Syiahindonesia.com - Syiah zaidiyah adalah salah satu sekte pecahan dari agama Syiah. Kelompok ini diklaim sebagai penerus ajaran Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Berbicara tentang Syiah Zaidiyyah perlu pembahasan spesifik. Syiah Zaidiyyah yang mana? Karena kelompok ini terpecah menjadi beberapa kelompok. Salah satu pecahan yang disebut para ahli Akidah sebagai paling buruk, ialah Jarudiyyah. Representasi kelompok ini bisa dilihat pada zaman modern. Ajaran ini diikuti oleh Syiah Houti yang ada di Yaman.
Dalam ajaran Jarudiyah, kepemimpinan kaum muslimin hanya sah bagi Ali dan anak keturunannya. Jika kepemimpinan diamanatkan kepada orang selain keturunan Ali, pengikut Jarudiyah wajib memberontak dan mengangkat senjata. Karenanya, kepemimpinan kaum muslimin selama ribuan tahun setelah Ali dianggap tidak sah.
Dalam ajaran Jarudiyah, seseorang yang melakukan dosa besar seperti mencuri atau berzina diyakini akan menghuni neraka selama-lamanya. Mereka tidak bisa ditolong, walaupun dengan Syafaat Rasulullah SAW.
Selain itu menurut keyakinan Jarudiyah, Ali bin Abi Thalib adalah sahabat nomor 1. Keutamaannya melebihi Abu Bakar, Umar bin Khattab maupun Utsman bin Affan. Keyakinan ini tentu bertentangan dengan nash-nash Al-Quran dan hadits. Tentang taqiyah, Jarudiyyah membolehkannya ketika dibutuhkan.
Menurut kesaksian Asy-Syahrasyatani yang dituangkan dalam kitab Al-Milal wan Nihal, “Mayoritas pengikut zaidiyah mencela kehormatan para sahabat nabi sebagimana yang dilakukan para pengikut Syiah Imamiyah.”
Meskipun ajaran Syiah Zaidiyah diklaim sebagai warisan dari cicit Ali yang benama Zaid bin Ali. Namun, pada kenyataanya apa yang diyakini oleh Zaid bin Ali sangat berbeda dengan ucapan para pengikutnya. Hal itu bisa kita baca dari keterangan Abu Hasan Al-Asyari dalam kitabnya Maqalatul Islamiyyin. Abu Hasan Al-Asyari adalah tokoh dan ulama klasik yang banyak dikagumi di Indonesia. Terutama para pengikut Nahdhatul Ulama.
Menurut Abu Hasan Al-Asyari, Zaid bin Ali bin Husain bin Ali pernah mengatakan bahwa kakek buyutnya adalah sahabat yang paling mulia. Atau sahabat terbaik yang pernah dimiliki Rasulullah SAW. Meskipun demikian, ia tidak pernah mencela sahabat lain, termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Ia bahkan memuji kedua sahabat yang menjadi besan Rasulullah SAW tersebut.
Ketika Zaid bin Ali mendengar para pengikutnya mulai mencela Abu Bakar dan Umar, ia langsung menegur mereka. Para pengikutnya tersebut konon telah berbaiat untuk setia mengikuti dan membelanya. Namun, teguran tersebut membuat sebagian pengikutnya kecewa dan meninggalkannya.
Pembangakan tersebut membuat Zaid bin Ali berkata, “rafahdtumuwni, berani-beraninya kalian membangkang terhadap aku?” Dari kata rafadh itulah ajaran Rafidhah berasal.
Kedua, Sulaimainiyyah.
Kelompok ini meyakini bahwa imamah atau kepemimpinan kaum muslimin dijalankan secara Syura atau mufakat kaum muslimin. Bahkan, ketika wilayah kekuasaan Islam begitu luas, dibolehkan mengangkat dua orang khalifah. Kadang, yang diangkat sebagai khalifah tidak harus orang yang paling ideal. Kelompok ini mengatakan bahwa kepemimpinan sahabat Abu Bakar dan Umar sah.
Ketiga, Batriyyah.
Pengikut Batriyyah meyakini Ali adalah manusia terbaik setelah Rasulullah SAW. Bahkan menjadi orang yang paling layak menjadi pemimpin atau khalifah. Namun, kelompok ini tidak pernah mencela dan mengatakan kepemimpinan para khalifah sebelum Ali sebagai kepemimpinan yang ilegal. Karena Ali menerima kepemimpinan para sahabat tersebut. Namun, mereka tidak mau berkomentar tentang kepemimpinan Utsman bin Affan. Mereka meyakini bahwa orang mati tidak bisa reinkarnasi atau hidup kembali. Ini berbeda dengan ajaran Syiah Rafidhah yang meyakini bahwa Husain bin Ali akan hidup kembali. Yaitu ketika Imam Mahdi telah muncul di akhir zaman.
Keempat, Nuaimiyyah.
Kelompok ini meyakini bahwa Ali berhak menjadi pemimpin sebab ia adalah orang terbaik kedua setelah Rasulullah SAW. Karena itu, Ali lebih berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah SAW daripada Abu Bakar dan Umar . Bagi pengikut Nuaimiyyah, umat Islam tidak bersalah karena mengangkat keduanya menjadi khalifah. Hanya saja mereka bersalah karena tidak memilih orang yang paling ideal menurut mereka, yaitu Ali bin Abi Thalib.
Kelompok ini tidak mau mengakui kepemimpinan Utsman bin Affan. Serta mengatakan bahwa orang yang mengangkat senjata melawan Ali sebagai orang kafir.
Kelima, sebagian pengikut Zaidiyyah yang menolak kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Mereka yakin bahwa orang mati bisa dihidupkan kembali. Yaitu Husain bin Ali yang kembali dibangkitkan di masa Imam Mahdi.
Enam, Ya’qubiyah. Kelompok tidak mencela Abu Bakar dan Umar. Bahkan tidak mau dikaitkan dengan kelompok Syiah lain yang mencela kedua sahabat itu.
Menurut Abu Hasan Al-Asyari, meskipun kelompok Syiah Zaidiyyah terpecah menjadi bebera kelompok, mereka semua sepakat bahwa orang yang melakukan dosa besar akan dihukum di neraka selama-lamanya. Mereka tidak akan pernah meningkatkan neraka tempat mereka disiksa.
Salah satu syubhat yang sering disampaikan kepada kaum muslimin, terutama yang awam ialah bahwa kelompok Syiah Zaidiyah adalah kelompok Syiah yang dekat dengan Ahlu Sunnah. Sebab, di kalangan Ahli Fikih pendapat kelompok Syiah Zaidiyyah masih diterima. Bahkan dikatakan sebagai salah satu madzhab fiqih.
Hal itu terjadi karena Syiah Zaidiyyah dilihat satu sudut pandang saja. Yaitu fiqih. Jika dilihat dari sisi keyakinan atau akidah, Anda akan menemukan bahwa ajaran ini layak untuk dikritisi. Ada banyak poin penyimpangan yang perlu diluruskan.
Ada satu analogi untuk menjawab syubhat ini, yaitu jarak antara matahari dan bumi. Matahari adalah bintang yang paling dekat dengan bumi. Bintang lainnya berjarak jutaan tahun cahaya dari bumi. Meski matahari dianggap dekat dengan bumi, namun antara kedua benda langit ini terbentang jarak 146 juta kilo meter. Seperti itulah jauhnya Syiah Zaidiyyah dari ajaran Ahlu Sunnah wal jamaah. An-najah.net
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Berbicara tentang Syiah Zaidiyyah perlu pembahasan spesifik. Syiah Zaidiyyah yang mana? Karena kelompok ini terpecah menjadi beberapa kelompok. Salah satu pecahan yang disebut para ahli Akidah sebagai paling buruk, ialah Jarudiyyah. Representasi kelompok ini bisa dilihat pada zaman modern. Ajaran ini diikuti oleh Syiah Houti yang ada di Yaman.
Dalam ajaran Jarudiyah, kepemimpinan kaum muslimin hanya sah bagi Ali dan anak keturunannya. Jika kepemimpinan diamanatkan kepada orang selain keturunan Ali, pengikut Jarudiyah wajib memberontak dan mengangkat senjata. Karenanya, kepemimpinan kaum muslimin selama ribuan tahun setelah Ali dianggap tidak sah.
Dalam ajaran Jarudiyah, seseorang yang melakukan dosa besar seperti mencuri atau berzina diyakini akan menghuni neraka selama-lamanya. Mereka tidak bisa ditolong, walaupun dengan Syafaat Rasulullah SAW.
Selain itu menurut keyakinan Jarudiyah, Ali bin Abi Thalib adalah sahabat nomor 1. Keutamaannya melebihi Abu Bakar, Umar bin Khattab maupun Utsman bin Affan. Keyakinan ini tentu bertentangan dengan nash-nash Al-Quran dan hadits. Tentang taqiyah, Jarudiyyah membolehkannya ketika dibutuhkan.
Menurut kesaksian Asy-Syahrasyatani yang dituangkan dalam kitab Al-Milal wan Nihal, “Mayoritas pengikut zaidiyah mencela kehormatan para sahabat nabi sebagimana yang dilakukan para pengikut Syiah Imamiyah.”
Meskipun ajaran Syiah Zaidiyah diklaim sebagai warisan dari cicit Ali yang benama Zaid bin Ali. Namun, pada kenyataanya apa yang diyakini oleh Zaid bin Ali sangat berbeda dengan ucapan para pengikutnya. Hal itu bisa kita baca dari keterangan Abu Hasan Al-Asyari dalam kitabnya Maqalatul Islamiyyin. Abu Hasan Al-Asyari adalah tokoh dan ulama klasik yang banyak dikagumi di Indonesia. Terutama para pengikut Nahdhatul Ulama.
Menurut Abu Hasan Al-Asyari, Zaid bin Ali bin Husain bin Ali pernah mengatakan bahwa kakek buyutnya adalah sahabat yang paling mulia. Atau sahabat terbaik yang pernah dimiliki Rasulullah SAW. Meskipun demikian, ia tidak pernah mencela sahabat lain, termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Ia bahkan memuji kedua sahabat yang menjadi besan Rasulullah SAW tersebut.
Ketika Zaid bin Ali mendengar para pengikutnya mulai mencela Abu Bakar dan Umar, ia langsung menegur mereka. Para pengikutnya tersebut konon telah berbaiat untuk setia mengikuti dan membelanya. Namun, teguran tersebut membuat sebagian pengikutnya kecewa dan meninggalkannya.
Pembangakan tersebut membuat Zaid bin Ali berkata, “rafahdtumuwni, berani-beraninya kalian membangkang terhadap aku?” Dari kata rafadh itulah ajaran Rafidhah berasal.
Kedua, Sulaimainiyyah.
Kelompok ini meyakini bahwa imamah atau kepemimpinan kaum muslimin dijalankan secara Syura atau mufakat kaum muslimin. Bahkan, ketika wilayah kekuasaan Islam begitu luas, dibolehkan mengangkat dua orang khalifah. Kadang, yang diangkat sebagai khalifah tidak harus orang yang paling ideal. Kelompok ini mengatakan bahwa kepemimpinan sahabat Abu Bakar dan Umar sah.
Ketiga, Batriyyah.
Pengikut Batriyyah meyakini Ali adalah manusia terbaik setelah Rasulullah SAW. Bahkan menjadi orang yang paling layak menjadi pemimpin atau khalifah. Namun, kelompok ini tidak pernah mencela dan mengatakan kepemimpinan para khalifah sebelum Ali sebagai kepemimpinan yang ilegal. Karena Ali menerima kepemimpinan para sahabat tersebut. Namun, mereka tidak mau berkomentar tentang kepemimpinan Utsman bin Affan. Mereka meyakini bahwa orang mati tidak bisa reinkarnasi atau hidup kembali. Ini berbeda dengan ajaran Syiah Rafidhah yang meyakini bahwa Husain bin Ali akan hidup kembali. Yaitu ketika Imam Mahdi telah muncul di akhir zaman.
Keempat, Nuaimiyyah.
Kelompok ini meyakini bahwa Ali berhak menjadi pemimpin sebab ia adalah orang terbaik kedua setelah Rasulullah SAW. Karena itu, Ali lebih berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah SAW daripada Abu Bakar dan Umar . Bagi pengikut Nuaimiyyah, umat Islam tidak bersalah karena mengangkat keduanya menjadi khalifah. Hanya saja mereka bersalah karena tidak memilih orang yang paling ideal menurut mereka, yaitu Ali bin Abi Thalib.
Kelompok ini tidak mau mengakui kepemimpinan Utsman bin Affan. Serta mengatakan bahwa orang yang mengangkat senjata melawan Ali sebagai orang kafir.
Kelima, sebagian pengikut Zaidiyyah yang menolak kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Mereka yakin bahwa orang mati bisa dihidupkan kembali. Yaitu Husain bin Ali yang kembali dibangkitkan di masa Imam Mahdi.
Enam, Ya’qubiyah. Kelompok tidak mencela Abu Bakar dan Umar. Bahkan tidak mau dikaitkan dengan kelompok Syiah lain yang mencela kedua sahabat itu.
Menurut Abu Hasan Al-Asyari, meskipun kelompok Syiah Zaidiyyah terpecah menjadi bebera kelompok, mereka semua sepakat bahwa orang yang melakukan dosa besar akan dihukum di neraka selama-lamanya. Mereka tidak akan pernah meningkatkan neraka tempat mereka disiksa.
Salah satu syubhat yang sering disampaikan kepada kaum muslimin, terutama yang awam ialah bahwa kelompok Syiah Zaidiyah adalah kelompok Syiah yang dekat dengan Ahlu Sunnah. Sebab, di kalangan Ahli Fikih pendapat kelompok Syiah Zaidiyyah masih diterima. Bahkan dikatakan sebagai salah satu madzhab fiqih.
Hal itu terjadi karena Syiah Zaidiyyah dilihat satu sudut pandang saja. Yaitu fiqih. Jika dilihat dari sisi keyakinan atau akidah, Anda akan menemukan bahwa ajaran ini layak untuk dikritisi. Ada banyak poin penyimpangan yang perlu diluruskan.
Ada satu analogi untuk menjawab syubhat ini, yaitu jarak antara matahari dan bumi. Matahari adalah bintang yang paling dekat dengan bumi. Bintang lainnya berjarak jutaan tahun cahaya dari bumi. Meski matahari dianggap dekat dengan bumi, namun antara kedua benda langit ini terbentang jarak 146 juta kilo meter. Seperti itulah jauhnya Syiah Zaidiyyah dari ajaran Ahlu Sunnah wal jamaah. An-najah.net
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: