
Bahkan pada tahun 352 H, Mu’izzud Daulah menyuruh kaum
Muslimin untuk menutup toko-toko mereka, mengosongkan pasar, meliburkan
jual-beli dan menyuruh mereka untuk meratap. Para wanita disuruh keluar tanpa
penutup kepala dan wajah dicoreng-moreng, lalu berkeliling kota sambil meratap
dan menampar-nampar pipi atas kematian Husain bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma.
Maka kaum Muslimin pun melakukannya, sementara Ahlu Sunnah tidak mampu mencegahnya
karena banyaknya jumlah kaum Syiah dan kekuasaan kala itu berada di tangan
mereka (di tangan kaum Buwaihiyyun). [8] Sehingga Imam adz-Dzahabi rahimahullah
sampai berkomentar, “Sungguh telah terlantar urusan agama Islam dengan
berdirinya daulah Bani Buwaihi dan Bani ‘Ubaid yang bermadzhab Syiah ini.
Mereka meninggalkan jihad dan mendukung kaum Nasrani Romawi dan merampas kota
Madâin.” [9]
Di antara sekte Syiah adalah Syiah Ismâ’iliyah. Setelah
wafatnya Ja’far bin Muhammad ash-Shâdiq, kaum Syiah terpecah dua kelompok. Satu
kelompok menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya, yaitu Mûsâ al-Kâzhim, mereka
inilah yang kemudian disebut Syiah Itsnâ ‘Asyariyah (aliran Syiah yang meyakini
adanya imam yang berjumlah dua belas orang, red). Dan satu kelompok lagi menyerahkan
kepemimpinan kepada anaknya yang lain, yaitu Ismâ’il bin Ja’far, kelompok ini
kemudian dikenal sebagai Syiah Ismâ’iliyah. Kadang kala mereka dinisbatkan
kepada madzhab bathiniyah dan kadang kala dikaitkan juga dengan Qarâmithah.
Akan tetapi, mereka lebih senang disebut Ismâ’iliyah. [10] Adapun Qarâmithah
sendiri adalah penisbatan kepada Hamdân Qirmith. Kemudian pengikut-pengikutnya
dikenal dengan sebutan Qarâmithah. Di antara tokoh mereka yang menimpakan
fitnah besar terhadap kaum Muslimin adalah Abu Thâhir Sulaimân bin Hasan
al-Janâbi.
Mereka inilah yang bersekutu bersama kaum Nasrani dan Tatar
untuk melawan Islam dan kaum Muslimin. Ketika mereka sudah memiliki kekuatan
dan berhasil mendirikan daulah Bahrain, mereka melakukan aksi-aksi yang membuat
bulu kuduk merinding; berupa perampasan, pembunuhan dan pemerkosaan. Bahkan
kekejaman seperti itu tidak pernah dilakukan oleh bangsa Tatar maupun kaum
Nasrani sekalipun. Pada tahun 312 H, mereka menghadang kafilah haji yang hendak
kembali ke Irak. Mereka merampas kendaraan kafilah itu, bekal-bekal dan harta
benda yang mereka bawa, dan meninggalkan rombongan haji begitu saja sehingga
kebanyakan dari mereka mati kehausan dan kelaparan. [11]
Dan pada tahun 317 H, mereka menyerang jamaah haji di
Masjidil Harâm, dan membunuhi para jamaah yang berada dalam masjid lalu
membuang mayat mayat ke sumur Zamzam. Mereka membunuh orang orang di
jalan-jalan kota Mekah dan sekitarnya. Jumlah korbannya mencapai tiga puluh
ribu jiwa. Bahkan ia merampas kelambu Ka’bah dan membagi-bagikannya kepada
pasukannya. Ia menjarah rumah-rumah penduduk Mekah dan mencungkil Hajar Aswad
dari tempatnya untuk ia bawa ke Hajar (ibukota daulah mereka di Bahrain).[12]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah merekam kekejaman yang
dilakukan oleh Abu Thâhir al-Janâbi al-Bâthini ini dengan berkata, “Ia menjarah
harta penduduk Mekah dan menghalalkan darah mereka. Ia membunuhi manusia di
rumah-rumah mereka hingga yang berada di jalan-jalan. Bahkan menjagal banyak
jamaah haji di Masjdil Haram dan di dalam Ka’bah. Lalu pemimpin mereka, yakni
Abu Thâhir –semoga Allâh Azza wa Jalla melaknatnya- duduk di pintu Ka’bah,
sementara orang-orang disembelihi di hadapannya dan pedang-pedang berkelebatan
membantai orang-orang di Masjidil Haram pada bulan haram (suci) di hari
Tarwiyah yang merupakan hari yang mulia. Sementara Abu Thâhir ini berseru, “
Aku adalah Allâh, Allâh adalah aku. Aku menciptakan makhluk dan akulah yang
mematikan mereka.
Orang-orang pun berlarian menyelamatkan diri dari kekejaman
Abu Thâhir ini. Di antara mereka bahkan ada yang bergantung pada kelambu
Ka’bah. Namun itu tidak menyelamatkan jiwa mereka sedikit pun. Mereka tetap
ditebas habis dalam keadaan seperti itu. Mereka dibunuhi meskipun mereka sedang
bertawaf…”
Beliau melanjutkan, “Setelah pasukan Qarâmithah ini
melakukan aksi brutal mereka itu –semoga Allâh melaknat mereka- dan perbuatan
keji mereka terhadap para jamaah haji, Abu Thahir ini menyuruh pasukannya agar
melemparkan mayat-mayat yang tewas ke sumur Zamzam. Dan sebagian lain dikubur
di tempat-tempat mereka di tanah haram bahkan di dalam Masjidil Haram. Lalu
kubah sumur Zamzam pun dirobohkan. Kemudian Abu Thâhir memerintahkan agar
mencopot pintu Ka’bah, melepaskan kelambunya, untuk ia koyak-koyak dan bagikan
kepada pasukannya.”[13]
Dan jangan lupa juga pengkhianatan mereka terhadap Khalifah
al-Musta’shim billâh yang dilakoni oleh Muhammad bin al-Alqami dan Nâshiruddîn
ath-Thûsi, yang anehnya kedua orang ini dianggap pahlawan oleh orang-orang
Syi’ah.
Keruntuhan kota Baghdad yang kala itu merupakan ibukota
Daulah Abbasiyah di tangan pasukan Tatar tak lepas dari konspirasi yang
dilakukan oleh Ibnul Alqami dan ath-Thûsi. Hal ini didorong dendam kesumat
Ibnul Alqami ini terhadap Ahlu Sunnah. Pasalnya, pada tahun 656 H terjadi
peperangan hebat antara Ahlu Sunnah dan Syiah yang berujung dengan takluknya
kota Karkh yang merupakan pusat kegiatan kaum Syiah dan beberapa rumah sanak
keluarga al-Alqami menjadi korban penjarahan. Ia sangat berambisi meruntuhkan
kekuatan Ahlu Sunnah dan menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya,
walaupun harus bersekutu dengan pasukan musuh dan berkhianat terhadap khalifah.
Hal itu ia lampiaskan ketika ia memegang jabatan kementrian bagi Khalifah
al-Musta’shim billâh, ia memberi jalan bagi pasukan Tatar untuk masuk Baghdad.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 656 H. Ketika Hulago Khan dan pasukannya yang
berjumlah dua ratus ribu personil mengepung Baghdad dan menghujani istana
khalifah dengan anak panah. Pengamanan sekitar istana saat itu lemah karena
sebelum terjadinya peristiwa ini, Ibnul Alqami secara diam-diam telah
mengurangi jumlah personil tentara khalifah dengan cara memecat sejumlah besar
perwira dan mencoret nama mereka dari dinas ketentaraan. Pada masa kekhalifahan
sebelumnya, yaitu Khalifah al-Mustanshir, jumlah pasukan mencapai 100.000
personil. Sementara pada masa al-Musta’shim billâh jumlahnya menyusut menjadi
10.000 personil saja. Kemudian Ibnul Alqami ini mengirim surat rahasia kepada
bangsa Tatar dan memprovokasi mereka untuk menyerang Baghdad. Ia sebutkan dalam
surat rahasia itu kelemahan angkatan bersenjata Daulah Abbasiyah di Baghdad.
Itulah sebabnya bangsa Tatar dengan sangat mudah dapat merebutnya. Ketika
pasukan Tatar mulai mengepung Baghdad sejak tanggal 12 Muharram 656 H, saat
itulah Ibnul Alqami melakukan pengkhianatannya untuk kesekian kali. Dialah
orang pertama yang menemui pasukan Tatar. Lalu ia keluar bersama keluarganya,
pembantu serta pengikutnya pada saat-saat kritis itu untuk menemui Hulago Khan
dan mendapat perlindungan darinya. Kemudian ia membujuk Khalifah agar ikut
keluar bersamanya menemui Hulagokan untuk mengadakan perdamaian, yaitu
memberikan separoh hasil devisa negara kepada bangsa Tatar.
Maka berangkatlah Khalifah bersama para qadhi, Fuqâha’,
tokoh-tokoh negara dan masyarakat serta para pejabat tinggi negara lainnya dengan
700 kendaraan. Ketika sudah mendekati markas Hulago Khan, mereka ditahan oleh
pasukan Tatar dan tidak diizinkan menemui Hulago Khan kecuali hanya Khalifah
bersama 17 orang saja. Permintaan ini dipenuhi oleh Khalifah. Ia berangkat
bersama 17 orang sementara yang lain menunggu. Sepeninggal Khalifah, sisa
rombongan itu dirampok dan dibunuh oleh pasukan Tatar. Selanjutnya Khalifah
dibawa ke hadapan Hulago Khan seperti seorang pesakitan yang tak berdaya
Kemudian atas permintaan Hulago Khan, Khalifah kembali ke Baghdad ditemani oleh
Ibnul Alqami dan Nâshiruddîn ath-Thûsi. Di bawah rasa takut dan tekanan yang
hebat, Khalifah mengeluarkan emas, perhiasan dan permata dalam jumlah yang
sangat banyak. Namun tanpa disadari oleh Khalifah, para pengkhianat dari Syiah ini
telah membisiki Hulago Khan agar menampik tawaran damai dari Khalifah. Ibnul
Alqami ini berhasil meyakinkan Hulago Khan dan membujuknya untuk membunuh
Khalifah. Dan tatkala Khalifah kembali dengan membawa perbendaharaan negara
yang banyak untuk diserahkan, Hulago Khan memerintahkan agar Khalifah
dieksekusi. Dan yang mengisyaratkan untuk membunuh Khalifah adalah Ibnul Alqami
dan ath-Thûsi.
Dengan terbunuhnya Khalifah pasukan Tatar leluasa menyerbu
Baghdad tanpa perlawanan berarti. Maka jatuhlah Baghdad ke tangan musuh.
Dilaporkan bahwa jumlah orang yang tewas saat itu lebih kurang dua juta orang.
Tidak ada yang selamat kecuali Yahudi, Nashrani dan orang-orang yang meminta
perlindungan kepada pasukan Tatar, atau berlindung di rumah Ibnul Alqami dan
orang-orang kaya yang menebus jiwa mereka dengan menyerahkan harta kepada
pasukan Tatar. [14]
SEBUAH PELAJARAN BERHARGA
Melalui rekaman sejarah yang telah dipaparkan Ulama,
menyerahkan amanat dan jabatan kepada kaum Syiah merupakan tindakan bunuh diri
yang membahayakan umat. Karena sejarah telah membuktikan pengkhianatan yang
mereka lakukan terhadap kaum Muslimin, khususnya kepada Ahlu Sunnah.
Al-Baghdâdi rahimahullah telah menjelaskan secara ringkas
permusuhan kaum Syiah Bathiniyah ini terhadap Islam dan kaum Muslimin. Beliau
berkata, “Ketahuilah –semoga Allâh membuatmu bahagia- sesungguhnya bahaya yang
ditimbulkan oleh kaum Bathiniyah terhadap kaum Muslimin lebih besar daripada
bahaya yang ditimbulkan oleh kaum Yahudi, Nashrani maupun Majusi. Bahkan lebih
besar daripada kaum Dahriyah (atheis) serta kelompok-kelompok kafir lainnya.
Bahkan lebih besar daripada bahaya yang ditimpakan oleh Dajjal yang muncul di
akhir zaman. Karena orang orang yang tersesat akibat dakwah Bathiniyah ini
sejak awal mula munculnya dakwah mereka sampai hari ini lebih banyak daripada
orang-orang yang disesatkan oleh Dajjal pada waktu munculnya nanti. Karena
fitnah Dajjal tidak lebih dari empat puluh hari, sementara kejahatan kaum
Bathiniyah ini lebih banyak lagi daripada butiran pasir dan tetesan hujan.”
[15]
Kaum Bathiniyah ini sengaja memilih ajaran Syiah sebagai
alat untuk beraksi karena adanya kecocokan dengan ambisi dan keinginan mereka.
Karena mereka tidak menemukan jalan masuk kepada Islam kecuali dengan
menampakkan ajaran Syiah ini dan menisbatkan diri kepada agama Syiah. Abu Hamid
Al-Ghazâli rahimahullah mengungkapkan, “Telah sukses diadakan pertemuan di
antara pengikut-pengikut ajaran Majusi dan Mazdakiyah dari kalangan kaum
Tsanawiyah yang mulhid (kafir) serta sekelompok besar kaum filsafat mulhid
–ad-Dailami menambahkan- dan sisa-sisa pengikut ajaran Kharamiyah serta kaum
Yahudi. Mereka disatukan dengan satu slogan yaitu membuat tipu daya untuk
menolak Islam. Mereka berkata, “Sesungguhnya Muhammad telah mengalahkan kita
dan menghapus agama kita. Carilah sekutu untuk menghadapinya karena kita tidak
mampu secara frontal untuk menghadapi mereka. Kita tidak bisa berhasil merebut
kekuasaan yang ada di tangan kaum Muslimin dengan senjata dan peperangan.
Karena kekuatan mereka dan banyaknya personil pasukan mereka. Demikian pula
kita tidak mampu untuk beradu argumentasi dengan mereka karena mereka memiliki
Ulama, fudhala’ dan ahli tahqiq. Tidak ada cara kecuali melakukan makar dan
tipu daya. Kemudian mereka membuat rancangan dan program untuk mencapai tujuan
ini. Dan di antara cara yang mereka tempuh adalah masuk ke tengah kaum Muslimin
melalui jalan tasyayyu’ (ajaran Syi’ah). Walaupun mereka juga menganggap bahwa
kaum Syiah ini sesat, hanya saja mereka itu adalah orang yang paling dangkal
akalnya, paling konyol logikanya, paling mudah untuk menerima perkara-perkara
yang mustahil, paling percaya dengan riwayat-riwayat dusta yang mereka buat,
serta yang paling mudah untuk menerima riwayat-riwayat palsu. Apalagi dalam
ideologi Syiah ini terdapat ajaran taqiyah (bermuka dua) yang sangat mereka
perlukan untuk menjalankan misi mereka. Maka mereka pun bersembunyi di balik
ajaran ini untuk melemahkan Islam dan kaum Muslimin. Sehingga tampilan luar
mereka adalah Syiah, tetapi batin mereka berisi kekufuran (terhadap Islam).
[16]
Itulah sedikit dari fakta sejarah yang sudah terjadi.
Sebenarnya masih banyak lagi sejarah hitam kekejaman ahli bid’ah ini (kaum
Syiah) terhadap Ahlu Sunnah khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya. Kita
harus mengambil pelajaran dari masa lalu agar tidak berulang pada masa
mendatang. Karena sesungguhnya seorang Mukmin itu tidak boleh jatuh dalam satu
lobang berulang kali, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Wallâh a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun
XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Al-Bidâyah wan Nihâyah (XII/17)
[2]. Wafayâtul A’yân, Ibnu Khalikân (II/192)
[3]. Akhbâr Mulûk Bani ‘Ubaid tulisan ash-Shanhâji hlm. 96
[4]. Ar-Raudhataini fi Akhbâri Daulatain hlm. 201
[5]. Târîkh Islâm , adz-Dzahabi
[6]. Wafayâtul A’yân (III/110)
[7]. Al-Kâmil (VIII/542)
[8]. Al-Kâmil (VIII/549)
[9]. Siyar A’lâmun Nubalâ’ (XVI/232)
[10]. Al-Milal wan Nihal (I/191-192)
[11]. Târîkh Akhbâr Qarâmithah hlm. 38
[12]. Târîkh Akhbâr Qarâmithah hlm. 54
[13]. Al-Bidâyah wan Nihâyah (XI/160)
[14]. Al-Bidâyah wan Nihâyah (XVIII/213-224)
[15]. Al-Farqu bainal Firaq hlm 382
[16]. Silahkan lihat Fadhâih Bâthiniyah hlm 18-19 dengan
sedikit penambahan dan pengurangan.
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: