Syiahindonesia.com - Pemberontak Syiah Houthi dan perwakilan pemerintah Yaman tidak bertemu muka langsung di kota pelabuhan Hodeidah selama sepekan terakhir kendati ada rencana upaya perdamaian yang belum lama ini dilakukan, kata juru bicara PBB Stephane Dujarric pada hari Senin (14/1/2019).
Patrick Cammaert dari PBB dipaksa untuk “antar-jemput (bolak-balik)” antara pihak pemberontak dan pemerintah, yang telah dua kali bertemu langsung di bawah Komite Koordinasi Penempatan Kembali (the Redeployment Coordination Committee-RDC) sebelum pembicaraan langsung itu gagal, kata PBB.
Penolakan mereka untuk duduk bersama menyoroti kesulitan dalam mengimplementasikan kesepakatan yang dicapai antara pemerintah dan pemberontak pada 13 Desember di Rimbo, Swedia dengan diperantarai PBB.
Dujarric mengatakan bahwa pertemuan yang digawangi Cammaert bertujuan menemukan “cara yang dapat diterima kedua belah pihak untuk menempatkan pasukan di tiga pelabuhan dan bagian-bagian penting kota yang terkait dengan fasilitas kemanusiaan”.
3 Tahun Perang di Yaman, Akhirnya Syiah Houthi dan Arab Saudi Ingin Perundingan Damai
Di bawah ketentuan kesepakatan Rimbo, Houthi diharapkan menyerahkan kendali atas pelabuhan Hodeidah, Saleef dan Ras Isa kepada pasukan keamanan lokal dalam hubungan dengan Cammaert dan utusan dari pemerintah yang didukung Saudi. Namun, kedua belah pihak tidak setuju atas kata-kata dalam perjanjian.
Gencatan senjata di Hodeidah sebagian besar macet, dan masing-masing pihak menuduh pihak lain melanggar gencatan senjata. Tembakan rudal dan tembakan senapan otomatis terjadi hampir setiap hari dan didengar oleh ribuan warga sipil yang masih tinggal di kota itu.
Di tempat lain di Yaman, Houthi yang berpihak kepada Iran mengancam untuk melanjutkan serangan drone mereka, setelah serangan mematikan pekan lalu ke arah parade militer pemerintah Yaman, memicu ketegangan antara pihak-pihak yang bertikai di tengah upaya perdamaian PBB yang memang goyah.
Menurut Dujarric, pembicaraan Hodeidah menghadapi kemunduran dan tidak dapat disebut “lancar”, tetapi ia mencatat masih ada harapan untuk membuka kembali rute transit vital kota pelabuhan Laut Merah untuk bala bantuan dan pasokan lainnya.
“Walaupun jadwal yang diproyeksikan telah rusak, diskusi baru-baru ini konstruktif,” kata Dujarric kepada wartawan di New York.
Cammaert “terus mendorong para pihak untuk melanjutkan kembali pertemuan bersama guna menyelesaikan rencana penempatan kembali yang disepakati bersama. Saat ini, rencana sedang dibahas tentang bagaimana memfasilitasi operasi kemanusiaan.”
Dewan Keamanan PBB akhir pekan ini diperkirakan akan membahas resolusi yang dirancang Inggris untuk memperluas tim Cammaert dengan memasukkan 75 pemantau PBB – untuk periode awal enam bulan – guna mengawasi gencatan senjata dan pemindahan pasukan Hodeidah.
Gencatan senjata bulan lalu terjadi setelah pasukan pro-pemerintah yang didukung Arab Saudi meluncurkan serangan besar pada bulan Juni yang bertujuan mengusir pemberontak Houthi keluar dari kota.
Pelabuhan Laut Merah adalah titik transit utama untuk makanan, obat-obatan dan persediaan lainnya ke Yaman, dimana 14 juta warga Yaman berada di ambang kelaparan, menurut laporan PBB.
Yaman telah dilanda kekerasan sejak 2014 ketika Houthi menyerbu ke selatan dari kubu mereka di Saada dan menyerbu sebagian besar negara itu, termasuk ibukota Sanaa di mana mereka menggulingkan pemerintahan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Pertempuran meningkat pada tahun 2015 ketika Arab Saudi dan UEA, yang melaporkan Houthi sebagai proksi Iran, meluncurkan koalisi militer yang memulai serangan udara terhadap posisi Houthi dalam upaya untuk mengembalikan pemerintahan Hadi. Jurnalislam.com
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Patrick Cammaert dari PBB dipaksa untuk “antar-jemput (bolak-balik)” antara pihak pemberontak dan pemerintah, yang telah dua kali bertemu langsung di bawah Komite Koordinasi Penempatan Kembali (the Redeployment Coordination Committee-RDC) sebelum pembicaraan langsung itu gagal, kata PBB.
Penolakan mereka untuk duduk bersama menyoroti kesulitan dalam mengimplementasikan kesepakatan yang dicapai antara pemerintah dan pemberontak pada 13 Desember di Rimbo, Swedia dengan diperantarai PBB.
Dujarric mengatakan bahwa pertemuan yang digawangi Cammaert bertujuan menemukan “cara yang dapat diterima kedua belah pihak untuk menempatkan pasukan di tiga pelabuhan dan bagian-bagian penting kota yang terkait dengan fasilitas kemanusiaan”.
3 Tahun Perang di Yaman, Akhirnya Syiah Houthi dan Arab Saudi Ingin Perundingan Damai
Di bawah ketentuan kesepakatan Rimbo, Houthi diharapkan menyerahkan kendali atas pelabuhan Hodeidah, Saleef dan Ras Isa kepada pasukan keamanan lokal dalam hubungan dengan Cammaert dan utusan dari pemerintah yang didukung Saudi. Namun, kedua belah pihak tidak setuju atas kata-kata dalam perjanjian.
Gencatan senjata di Hodeidah sebagian besar macet, dan masing-masing pihak menuduh pihak lain melanggar gencatan senjata. Tembakan rudal dan tembakan senapan otomatis terjadi hampir setiap hari dan didengar oleh ribuan warga sipil yang masih tinggal di kota itu.
Di tempat lain di Yaman, Houthi yang berpihak kepada Iran mengancam untuk melanjutkan serangan drone mereka, setelah serangan mematikan pekan lalu ke arah parade militer pemerintah Yaman, memicu ketegangan antara pihak-pihak yang bertikai di tengah upaya perdamaian PBB yang memang goyah.
Menurut Dujarric, pembicaraan Hodeidah menghadapi kemunduran dan tidak dapat disebut “lancar”, tetapi ia mencatat masih ada harapan untuk membuka kembali rute transit vital kota pelabuhan Laut Merah untuk bala bantuan dan pasokan lainnya.
“Walaupun jadwal yang diproyeksikan telah rusak, diskusi baru-baru ini konstruktif,” kata Dujarric kepada wartawan di New York.
Cammaert “terus mendorong para pihak untuk melanjutkan kembali pertemuan bersama guna menyelesaikan rencana penempatan kembali yang disepakati bersama. Saat ini, rencana sedang dibahas tentang bagaimana memfasilitasi operasi kemanusiaan.”
Dewan Keamanan PBB akhir pekan ini diperkirakan akan membahas resolusi yang dirancang Inggris untuk memperluas tim Cammaert dengan memasukkan 75 pemantau PBB – untuk periode awal enam bulan – guna mengawasi gencatan senjata dan pemindahan pasukan Hodeidah.
Gencatan senjata bulan lalu terjadi setelah pasukan pro-pemerintah yang didukung Arab Saudi meluncurkan serangan besar pada bulan Juni yang bertujuan mengusir pemberontak Houthi keluar dari kota.
Pelabuhan Laut Merah adalah titik transit utama untuk makanan, obat-obatan dan persediaan lainnya ke Yaman, dimana 14 juta warga Yaman berada di ambang kelaparan, menurut laporan PBB.
Yaman telah dilanda kekerasan sejak 2014 ketika Houthi menyerbu ke selatan dari kubu mereka di Saada dan menyerbu sebagian besar negara itu, termasuk ibukota Sanaa di mana mereka menggulingkan pemerintahan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Pertempuran meningkat pada tahun 2015 ketika Arab Saudi dan UEA, yang melaporkan Houthi sebagai proksi Iran, meluncurkan koalisi militer yang memulai serangan udara terhadap posisi Houthi dalam upaya untuk mengembalikan pemerintahan Hadi. Jurnalislam.com
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: