Syiahindonesia.com - Syiah bukan Islam. Beberapa waktu lalu ke Indonesia kedatangan Wakil Presiden Iran untuk Urusan Keluarga dan Wanita. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menyambutnya dengan hangat, di Kantor Wapres RI bulan lalu.
Dari pertemuan itu menimbulkan sebagian masyarakat muslim jatuh hati dengan Iran yang Syiah. Mereka pun seakan tidak mempedulikan lagi kesyiahan Iran. Pikir mereka toh sama-sama Islam. Sudah saatnya Islam bersatu tanpa membedakan golongan dan kelompok. Tetapi apakah memang demikian adanya?
Pokok-Pokok Keyakinan Syi’ah.
Tidak dipungkiri lagi, persatuan dalam Islam sangat ditekankan, bersatu di atas kalimat Allah ﷻ. Bukankah Allah ﷻ telah berfirman,
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dun janganlah kamu bercerai-berai” (Ali Imran: 103).
Abu Ja’far ath-Thabari menjelaskan, Persatuan atas dasar kebenaran yang telah Allah ﷻ terangkan dalam Al Qur’an. (Abu Ja’far ath-Thabari, Jami’ul Qur’an Fi Ta’wilil Qur’an, cet I, jilid 7, hal. 70)
Sedangkan Syiah pokok-pokok keyakinannya sangat bertolak belakang dengan ahlus sunnah. Mari kita lihat beberapa keyakinan dasar yang dianut kaum Syiah imamiyah yang sekarang memiliki kekuasaan di Iran, sehingga mereka memiliki pendukung untuk menyebarkan pahamnya tersebut.
Pertama, Keyakinan Syiah Terhadap AI–Quran.
Bagi kaum muslimin, A1-Qur’an adalah wahyu Allah ﷻ yang terjaga orisinalitasnya dengan jaminan-Nya. Sebagaimana firman-Nya,
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Al-Hijr: 9).
Akan tetapi kaum Syiah telah meyakini terjadinya penyelewengan A1-Quran. Bahkan mereka berkeyakinan ada Al-Quran khusus bagi mereka yaitu Quran Fathimi.
Dalam kitab Al Kafi karya Kulaini -merupakan kitab hadis yang dianggap setingkat Shahih Bukhari menurut kalangan Syiah- disebutkan: Dari Abu Ja’far berkata: Tidak ada seorang pun dari manusia ini yang mampu menghimpun Quran seluruhnya selengkap ketika ia diturunkan Allah ﷻ , kecuali seorang pendusta. Tidak ada yang mampu menghimpun dan menghafalnya selengkap ketika diturunkan Allah ﷻ , kecuali Ali bin Abi Tholib dan para imam sesudahnya. (Kulaini, Al Kafi, cet th 1278 H, hal. 54)
Bahkan dalam halaman lain disebutkan: “Abu Abdillah yakni Ja’far ash Shodiq berkata, Pada kami ada mushaf Fathimah …Aku bertanya: Apa maksud mushaf Fathimah? Ia menjawab, “Dia adalah mushaf yang di dalamnya terdapat tiga kali lipat dari Qur’an kalian. Demi Allah, di dalamnya tidak terdapat satu huruf pun dari Al Quran kalian.” (Kulaini, Al Kafi, cet th 1278 H, hal. 57)
Kedua. Syiah Memandang As–Sunnah.
As-Sunnah adalah apa saja yang disandarkan kepada Rasulullah ﷺ baik perkataan, perbuatan ataupun sikap persetujuan. Ummat Islam meyakini bahwa As-Sunnah adalah sumber ke dua dari ajaran Islam.
Kemudian ketika Islam semakin menyebar dan banyak para pendusta, maka keorisinalitasan Sunnah Nabi juga sangat diperhatikan pada kalangan Ahlu Sunnah. Maka muncullah ilmu jarh wa ta’dil yang meneliti kualitas perowi hadits, sehingga dapat dipisahkan mana yang hadis shahih dan yang dho’if atau palsu.
Sedangkan pada kaum Syiah, definisi sunnah adalah apa saja yang bersumber dari A1 Ma’shum baik berupa perkataan, perbuatan ataupun sikap (Muhammad Taqiyul Hakim, AI-Ushul Ammah lil fiqhi Muqorin, hal:122).
Maksud Al Ma’shum adalah Rasulullah, Ali bin Abi Tholib dan keturunannya yang mereka akui sebagai imam yang dua belas. Jadi bagi mereka yang ada riwayat dari Ahlul bait maka itu adalah hadits shahih.
Bahkan, jika diperhatikan sebagian besar hadis-hadis Syiah bersandar kepada perkataan para imam yang dua belas, kebanyakan diriwayatkan dari Ja’far Shodiq. Dan sangat sedikit sekali yang langsung diriwayatkan dari Rasulullah Saw. Bahkan mereka memang sengaja menjauhi hadis yang sampai kepada Rasulullah melalui perantaraan para sahabat yang telah mereka kafirkan sebagian besarnya.
Dilihat dari metode pengambilan hadisnya, sangat mudah bagi para pendusta untuk berdusta atas nama ahlul bait demi kepentingan hawa nafsu mereka.
Begitulah sikap kaum Syiah yang mereka yakini terhadap Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka tidak mengakui keorisinalan Al-Qur’an dan tidak mau menggunakan hadis yang shahih sekalipun jika tidak diriwayatkan ahlul bait.
Mereka juga dengan terang-terangan mengkafirkan sebagian besar para sahabat, yang oleh Al Qur’an disebutkan,
“Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dun Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dun Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar“. (At-Taubah: 100)
Lalu bagaimana, mereka berani mengkafirkan orang yang-orang yang telah dijamin Allah sebagai penghuni jannah? Bagaimana mereka mengaku membela Ali yang hak kekhalifahannya dirampas tiga khalifah sebelumnya, padahal Ali bin Abi Tholib sendiri tidak merasa demikian.
Bahkan salah seorang putrinya dinikahkan dengan Umar bin Khottob. Dan selama kekhalifahan tiga sahabat senior (Abu Bakar, Umar, Utsman), Ali tidak pernah berniat merampas kekhilafahan yang ada. Padahal beliau dikenal sebagai seorang yang sangat pemberani? Sekiranya benar bahwa Ali mendapat wasiat dari Rasul sebagai khalifah sepeninggal beliau, tentu Ali akan berjuang melaksanakan wasiat tersebut.
Tetapi justru beliau membantu tiga khilafah yang diridhai Rasulullah ﷺ tersebut. Bahkan bagaimana mungkin jika memang Ali benci kepada Abu Bakar dan Umar tetapi ternyata putra-putra beliau diberi nama dengan nama-nama tersebut? Semoga kebenaran semakin terang dihadapan kita. Amin. Wallahu ﷻ ‘Alam
Sumber : Majalah An-Najah edisi 38, hal 40, 41
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Dari pertemuan itu menimbulkan sebagian masyarakat muslim jatuh hati dengan Iran yang Syiah. Mereka pun seakan tidak mempedulikan lagi kesyiahan Iran. Pikir mereka toh sama-sama Islam. Sudah saatnya Islam bersatu tanpa membedakan golongan dan kelompok. Tetapi apakah memang demikian adanya?
Pokok-Pokok Keyakinan Syi’ah.
Tidak dipungkiri lagi, persatuan dalam Islam sangat ditekankan, bersatu di atas kalimat Allah ﷻ. Bukankah Allah ﷻ telah berfirman,
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dun janganlah kamu bercerai-berai” (Ali Imran: 103).
Abu Ja’far ath-Thabari menjelaskan, Persatuan atas dasar kebenaran yang telah Allah ﷻ terangkan dalam Al Qur’an. (Abu Ja’far ath-Thabari, Jami’ul Qur’an Fi Ta’wilil Qur’an, cet I, jilid 7, hal. 70)
Sedangkan Syiah pokok-pokok keyakinannya sangat bertolak belakang dengan ahlus sunnah. Mari kita lihat beberapa keyakinan dasar yang dianut kaum Syiah imamiyah yang sekarang memiliki kekuasaan di Iran, sehingga mereka memiliki pendukung untuk menyebarkan pahamnya tersebut.
Pertama, Keyakinan Syiah Terhadap AI–Quran.
Bagi kaum muslimin, A1-Qur’an adalah wahyu Allah ﷻ yang terjaga orisinalitasnya dengan jaminan-Nya. Sebagaimana firman-Nya,
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Al-Hijr: 9).
Akan tetapi kaum Syiah telah meyakini terjadinya penyelewengan A1-Quran. Bahkan mereka berkeyakinan ada Al-Quran khusus bagi mereka yaitu Quran Fathimi.
Dalam kitab Al Kafi karya Kulaini -merupakan kitab hadis yang dianggap setingkat Shahih Bukhari menurut kalangan Syiah- disebutkan: Dari Abu Ja’far berkata: Tidak ada seorang pun dari manusia ini yang mampu menghimpun Quran seluruhnya selengkap ketika ia diturunkan Allah ﷻ , kecuali seorang pendusta. Tidak ada yang mampu menghimpun dan menghafalnya selengkap ketika diturunkan Allah ﷻ , kecuali Ali bin Abi Tholib dan para imam sesudahnya. (Kulaini, Al Kafi, cet th 1278 H, hal. 54)
Bahkan dalam halaman lain disebutkan: “Abu Abdillah yakni Ja’far ash Shodiq berkata, Pada kami ada mushaf Fathimah …Aku bertanya: Apa maksud mushaf Fathimah? Ia menjawab, “Dia adalah mushaf yang di dalamnya terdapat tiga kali lipat dari Qur’an kalian. Demi Allah, di dalamnya tidak terdapat satu huruf pun dari Al Quran kalian.” (Kulaini, Al Kafi, cet th 1278 H, hal. 57)
Kedua. Syiah Memandang As–Sunnah.
As-Sunnah adalah apa saja yang disandarkan kepada Rasulullah ﷺ baik perkataan, perbuatan ataupun sikap persetujuan. Ummat Islam meyakini bahwa As-Sunnah adalah sumber ke dua dari ajaran Islam.
Kemudian ketika Islam semakin menyebar dan banyak para pendusta, maka keorisinalitasan Sunnah Nabi juga sangat diperhatikan pada kalangan Ahlu Sunnah. Maka muncullah ilmu jarh wa ta’dil yang meneliti kualitas perowi hadits, sehingga dapat dipisahkan mana yang hadis shahih dan yang dho’if atau palsu.
Sedangkan pada kaum Syiah, definisi sunnah adalah apa saja yang bersumber dari A1 Ma’shum baik berupa perkataan, perbuatan ataupun sikap (Muhammad Taqiyul Hakim, AI-Ushul Ammah lil fiqhi Muqorin, hal:122).
Maksud Al Ma’shum adalah Rasulullah, Ali bin Abi Tholib dan keturunannya yang mereka akui sebagai imam yang dua belas. Jadi bagi mereka yang ada riwayat dari Ahlul bait maka itu adalah hadits shahih.
Bahkan, jika diperhatikan sebagian besar hadis-hadis Syiah bersandar kepada perkataan para imam yang dua belas, kebanyakan diriwayatkan dari Ja’far Shodiq. Dan sangat sedikit sekali yang langsung diriwayatkan dari Rasulullah Saw. Bahkan mereka memang sengaja menjauhi hadis yang sampai kepada Rasulullah melalui perantaraan para sahabat yang telah mereka kafirkan sebagian besarnya.
Dilihat dari metode pengambilan hadisnya, sangat mudah bagi para pendusta untuk berdusta atas nama ahlul bait demi kepentingan hawa nafsu mereka.
Begitulah sikap kaum Syiah yang mereka yakini terhadap Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka tidak mengakui keorisinalan Al-Qur’an dan tidak mau menggunakan hadis yang shahih sekalipun jika tidak diriwayatkan ahlul bait.
Mereka juga dengan terang-terangan mengkafirkan sebagian besar para sahabat, yang oleh Al Qur’an disebutkan,
“Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dun Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dun Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar“. (At-Taubah: 100)
Lalu bagaimana, mereka berani mengkafirkan orang yang-orang yang telah dijamin Allah sebagai penghuni jannah? Bagaimana mereka mengaku membela Ali yang hak kekhalifahannya dirampas tiga khalifah sebelumnya, padahal Ali bin Abi Tholib sendiri tidak merasa demikian.
Bahkan salah seorang putrinya dinikahkan dengan Umar bin Khottob. Dan selama kekhalifahan tiga sahabat senior (Abu Bakar, Umar, Utsman), Ali tidak pernah berniat merampas kekhilafahan yang ada. Padahal beliau dikenal sebagai seorang yang sangat pemberani? Sekiranya benar bahwa Ali mendapat wasiat dari Rasul sebagai khalifah sepeninggal beliau, tentu Ali akan berjuang melaksanakan wasiat tersebut.
Tetapi justru beliau membantu tiga khilafah yang diridhai Rasulullah ﷺ tersebut. Bahkan bagaimana mungkin jika memang Ali benci kepada Abu Bakar dan Umar tetapi ternyata putra-putra beliau diberi nama dengan nama-nama tersebut? Semoga kebenaran semakin terang dihadapan kita. Amin. Wallahu ﷻ ‘Alam
Sumber : Majalah An-Najah edisi 38, hal 40, 41
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: