Yaman yang kini menjadi negara miskin, tetap berada dalam keadaan kacau sejak tahun 2014, ketika milisi Syiah Houthi dan sekutunya menguasai ibukota Sanaa dan bagian-bagian lain negara ini.
Syiahindonesia.com - Sebuah laporan menyebutkan bahwa koalisi yang dipimpin Arab Saudi dan Uni Emirat Arab membunuh lebih dari 200 orang, termasuk perempuan dan anak-anak, menggunakan senjata produksi AS dan Inggris di Yaman.
Laporan dengan judul, “Hari Pengadilan: Peran AS dan Eropa dalam Kematian Warga Sipil, Kehancuran dan Trauma di Yaman” dibuat oleh Jaringan Universitas untuk Hak Asasi Manusia dan grup Hak Asasi Manusia Yaman, Mwatana.
Laporan setebal 128 halaman menyebutkan 27 serangan terhadap warga sipil dilakukan oleh koalisi antara April 2015 dan April 2018.
“Serangan udara sebanyak 27 kali ini menewaskan sekurang-kurangnya 203 orang dan melukai 749. Sekurang-kurangnya 122 anak-anak dan 56 wanita tewas dan terluka,” ujar laporan.
“Banyak serangan udara dilancarkan jauh dari target militer. Merugikan banyak warga sipil,” ungkap laporan tersebut, sementara itu dalam laporan tersebut pasukan koalisi dinilai tidak melakukan tindakan pencegahan untuk mengurangi kerugian terhadap warga sipil.
Menurut laporan, amunisi, termasuk bom produksi AS, telah digunakan dalam 25 serangan dan munisi produksi Inggris, termasuk Paveway IV dan bom “Hakim”, digunakan dalam lima serangan.
Laporan itu menyebutkan, 16 serangan yang dilancarkan termasuk terhadap pertemuan warga sipil, rumah-rumah dan kapal; lima serangan kepada fasilitas pendidikan dan kesehatan; lima serangan kepada tempat bisnis, dan satu serangan kepada pusat kebudayaan milik pemerintah.
“Kasus-kasus ini menguatkan bukti sebelumnya bahwa koalisi yang dipimpin Arab Saudi/UEA gagal memenuhi kewajibannya menggunakan hukum perang dengan baik dan berulang kali menggunakan senjata produksi AS yang menyebabkan serangannya tidak proporsional dan membabi-buta,” ujar laporan Mwatana.
Laporan itu dikeluarkan beberapa pekan setelah DPR AS meloloskan dasar hukum yang mengharuskan Presiden Donald Trump untuk menghentikan bantuan AS untuk koalisi pimpinan Arab Saud pada perang di Yaman.
Pada Februari, semua pihak dari House of Lords menyimpulkan sebuah laporan bahwa penjualan senjata pemerintah Inggris ke Arab Saudi adalah pelanggaran hukum.
Konflik Yaman telah menimbulkan krisis kemanusiaan di negara yang berpenduduk 28 juta jiwa itu, 8,4 juta orang diantaranya diyakini berada di ambang kelaparan dan 22 juta sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Konflik telah menghancurkan banyak infrastruktur Yaman, termasuk sistem air dan sanitasi, sehingga PBB menyebut situasi di sana sebagai salah satu “bencana kemanusiaan terburuk di zaman modern”.
Yaman yang kini menjadi negara miskin, tetap berada dalam keadaan kacau sejak tahun 2014, ketika milisi Syiah Houthi dan sekutunya menguasai ibukota Sanaa dan bagian-bagian lain negara ini.
Sejak Maret 2015, koalisi internasional yang dipimpin Saudi telah memerangi pemberontak Syiah Houthi yang disokong rezim Iran dan pasukan-pasukan yang setia kepada mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Arab Saudi dan sekutu-sekutu negara Muslim Sunni meluncurkan kampanye militer besar-besaran yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan yang diakui secara internasional dibawah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Arab Saudi dan para sekutunya melihat milisi Houthi sebagai proxy kekuatan Iran di dunia Arab. Koalisi militer Arab yang dipimpin oleh Saudi di Yaman terdiri dari Koalisi 10 negara yakni Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Yordania, Mesir, Maroko, Sudan, dan Pakistan.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia telah menuding Kerajaan Saudi terlibat kejahatan perang sebagai akibat dari kampanye pengebomannya yang dapat dianggap sembarangan dan menyebabkan kerusakan berlebihan pada negara tersebut termasuk jumlah korban tewas yang cukup tinggi.
Menurut pejabat PBB, lebih dari 10.000 warga Yaman telah tewas akibat konflik berkepanjangan ini, sementara itu lebih dari 11 persen dari jumlah penduduk negara itu terpaksa mengungsi, sebagai akibat langsung dari pertempuran yang tak kunjung usai. Untuk diketahui, lebih dari setengah total korban adalah warga sipil. sementara 3 juta lainnya diperkirakan terpaksa mengungsi, di tengah penyebaran malnutrisi dan penyakit. Panjimas.com
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Syiahindonesia.com - Sebuah laporan menyebutkan bahwa koalisi yang dipimpin Arab Saudi dan Uni Emirat Arab membunuh lebih dari 200 orang, termasuk perempuan dan anak-anak, menggunakan senjata produksi AS dan Inggris di Yaman.
Laporan dengan judul, “Hari Pengadilan: Peran AS dan Eropa dalam Kematian Warga Sipil, Kehancuran dan Trauma di Yaman” dibuat oleh Jaringan Universitas untuk Hak Asasi Manusia dan grup Hak Asasi Manusia Yaman, Mwatana.
Laporan setebal 128 halaman menyebutkan 27 serangan terhadap warga sipil dilakukan oleh koalisi antara April 2015 dan April 2018.
“Serangan udara sebanyak 27 kali ini menewaskan sekurang-kurangnya 203 orang dan melukai 749. Sekurang-kurangnya 122 anak-anak dan 56 wanita tewas dan terluka,” ujar laporan.
“Banyak serangan udara dilancarkan jauh dari target militer. Merugikan banyak warga sipil,” ungkap laporan tersebut, sementara itu dalam laporan tersebut pasukan koalisi dinilai tidak melakukan tindakan pencegahan untuk mengurangi kerugian terhadap warga sipil.
Menurut laporan, amunisi, termasuk bom produksi AS, telah digunakan dalam 25 serangan dan munisi produksi Inggris, termasuk Paveway IV dan bom “Hakim”, digunakan dalam lima serangan.
Laporan itu menyebutkan, 16 serangan yang dilancarkan termasuk terhadap pertemuan warga sipil, rumah-rumah dan kapal; lima serangan kepada fasilitas pendidikan dan kesehatan; lima serangan kepada tempat bisnis, dan satu serangan kepada pusat kebudayaan milik pemerintah.
“Kasus-kasus ini menguatkan bukti sebelumnya bahwa koalisi yang dipimpin Arab Saudi/UEA gagal memenuhi kewajibannya menggunakan hukum perang dengan baik dan berulang kali menggunakan senjata produksi AS yang menyebabkan serangannya tidak proporsional dan membabi-buta,” ujar laporan Mwatana.
Laporan itu dikeluarkan beberapa pekan setelah DPR AS meloloskan dasar hukum yang mengharuskan Presiden Donald Trump untuk menghentikan bantuan AS untuk koalisi pimpinan Arab Saud pada perang di Yaman.
Pada Februari, semua pihak dari House of Lords menyimpulkan sebuah laporan bahwa penjualan senjata pemerintah Inggris ke Arab Saudi adalah pelanggaran hukum.
Konflik Yaman telah menimbulkan krisis kemanusiaan di negara yang berpenduduk 28 juta jiwa itu, 8,4 juta orang diantaranya diyakini berada di ambang kelaparan dan 22 juta sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Konflik telah menghancurkan banyak infrastruktur Yaman, termasuk sistem air dan sanitasi, sehingga PBB menyebut situasi di sana sebagai salah satu “bencana kemanusiaan terburuk di zaman modern”.
Yaman yang kini menjadi negara miskin, tetap berada dalam keadaan kacau sejak tahun 2014, ketika milisi Syiah Houthi dan sekutunya menguasai ibukota Sanaa dan bagian-bagian lain negara ini.
Sejak Maret 2015, koalisi internasional yang dipimpin Saudi telah memerangi pemberontak Syiah Houthi yang disokong rezim Iran dan pasukan-pasukan yang setia kepada mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Arab Saudi dan sekutu-sekutu negara Muslim Sunni meluncurkan kampanye militer besar-besaran yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan yang diakui secara internasional dibawah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Arab Saudi dan para sekutunya melihat milisi Houthi sebagai proxy kekuatan Iran di dunia Arab. Koalisi militer Arab yang dipimpin oleh Saudi di Yaman terdiri dari Koalisi 10 negara yakni Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Yordania, Mesir, Maroko, Sudan, dan Pakistan.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia telah menuding Kerajaan Saudi terlibat kejahatan perang sebagai akibat dari kampanye pengebomannya yang dapat dianggap sembarangan dan menyebabkan kerusakan berlebihan pada negara tersebut termasuk jumlah korban tewas yang cukup tinggi.
Menurut pejabat PBB, lebih dari 10.000 warga Yaman telah tewas akibat konflik berkepanjangan ini, sementara itu lebih dari 11 persen dari jumlah penduduk negara itu terpaksa mengungsi, sebagai akibat langsung dari pertempuran yang tak kunjung usai. Untuk diketahui, lebih dari setengah total korban adalah warga sipil. sementara 3 juta lainnya diperkirakan terpaksa mengungsi, di tengah penyebaran malnutrisi dan penyakit. Panjimas.com
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: