Setelah saya melihat status dari saudara kita ustadz Hasan Al Jaizy dalam akun facebooknya, ternyata sangat menarik sekali. Yang mana beliau membuatnya per part-part dalam bentuk status. Karena ketertarikan saya dengan artikel beliau, saya meminta izin untuk memplubikasikan artikel beliau dalam blog saya. Walhamdulillah beliau mengizikan. Mari kita baca artikel beliau yang sangat menarik ini.
[Risalah Jaiziyyah: “Percumbuan Antara SYI’AH dan SUFI”]
I
[MUQADDIMAH]
Risalah ini saya tujukan untuk Anda, orang yang terlanjur ikut Syi’ah atau Sufi. Sebagai seorang Syi’ah atau Sufi, tentu saja Anda tidak berkenan dengan judul status di atas. Anda akan berkata, “Judulnya sangat lebay dan hiperbola.” Tidak usah berkata begitu. Coba tengok golongan Anda yang sesat itu. Syi’ah dan Sufi itu isinya cetar melebai-lebai. Selain itu, banyak kedustaan yang penganutnya sudah tahu itu dusta, namun karena syahwat perut dan syahwat kemaluan lebih ditonjolkan, maka kedustaan bisa dikompromikan, asal perut kekenyangan (setelah haulan) atau kemaluan terpuaskan (setelah mut’ahan).
Kalau bukan bergelimang dusta, bukan Syi’ah namanya. Juga Sufi mempunyai karakter berdusta. Semua dari mereka mudah menelan kabar dusta, entah berupa hadits maudlu’ yang secara sanad tak bisa dipertanggungjawabkan, maupun berupa cerita-cerita khurafat yang secara nalar tak bisa dinalarkan. Bukan yang termaksud dari Syi’ah di sini: Syi’ah Zaidiyyah (selama ia bukan Hautsiy berkedok Zaidiyyah padahal intinya berkiblat pada Itsna Asyariyyah). Bukan yang termaksud dari Sufi di sini: Sufi non-ekstrim yang hanya mempelajari akhlak tasawuf saja tanpa menyentuh ranah aqidah atau inovasi dalam ibadah.
Saya tertarik untuk menjabarkan sedikit tentang kesamaan antara Syi’ah dan Sufi. Terima atau tidak terima, itu urusan Anda. Tetapi sebaiknya Anda terima saja, wahai penganut Syi’ah atau penganut Sufi. Daripada Anda tambah repot. Anda ini sudah repot-repot memeluk agama sesat, jadi jangan merasa direpotkan dengan tulisan saya. Oke, kita mulai persamaan kalian berdua:
II
[1] [KLAIM ILMU KHUSUS]
Orang Syi’ah paling getol membicarakan keistimewaan imam mereka dari segi kepemilikan ilmu-ilmu khusus yang tidak diberikan kepada umat manusia pada umumnya, baik muslim maupun kafirnya. Mereka akan menisbatkan ilmu khusus ini pada Ali bin Abi Thalib, berdasarkan hadits yang dianggap palsu oleh mayoritas ulama hadits, yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam- adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Jadi, Ali –radhiyallahu anh- memiliki rahasia-rahasia agama. Diklaim oleh Syi’ah bahwa beliau adalah penerima wasiat Rasul yang menyimpan rahasia yang tidak diketahui umat Islam.
Orang Sufi juga tidak jauh beda. Mereka paling getol menonjolkan keistimewaan imam mereka dari segi ini, yang biasa mereka sebut 'wali'. Makanya, banyak dari Anda, wahai anak-anak Sufi, mengimani pula bahwa Ali adalah pintu gerbang ilmu Nabi. Iya, toh? Masa bodoh lah dengan hadits yang diklaim maudlu oleh mayoritas ulama hadits. Mengimani dulu baru setelah dikritik, langsung mengorek-ngorek dalil dan bukti. Jika ternyata tidak ketemu pembuktian yang valid, kotoran pun bisa dijadikan barang bukti. Tentu saja, sebelum dijadikan barang bukti, kotoran harus diendus dulu agar aroma busuknya bisa diukur, atau diraba dulu apakah terlalu empuk sehingga gampang hancur, atau dijilat dulu agar ketahuan seberapa rasa di lidah terjulu . Bukankah begitu?
Syi’ah mengklaim bahwa hanya para imam yang mengetahui rahasia Al-Qur’an dan hakikat agama. Adapun awam Syi’ah yang bukan imam, dan bukan juga mullah, tidak sampai derajat atau maqamnya. Awam Syi’ah hanya tahu sebatas kulit atau zahir syariat saja. Adapun imam dan ulama Syi’ah, terkadang mereka diklaim memiliki Al-Qur’an khusus yang mereka sebut Al-Qur’an Fathimah.
11/12 dengan Sufi. Sufi mengklaim bahwa hanya mursyid mereka yang mengetahui rahasia Al-Qur’an dan hakikat agama. Adapun awam Sufi, baik ia dikatakan ‘murid’ ataupun mutlak awam, tidak memahami itu semua. Mengkenye, ada tingkatan ‘hakekat’ untuk orang-orang Sufi kelas tinggi, yang ngemengnya sudah melewati tingkat syariat yang basic itu. Mengkenye, kalau ada pelajar yang meskipun hafal banyak dari ayat dan hadits namun belum mengamalkan ritual tarekat khusus, bakal dibilang begini, “Wan, ilmu ente tu masih syareat. Ente belon kayak ane yang udah mencapai hakekat atau makrefat.” Halah. Emeng keseng seje!
Sebagian dari Syi’ah mengklaim bahwa Allah mengutus Muhammad dengan ‘tanziil’ (yakni: huruf-huruf Al-Qur’an) saja dan mengutus Ali dengan ‘ta’wiil’ (yakni: tafsiir). Berarti Ali lebih faham daripada Nabi Muhammad tentang Al-Qur’an? Ckck.
Ada miripnya dengan sebagian Sufi, terutama pemuja Abu Yazid Al-Busthamy. Ada dari mereka meyakini bahwa Rasulullah tidak mencapai martabat dan kondisi para sufi. Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu para sufi, seperti yang diocehkan oleh Al-Busthamy, “Kami menyelami lautan yang para nabi berhenti di pantainya.”
Makanya, banyak dari ulama Sufi yang sudah mencapai maqam tertentu, mengklaim diri sebagai ahli ‘kasyf’. Yang dimaksud ‘kasyf sufistik’ ini adalah ‘diangkatnya hijab (penutup/pembatas) di depan hati dan penglihatan seorang sufi, agar dapat mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi seluruhnya. Sebagian mengklaim Khidhir adalah penyampai semua itu. Pokoknya, dengan kasyf sufistik ini, mereka mengetahui lahir dan batin. Tapi, kalau bagi saya, mereka cuma sedang berdusta atau melawak saja. Mohon mangap lahir batin.
Makanya pula, hal terbesar yang dikumandangkan dan dibanggakan kaum sufi adalah baha mereka memiliki ilmu ‘laduni’ yang tidak diketahui siapapun kecuali mereka, dan tidak bisa dicapai kecuali oleh yang menelusuri jalan (tarekat) mereka. Kadang mereka mengaku menerima ta’wil ayat-ayat Al-Qur’an dari Allah, kadang dari malaikat, dan lain waktu dari ilham. Mungkin besok wahyu dan ilham itu datang melalui asap rokok. Wkwk.
Syi’ah ga kalah. Kenal dengan Al-Kulainy? Jika Anda tidak kenal, maka samalah kita. Saya juga ga kenal. Ga pernah kenalan. Tapi, kita kenal nama ‘Al-Kaafy’ karya si pendusta ini. Kitab Al-Kaafy adalah referensi paling sehat bagi kaum Syi’ah Rafidhah; namun isinya semuanya kecacatan; terutama dari segi sanad (rantai periwayatan). Dari Ja’far, dia berkata:
“Imam itu, jika ia menghendaki untuk tahu, maka ia pasti tahu.” [Al-Kaafy, 1/258] Di halaman yang sama dalam kitab yang sama, disebutkan bahwa para imam itu mengetahui kapan mereka akan mati. Dan mereka akan mati dengan pilihan mereka sendiri.
Yang paling jelek adalah kedustaan yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, bahwa beliau berkata: “ Aku telah diberi beberapa perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelum aku, hingga para Nabi. Aku mengetahui kematian, musibah, nasab, dan kata putus. Maka tidak lepas dariku apa yang mendahului aku dan tidak samar dariku apa yang ghaib bagiku.”
Bokis abis. Yang benar, seharusnya Syi’ah berkata begini: “Kami telah diberi beberapa perkara yang belum pernah diberikan kepada satu umat pun sebelum kami, hingga para Yahudi. Kami mengetahui kapan kami harus bermut’ah dan kapan selesainya, dan kami adalah kompilasi antara Yahudi, Nasrani dan Majusi, memakai jubah Islami. Belum ada umat sebelum kami yang punya prestasi Zindiqiyyah seperti kami. Inilah kami, Syi’ah Imamiyyah ala manhaj At-Taqiyyah, penganut paham neo-Syaithaniyyah.”
III
[2] [IMAMAH SYI’AH dan KEWALIAN SUFI]
Mirip. Keyakinan Syi’ah perihal imam mereka serupa dengan keyakinan Sufi perihal apa yang mereka sebut wali.
Bagi Syi’ah Rafidhah, para imam itu adalah manusia-manusia pilihan di sisi Allah untuk memimpin umat Islam setelah Rasul, memiliki ilmu-ilmu khusus, tidak pernah salah dan tidak tahu lupa. Bahkan, kadang mereka menjadikan imam sebagai tuhan. Al-Kuuraany pun menyatakan, “Mentauhidkan Allah adalah dengan berdoa memohon kepada Ali , kemudian Allah. Barangsiapa yang berdoa memohon kepada Allah tanpa menyebut Ali, maka ia telah berbuat syirik.” Kebalik, kan? Inilah dia salah satu bentuk mempertuhankan imam.
Bagi Sufi Khurafiyyah, para wali itu adalah manusia-manusia pilihan di sisi Allah untuk memimpin umat Islam setelah Rasul, memiliki ilmu-ilmu khusus, tidak pernah salah dan tidak tahu lupa. Bahkan, kadang mereka menjadikan imam sebagai tuhan. Makanya, anak-anak pengajian sufi dari dulu sampai sekarang dan jangan-jangan masih terus berlanjut, paling takjub dengan cerita-cerita khurafat tak masuk akal berkaitan dengan para wali. Wah wah. Bisa terbang lah. Bisa berjalan sangat cepat lah. Kecoa bisa terbang dan jika berjalan, cepat sekali.
At-Tsaiby dalam Ash-Shilah baina At-Tashawwuf wa At-Tasyayyu' mengatakan: "Tampaklah bahwa pengaruh Syi'ah atas Tasawwuf dalam memutlakkan gelar wali kepada seorang guru atau orang alim. Kelompok Rafidhah adalah yang pertama kali gunakan istilah wali kepada para imam mereka yang dimulai dari Ali bin Abi Thalib, kemudian imam-imam lain sesudahnya. Mereka menganggap bahwa para wali itu mempunyai ilmu laduni dan terjaga dari dosa. Lalu anggapan ini juga digunakan oleh orang-orang sufi. Mereka mengatakan bahwa para wali mendapatkan ilmu langsung dari Allah dan mereka terjaga (ma'shum) dari kesalahan." [2/10]
Tetapi ketika kita bertemu dengan Anda yang seorang Sufi tulen, bukan Sufi tumben, bukan Sufi beken dan bukan pula Sufi ngetren, jika kita katakan, "Anda telah menganggap wali Allah itu ma'shum!", pasti Anda akan menyangkal, "Kami tidak menganggap seperti itu!"
Dan Anda akan menggunakan istilah lain: "Mahfuuzh". Ya, para wali itu mahfuuzh, sedangkan Nabi lah yang "ma'shuum"!
Beda lafal, kosakata, huruf dan jumlahnya saja. Substansinya sama. Menggunakan istilah 'Mahfuuzh' untuk mengecoh saja. Mahfuuzh artinya: terjaga. Ma'shuum artinya: terjaga. Podo baek. Dua-duanya: TERJAGA (dari kesalahan).
Bahkan, para wali malah diyakini oleh banyak dari golongan Anda (Sufi) memiliki kelebihan, baik ritual, spiritual maupun habitual, yang tidak pernah teriwayatkan ada pada para Nabi. Para wali ada yang bisa terbang, misalnya. Maka, itu dianggap karamah. Jadinya, wali itu keramat. Wali tersebut hebat sekali, bisa terbang. Pasti ajiannya mantabs jaya. Secara spiritual, katanya wali bisa mengetahui batin muridnya. Keramat sekali. Dapat wahyu dan bisikan dari mana? Secara habitual atau ritual, katanya ada wali yang cukup duduk tertidur, bisa shalat Jum'at di Mekkah secara live on the ground.
Apakah para imam dan para wali lebih keramat dari para Nabi?
Tanyakan pada Ahli Khurafat: Syi'ah dan Sufi.
IV
[03] [KONSEP HULULIYYAH DAN WIHDATUL WUJUD] "Vol 1"
Dalam Al-Luma’, sebuah kitab yang Sufi bangeeeet, diceritakan bahwa Abu Yazid Al-Busthamy berkisah, “Suatu kali Allah mengangkatku dan mendirikanku di hadapan-Nya. Dia berfirman padaku, “Wahai Abu Yazid, sesungguhnya makhluk-Ku cinta melihatmu.” Lalu aku (Al-Busthamy) berkata, “Hiasilah diriku dengan keesaan-Mu, kenakanlah padaku ego-Mu, dan angkatlah aku kepada ketunggalan/keesaan-Mu! Sehingga, ketika makhluk-Mu melihatku, mereka berkata, “Kami melihat-Mu”. Sehingga Engkau ada di sana, dan tiada aku di sini.”
Di antara aliran Syi’ah Rafidhah, ada yang menilai bahwa Ruh Allah bersemayam dalam diri para imam, seperti yang dikatakan oleh Ismailiyyah dan Nashiriyyah. Aqidah ini sendiri dianut oleh kaum Sufi berkenaan dengan orang yang mereka sebut wali. Sebagaimana Syi’ah Rafidhah mencomot sifat-sifat ketuhanan untuk para imam, demikian pula kaum sufi mencomot sifat-sifat ketuhanan untuk para wali yang mereka percayai.
Pernah saya mendengar Syi’ah Rafidhah mengimani bahwa para imam Syi’ah itu terkandung di dalam diri mereka asmaa’ (nama-nama) Allah; sehingga mereka pun seolah bisa disifati sebagaimana sifat-sifat Allah. Contoh:
--> Allah adalah AR-RAHIIM, Maha Penyayang, maka sifat itu ada pada diri para imam, menurut mereka. Adapun ulama mereka saat ini memang sangat penyayang. Ya, penyayang pada istri-istri orang. Sekali naksir langsung lamar mut’ah semaunya.
--> Allah adalah AL-GHANIY, Maha Kaya, maka sifat itu ada pada diri imam, menurut mereka. Adapun ulama mereka saat ini memang sangat kaya, karena menarik ‘pajak’ khumus dari setiap pengikutnya. Benar-benar lintah.
Nah, sekarang bagaimana dengan nama-nama Allah berikut:
--> Allah adalah AL-MUTAKABBIR. Hanya Allah yang patut untuk takabbur; karena Dia-lah pemilik segala keagungan. Apakah imam-imam Syi’ah itu punya sifat takabbur? Ayo, jawablah, Syi’ah. Imam-imam kalian apakah sombong? Kalau ulama kalian memang somse (sombong sekali); secara tidak akan mau mengambil dalil.
--> Allah adalah ILAAH, Yang Berhak Disembah. Nah, sekarang, apakah imam-imam kalian memiliki sifat ‘berhak disembah’? Jawablah, wahai Syi’ah. Tapi, memang sebenarnya Anda menyembah imam-imam Anda, bukan? Anda mengagungkan kuburan mereka, bukan? Jikalau belum kesampaian, Anda berharap bisa pergi ke kuburan mereka untuk ‘menyembah’nya, bukan?
V
[03] [KONSEP HULULIYYAH DAN WIHDATUL WUJUD] "Vol 2"
Berawal dari konsep hulul (Inkarnasi), kaum Sufi menentukan tujuan tasaufnya untuk berserupa dengan sifat-sifat Allah menurut kepercayaan mereka. Sehingga, setiap sufi dari mereka menjadi tuhan yang mengetahui setiap sesuatu dan mengaturnya. Keadaan ini berlangsung pada mereka hingga pada akhirnya mereka sampai pada paham wihdatul wujud. Ia adalah paham yang menyatakan bahwa sesungguhnya setiap sesuatu adalah Allah! Dan Allah adalah yang ada di alam wujud seorang diri, yang tiada sesuatu lain bersamanya.
Keyakinan tercela semacam ini selalu saja diklaim ‘hanya dimengerti oleh orang tertentu yang telah mencapai maqam puncak ajaran sufistik’. Cuih. Jeleknya, mereka selalu saja tidak mengungkapkannya kecuali dengan ungkapan-ungkapan samar yang tidak dapat dipahami orang berakal, kecuali orang yang mengikuti titian mereka.
Konsep yang dahulu pada zamannya dipropagandakan oleh Al-Hallaj dan Ibnu Araby ini pun merasuk ke Indonesia. Orang-orang inilah yang dahulu berjasa menyebarkan paham ihdatul Wujud:
==> HAMZAH FANSURI, salah satu tokoh sufi penting di Nusantara yang hidup pada abad ke-16 Masehi. Diklaim sebagai pembawa doktrin Wujudiyyah. Terpengaruh besar oleh para sufi Persia, seperti Al-Busthamy, Al-Hallaj, Fariduddin Aththar, Al-Junaid, Ibn Araby, dan Jalaluddin Rumi. Salah satu bagian syairnya:
Tuhan kita tiada bermakan
Zahir-Nya nyata dengan rupa insan
Man arafa nafsahu suatu burhan
Faqad Arafa Rabbahu terlalu bayan
Terinspirasi dari hadits palsu: “Man Arafa Nafsahu faqad Arafa Rabbahu” (Barangsiapa yang mengenal dirinya, niscaya ia akan kenal Rabb-nya). Buka:
azizahrempong.blogspot.com/search?q=hadits-palsu-populer-005-siapa-kenal
==> SYAMSYUDDIN AS-SUMATRANY, merupakan tokoh penting setelah masa Hamzah Fansuri. Dalam salah satu risalahnya, dia berkata:
“Segala sesuatu tidaklah berwujud kecuali dengan Dia karena semuanya itu hanya berwujud dengan Allah. Dan Allah membuat segala sesuatu itu berdiri tegak atau berwujud. Segala sesuatu (dari alam) pada esensinya adalah fana (tidak ada), tapi berwujud dengan Tuhan. Tuhan berwujud dengan zat-Nya sendiri. Dialah tegaknya segala sesuatu, maka Dia adalah penegak segala sesuatu.”
Ada tokoh lain sebenarnya, seperti Syaikh Al-Mutamakkin. Namun, dua tokoh di atas lebih masyhur.
Ada juga satu tokoh yang justru sebenarnya paling masyhur, yaitu Syaikh Siti Jenar, atau seringkali dikenal sebagai Syaikh Lemahabang. Namun, sebenarnya, cerita tentang Syaikh ini penuh distorsi dan tak ada satu pun warisan kuno yang secara absolut, meyakinkan dan tak tersangkalkan menjabarkan kenyataan sebenarnya tentang jati dirinya. Apakah dia ini memang penganut paham Wihdatul Wujud, sebagaimana yang selama ini diyakini banyak orang? Justru buramnya literatur mengenai orang ini, tidak menegaskan hal itu. Meskipun masyhurnya dia dihukum mati oleh beberapa dari Wali Songo disebabkan ajaran sesatnya yang menular banyak ke manusia. Tapi, ini tidak bisa dipastikan benarnya. Semua cerita tentang Syaikh Siti Jenar sebenarnya simpang siur. Kemasyhuran cerita Syaikh Siti Jenar dimanfaatkan oleh para pemilik syahwat perut dan kemaluan berkedok kewalian dan keturunan suci saat ini. Dimanfaatkan pula oleh antek-antek liberal; karena konsep liberalisme telanjang yang mereka pesonakan beberapa tahun silam sudah mulai menjenuhkan dan basi. Kini mereka sedang ingin menggunakan gaun kewalian, merangkul ormas yang konon cuma satu-satunya golongan Ahlus Sunnah di negeri ini dan paling punya wali. Aaargh!
Penulis: Hasan Al Jaizy
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
[Risalah Jaiziyyah: “Percumbuan Antara SYI’AH dan SUFI”]
I
[MUQADDIMAH]
Risalah ini saya tujukan untuk Anda, orang yang terlanjur ikut Syi’ah atau Sufi. Sebagai seorang Syi’ah atau Sufi, tentu saja Anda tidak berkenan dengan judul status di atas. Anda akan berkata, “Judulnya sangat lebay dan hiperbola.” Tidak usah berkata begitu. Coba tengok golongan Anda yang sesat itu. Syi’ah dan Sufi itu isinya cetar melebai-lebai. Selain itu, banyak kedustaan yang penganutnya sudah tahu itu dusta, namun karena syahwat perut dan syahwat kemaluan lebih ditonjolkan, maka kedustaan bisa dikompromikan, asal perut kekenyangan (setelah haulan) atau kemaluan terpuaskan (setelah mut’ahan).
Kalau bukan bergelimang dusta, bukan Syi’ah namanya. Juga Sufi mempunyai karakter berdusta. Semua dari mereka mudah menelan kabar dusta, entah berupa hadits maudlu’ yang secara sanad tak bisa dipertanggungjawabkan, maupun berupa cerita-cerita khurafat yang secara nalar tak bisa dinalarkan. Bukan yang termaksud dari Syi’ah di sini: Syi’ah Zaidiyyah (selama ia bukan Hautsiy berkedok Zaidiyyah padahal intinya berkiblat pada Itsna Asyariyyah). Bukan yang termaksud dari Sufi di sini: Sufi non-ekstrim yang hanya mempelajari akhlak tasawuf saja tanpa menyentuh ranah aqidah atau inovasi dalam ibadah.
Saya tertarik untuk menjabarkan sedikit tentang kesamaan antara Syi’ah dan Sufi. Terima atau tidak terima, itu urusan Anda. Tetapi sebaiknya Anda terima saja, wahai penganut Syi’ah atau penganut Sufi. Daripada Anda tambah repot. Anda ini sudah repot-repot memeluk agama sesat, jadi jangan merasa direpotkan dengan tulisan saya. Oke, kita mulai persamaan kalian berdua:
II
[1] [KLAIM ILMU KHUSUS]
Orang Syi’ah paling getol membicarakan keistimewaan imam mereka dari segi kepemilikan ilmu-ilmu khusus yang tidak diberikan kepada umat manusia pada umumnya, baik muslim maupun kafirnya. Mereka akan menisbatkan ilmu khusus ini pada Ali bin Abi Thalib, berdasarkan hadits yang dianggap palsu oleh mayoritas ulama hadits, yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam- adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Jadi, Ali –radhiyallahu anh- memiliki rahasia-rahasia agama. Diklaim oleh Syi’ah bahwa beliau adalah penerima wasiat Rasul yang menyimpan rahasia yang tidak diketahui umat Islam.
Orang Sufi juga tidak jauh beda. Mereka paling getol menonjolkan keistimewaan imam mereka dari segi ini, yang biasa mereka sebut 'wali'. Makanya, banyak dari Anda, wahai anak-anak Sufi, mengimani pula bahwa Ali adalah pintu gerbang ilmu Nabi. Iya, toh? Masa bodoh lah dengan hadits yang diklaim maudlu oleh mayoritas ulama hadits. Mengimani dulu baru setelah dikritik, langsung mengorek-ngorek dalil dan bukti. Jika ternyata tidak ketemu pembuktian yang valid, kotoran pun bisa dijadikan barang bukti. Tentu saja, sebelum dijadikan barang bukti, kotoran harus diendus dulu agar aroma busuknya bisa diukur, atau diraba dulu apakah terlalu empuk sehingga gampang hancur, atau dijilat dulu agar ketahuan seberapa rasa di lidah terjulu . Bukankah begitu?
Syi’ah mengklaim bahwa hanya para imam yang mengetahui rahasia Al-Qur’an dan hakikat agama. Adapun awam Syi’ah yang bukan imam, dan bukan juga mullah, tidak sampai derajat atau maqamnya. Awam Syi’ah hanya tahu sebatas kulit atau zahir syariat saja. Adapun imam dan ulama Syi’ah, terkadang mereka diklaim memiliki Al-Qur’an khusus yang mereka sebut Al-Qur’an Fathimah.
11/12 dengan Sufi. Sufi mengklaim bahwa hanya mursyid mereka yang mengetahui rahasia Al-Qur’an dan hakikat agama. Adapun awam Sufi, baik ia dikatakan ‘murid’ ataupun mutlak awam, tidak memahami itu semua. Mengkenye, ada tingkatan ‘hakekat’ untuk orang-orang Sufi kelas tinggi, yang ngemengnya sudah melewati tingkat syariat yang basic itu. Mengkenye, kalau ada pelajar yang meskipun hafal banyak dari ayat dan hadits namun belum mengamalkan ritual tarekat khusus, bakal dibilang begini, “Wan, ilmu ente tu masih syareat. Ente belon kayak ane yang udah mencapai hakekat atau makrefat.” Halah. Emeng keseng seje!
Sebagian dari Syi’ah mengklaim bahwa Allah mengutus Muhammad dengan ‘tanziil’ (yakni: huruf-huruf Al-Qur’an) saja dan mengutus Ali dengan ‘ta’wiil’ (yakni: tafsiir). Berarti Ali lebih faham daripada Nabi Muhammad tentang Al-Qur’an? Ckck.
Ada miripnya dengan sebagian Sufi, terutama pemuja Abu Yazid Al-Busthamy. Ada dari mereka meyakini bahwa Rasulullah tidak mencapai martabat dan kondisi para sufi. Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu para sufi, seperti yang diocehkan oleh Al-Busthamy, “Kami menyelami lautan yang para nabi berhenti di pantainya.”
Makanya, banyak dari ulama Sufi yang sudah mencapai maqam tertentu, mengklaim diri sebagai ahli ‘kasyf’. Yang dimaksud ‘kasyf sufistik’ ini adalah ‘diangkatnya hijab (penutup/pembatas) di depan hati dan penglihatan seorang sufi, agar dapat mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi seluruhnya. Sebagian mengklaim Khidhir adalah penyampai semua itu. Pokoknya, dengan kasyf sufistik ini, mereka mengetahui lahir dan batin. Tapi, kalau bagi saya, mereka cuma sedang berdusta atau melawak saja. Mohon mangap lahir batin.
Makanya pula, hal terbesar yang dikumandangkan dan dibanggakan kaum sufi adalah baha mereka memiliki ilmu ‘laduni’ yang tidak diketahui siapapun kecuali mereka, dan tidak bisa dicapai kecuali oleh yang menelusuri jalan (tarekat) mereka. Kadang mereka mengaku menerima ta’wil ayat-ayat Al-Qur’an dari Allah, kadang dari malaikat, dan lain waktu dari ilham. Mungkin besok wahyu dan ilham itu datang melalui asap rokok. Wkwk.
Syi’ah ga kalah. Kenal dengan Al-Kulainy? Jika Anda tidak kenal, maka samalah kita. Saya juga ga kenal. Ga pernah kenalan. Tapi, kita kenal nama ‘Al-Kaafy’ karya si pendusta ini. Kitab Al-Kaafy adalah referensi paling sehat bagi kaum Syi’ah Rafidhah; namun isinya semuanya kecacatan; terutama dari segi sanad (rantai periwayatan). Dari Ja’far, dia berkata:
“Imam itu, jika ia menghendaki untuk tahu, maka ia pasti tahu.” [Al-Kaafy, 1/258] Di halaman yang sama dalam kitab yang sama, disebutkan bahwa para imam itu mengetahui kapan mereka akan mati. Dan mereka akan mati dengan pilihan mereka sendiri.
Yang paling jelek adalah kedustaan yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, bahwa beliau berkata: “ Aku telah diberi beberapa perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelum aku, hingga para Nabi. Aku mengetahui kematian, musibah, nasab, dan kata putus. Maka tidak lepas dariku apa yang mendahului aku dan tidak samar dariku apa yang ghaib bagiku.”
Bokis abis. Yang benar, seharusnya Syi’ah berkata begini: “Kami telah diberi beberapa perkara yang belum pernah diberikan kepada satu umat pun sebelum kami, hingga para Yahudi. Kami mengetahui kapan kami harus bermut’ah dan kapan selesainya, dan kami adalah kompilasi antara Yahudi, Nasrani dan Majusi, memakai jubah Islami. Belum ada umat sebelum kami yang punya prestasi Zindiqiyyah seperti kami. Inilah kami, Syi’ah Imamiyyah ala manhaj At-Taqiyyah, penganut paham neo-Syaithaniyyah.”
III
[2] [IMAMAH SYI’AH dan KEWALIAN SUFI]
Mirip. Keyakinan Syi’ah perihal imam mereka serupa dengan keyakinan Sufi perihal apa yang mereka sebut wali.
Bagi Syi’ah Rafidhah, para imam itu adalah manusia-manusia pilihan di sisi Allah untuk memimpin umat Islam setelah Rasul, memiliki ilmu-ilmu khusus, tidak pernah salah dan tidak tahu lupa. Bahkan, kadang mereka menjadikan imam sebagai tuhan. Al-Kuuraany pun menyatakan, “Mentauhidkan Allah adalah dengan berdoa memohon kepada Ali , kemudian Allah. Barangsiapa yang berdoa memohon kepada Allah tanpa menyebut Ali, maka ia telah berbuat syirik.” Kebalik, kan? Inilah dia salah satu bentuk mempertuhankan imam.
Bagi Sufi Khurafiyyah, para wali itu adalah manusia-manusia pilihan di sisi Allah untuk memimpin umat Islam setelah Rasul, memiliki ilmu-ilmu khusus, tidak pernah salah dan tidak tahu lupa. Bahkan, kadang mereka menjadikan imam sebagai tuhan. Makanya, anak-anak pengajian sufi dari dulu sampai sekarang dan jangan-jangan masih terus berlanjut, paling takjub dengan cerita-cerita khurafat tak masuk akal berkaitan dengan para wali. Wah wah. Bisa terbang lah. Bisa berjalan sangat cepat lah. Kecoa bisa terbang dan jika berjalan, cepat sekali.
At-Tsaiby dalam Ash-Shilah baina At-Tashawwuf wa At-Tasyayyu' mengatakan: "Tampaklah bahwa pengaruh Syi'ah atas Tasawwuf dalam memutlakkan gelar wali kepada seorang guru atau orang alim. Kelompok Rafidhah adalah yang pertama kali gunakan istilah wali kepada para imam mereka yang dimulai dari Ali bin Abi Thalib, kemudian imam-imam lain sesudahnya. Mereka menganggap bahwa para wali itu mempunyai ilmu laduni dan terjaga dari dosa. Lalu anggapan ini juga digunakan oleh orang-orang sufi. Mereka mengatakan bahwa para wali mendapatkan ilmu langsung dari Allah dan mereka terjaga (ma'shum) dari kesalahan." [2/10]
Tetapi ketika kita bertemu dengan Anda yang seorang Sufi tulen, bukan Sufi tumben, bukan Sufi beken dan bukan pula Sufi ngetren, jika kita katakan, "Anda telah menganggap wali Allah itu ma'shum!", pasti Anda akan menyangkal, "Kami tidak menganggap seperti itu!"
Dan Anda akan menggunakan istilah lain: "Mahfuuzh". Ya, para wali itu mahfuuzh, sedangkan Nabi lah yang "ma'shuum"!
Beda lafal, kosakata, huruf dan jumlahnya saja. Substansinya sama. Menggunakan istilah 'Mahfuuzh' untuk mengecoh saja. Mahfuuzh artinya: terjaga. Ma'shuum artinya: terjaga. Podo baek. Dua-duanya: TERJAGA (dari kesalahan).
Bahkan, para wali malah diyakini oleh banyak dari golongan Anda (Sufi) memiliki kelebihan, baik ritual, spiritual maupun habitual, yang tidak pernah teriwayatkan ada pada para Nabi. Para wali ada yang bisa terbang, misalnya. Maka, itu dianggap karamah. Jadinya, wali itu keramat. Wali tersebut hebat sekali, bisa terbang. Pasti ajiannya mantabs jaya. Secara spiritual, katanya wali bisa mengetahui batin muridnya. Keramat sekali. Dapat wahyu dan bisikan dari mana? Secara habitual atau ritual, katanya ada wali yang cukup duduk tertidur, bisa shalat Jum'at di Mekkah secara live on the ground.
Apakah para imam dan para wali lebih keramat dari para Nabi?
Tanyakan pada Ahli Khurafat: Syi'ah dan Sufi.
IV
[03] [KONSEP HULULIYYAH DAN WIHDATUL WUJUD] "Vol 1"
Dalam Al-Luma’, sebuah kitab yang Sufi bangeeeet, diceritakan bahwa Abu Yazid Al-Busthamy berkisah, “Suatu kali Allah mengangkatku dan mendirikanku di hadapan-Nya. Dia berfirman padaku, “Wahai Abu Yazid, sesungguhnya makhluk-Ku cinta melihatmu.” Lalu aku (Al-Busthamy) berkata, “Hiasilah diriku dengan keesaan-Mu, kenakanlah padaku ego-Mu, dan angkatlah aku kepada ketunggalan/keesaan-Mu! Sehingga, ketika makhluk-Mu melihatku, mereka berkata, “Kami melihat-Mu”. Sehingga Engkau ada di sana, dan tiada aku di sini.”
Di antara aliran Syi’ah Rafidhah, ada yang menilai bahwa Ruh Allah bersemayam dalam diri para imam, seperti yang dikatakan oleh Ismailiyyah dan Nashiriyyah. Aqidah ini sendiri dianut oleh kaum Sufi berkenaan dengan orang yang mereka sebut wali. Sebagaimana Syi’ah Rafidhah mencomot sifat-sifat ketuhanan untuk para imam, demikian pula kaum sufi mencomot sifat-sifat ketuhanan untuk para wali yang mereka percayai.
Pernah saya mendengar Syi’ah Rafidhah mengimani bahwa para imam Syi’ah itu terkandung di dalam diri mereka asmaa’ (nama-nama) Allah; sehingga mereka pun seolah bisa disifati sebagaimana sifat-sifat Allah. Contoh:
--> Allah adalah AR-RAHIIM, Maha Penyayang, maka sifat itu ada pada diri para imam, menurut mereka. Adapun ulama mereka saat ini memang sangat penyayang. Ya, penyayang pada istri-istri orang. Sekali naksir langsung lamar mut’ah semaunya.
--> Allah adalah AL-GHANIY, Maha Kaya, maka sifat itu ada pada diri imam, menurut mereka. Adapun ulama mereka saat ini memang sangat kaya, karena menarik ‘pajak’ khumus dari setiap pengikutnya. Benar-benar lintah.
Nah, sekarang bagaimana dengan nama-nama Allah berikut:
--> Allah adalah AL-MUTAKABBIR. Hanya Allah yang patut untuk takabbur; karena Dia-lah pemilik segala keagungan. Apakah imam-imam Syi’ah itu punya sifat takabbur? Ayo, jawablah, Syi’ah. Imam-imam kalian apakah sombong? Kalau ulama kalian memang somse (sombong sekali); secara tidak akan mau mengambil dalil.
--> Allah adalah ILAAH, Yang Berhak Disembah. Nah, sekarang, apakah imam-imam kalian memiliki sifat ‘berhak disembah’? Jawablah, wahai Syi’ah. Tapi, memang sebenarnya Anda menyembah imam-imam Anda, bukan? Anda mengagungkan kuburan mereka, bukan? Jikalau belum kesampaian, Anda berharap bisa pergi ke kuburan mereka untuk ‘menyembah’nya, bukan?
V
[03] [KONSEP HULULIYYAH DAN WIHDATUL WUJUD] "Vol 2"
Berawal dari konsep hulul (Inkarnasi), kaum Sufi menentukan tujuan tasaufnya untuk berserupa dengan sifat-sifat Allah menurut kepercayaan mereka. Sehingga, setiap sufi dari mereka menjadi tuhan yang mengetahui setiap sesuatu dan mengaturnya. Keadaan ini berlangsung pada mereka hingga pada akhirnya mereka sampai pada paham wihdatul wujud. Ia adalah paham yang menyatakan bahwa sesungguhnya setiap sesuatu adalah Allah! Dan Allah adalah yang ada di alam wujud seorang diri, yang tiada sesuatu lain bersamanya.
Keyakinan tercela semacam ini selalu saja diklaim ‘hanya dimengerti oleh orang tertentu yang telah mencapai maqam puncak ajaran sufistik’. Cuih. Jeleknya, mereka selalu saja tidak mengungkapkannya kecuali dengan ungkapan-ungkapan samar yang tidak dapat dipahami orang berakal, kecuali orang yang mengikuti titian mereka.
Konsep yang dahulu pada zamannya dipropagandakan oleh Al-Hallaj dan Ibnu Araby ini pun merasuk ke Indonesia. Orang-orang inilah yang dahulu berjasa menyebarkan paham ihdatul Wujud:
==> HAMZAH FANSURI, salah satu tokoh sufi penting di Nusantara yang hidup pada abad ke-16 Masehi. Diklaim sebagai pembawa doktrin Wujudiyyah. Terpengaruh besar oleh para sufi Persia, seperti Al-Busthamy, Al-Hallaj, Fariduddin Aththar, Al-Junaid, Ibn Araby, dan Jalaluddin Rumi. Salah satu bagian syairnya:
Tuhan kita tiada bermakan
Zahir-Nya nyata dengan rupa insan
Man arafa nafsahu suatu burhan
Faqad Arafa Rabbahu terlalu bayan
Terinspirasi dari hadits palsu: “Man Arafa Nafsahu faqad Arafa Rabbahu” (Barangsiapa yang mengenal dirinya, niscaya ia akan kenal Rabb-nya). Buka:
azizahrempong.blogspot.com/search?q=hadits-palsu-populer-005-siapa-kenal
==> SYAMSYUDDIN AS-SUMATRANY, merupakan tokoh penting setelah masa Hamzah Fansuri. Dalam salah satu risalahnya, dia berkata:
“Segala sesuatu tidaklah berwujud kecuali dengan Dia karena semuanya itu hanya berwujud dengan Allah. Dan Allah membuat segala sesuatu itu berdiri tegak atau berwujud. Segala sesuatu (dari alam) pada esensinya adalah fana (tidak ada), tapi berwujud dengan Tuhan. Tuhan berwujud dengan zat-Nya sendiri. Dialah tegaknya segala sesuatu, maka Dia adalah penegak segala sesuatu.”
Ada tokoh lain sebenarnya, seperti Syaikh Al-Mutamakkin. Namun, dua tokoh di atas lebih masyhur.
Ada juga satu tokoh yang justru sebenarnya paling masyhur, yaitu Syaikh Siti Jenar, atau seringkali dikenal sebagai Syaikh Lemahabang. Namun, sebenarnya, cerita tentang Syaikh ini penuh distorsi dan tak ada satu pun warisan kuno yang secara absolut, meyakinkan dan tak tersangkalkan menjabarkan kenyataan sebenarnya tentang jati dirinya. Apakah dia ini memang penganut paham Wihdatul Wujud, sebagaimana yang selama ini diyakini banyak orang? Justru buramnya literatur mengenai orang ini, tidak menegaskan hal itu. Meskipun masyhurnya dia dihukum mati oleh beberapa dari Wali Songo disebabkan ajaran sesatnya yang menular banyak ke manusia. Tapi, ini tidak bisa dipastikan benarnya. Semua cerita tentang Syaikh Siti Jenar sebenarnya simpang siur. Kemasyhuran cerita Syaikh Siti Jenar dimanfaatkan oleh para pemilik syahwat perut dan kemaluan berkedok kewalian dan keturunan suci saat ini. Dimanfaatkan pula oleh antek-antek liberal; karena konsep liberalisme telanjang yang mereka pesonakan beberapa tahun silam sudah mulai menjenuhkan dan basi. Kini mereka sedang ingin menggunakan gaun kewalian, merangkul ormas yang konon cuma satu-satunya golongan Ahlus Sunnah di negeri ini dan paling punya wali. Aaargh!
Penulis: Hasan Al Jaizy
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: