Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Bisakah seorang Syiah itu bisa menjadi Syi’i taat sekaligus menjadi seorang yang Nasionalis dan Pancasilais yang baik?
Persoalan itu patut diutarakan, sebab dasar akidah dan pemikiran Syiah adalah imamah. Mampukan akidah imamah berintegrasi dengan Pancasila?
Imamah dalam penganut Syiah merupakan pemikiran sentral-fundamental yang mempengaruhi perilaku dan kehidupan sehari-hari penganut Syiah di manapun mereka hidup.
Al-Hilli, seorang ulama terkemuka Syiah menerangkan fungsionalisasi imamah. Kata dia: ‘Imamah merupakan kepemimpinan umum dalam urusan dunia, agama dan negara’ sebagai pengganti kepemimpinan Nabi Saw’ (Hasan bin Yusuf bin Ali al-Muthahhir al-Hilli, Taudih al-Murad Ta’liqah ala Syarhi Tajrid al-I’tiqad, hal. 672).
Fungsionalisasi imamah tidak sekedar teologis tetapi politis. Bila praktik imamah itu dalam politik, maka mirip dengan khilafah. Bedanya, khilafah itu dipilih (oleh orang yang ahli/syura), sedangkan imamah itu berdasarkan turunan nasab. Syiah mengklaim berdasarkan nash (teks suci) dan wasiyat.
Dengan demikian, maka imamah Syiah lebih eksklusif daripada khilafah. Pemikiran imamah lebih fundamental. Sebabnya, khilafah dalam Sunni itu masuk kategori furu’. Sedangkan imamah Syiah masuk kategori ushul. Lebih fundamentalis imamah syiah daripada khilafah. Karena itu, mayoritas Sunni tidak terlalu berlebihaan dalam isu khilafah. Beda dalam Syiah, imamah itu isu sentral. Wajib diperjuangkan.
Di era modern, imamah dipraktikkan dalam sistem wilayah al-faqih (kekuasaan al-faqih) di Iran yang beranggotakan 86 ulama dan dipilih tiap delapan tahun. Dewan ini yang menunjuk rahbar (pemimpin agung) dan mengesahkan presiden terpilih.
Meskipun konsep wilayah al-faqih itu mengganti kekosongan imam (al-ghaibah al-kubra), tetapi otoritasnya tetap. Nampaknya pun wilayah al-faqih itu meniru konsep ahlu halli wal aqdi dalam tradisi Sunni. Artinya, tidak ditemukan dalam referensi induk klasik Syiah tentang wilayah al-faqih. Ini merupakan kreasi baru Syiah modern.
Secara singkat, praktik wilayah al-faqih ini merupakan pengganti seorang imam yang saat ini dalam keadaan kosong. Dalam akidah Syiah, bumi tidak boleh kosong dari imamah. Karena itu harus ada. Jika vakum maka perlu “diada-adakan”. Sebab itulah, otoritas wilayah al-faqih dianggap sama dengan imamah, yaitu meliputi politik dan agama dengan jangkauan otoritas se-dunia atau global. Sistem nya mirip model kepausan dalam agama Katolik. Jadi otoritasnya berlaku global. Kesetiaan pada imamah juga berlaku untuk semua penganut Syiah di seluruh negara di dunia.
Anggota wilayah al-faqih dari fuqaha’ Syiah yang bukan imam ma’sum itu bisa memantik polemik internal Syiah. Seorang faqih tetapi memiliki otoritas mutlak seperti imam. Apalagi wilayah faqih dipilih oleh majelis bernama Majelis al-Khubara’ (dewan ahli). Mereka dipilih manusia biasa, tetapi diberi kekuasaan mutlak. Tetapi, meskipun begitu, Negara yang dijalankan tetap bermodel Negara agama atau monopoli kuasa atas nama Tuhan (teokrasi). Sistem yang rancu ini bakal mengundang perdebatan.
Itulah gambarannya, teologi Syiah lahir dari politik, digerakkan oleh kekuatan politik. Maka tidak heran, hingga kini strategi dakwah juga politis. Yang patut digaris bawahi, doktrin Syiah tidak pernah menghapus sistem politik imamahnya. Tiap penganut Syiah yang ideologis, sesungguhnya terbebani untuk melaksanakan kesetiaan pada sistem imamah.
Karena dasar ideologinya juga politik, di mana politiknya hanya mengacu pada imamah (di Iran, yang kini berwujud sistem wilayatul faqih), maka pemikiran ini meletakkan kesetiaan pada negara bangsa di bawah kesetiaan pada imamah. Kenyataan ini sudah disampaikan langsung oleh tokoh Syiah, Khomeini, di mana pernah berambisi menularkan ideologi revolusi kepada negara-negara lain.
Ia pernah mengatakan: “Kenyataanya tidak ada pilihan lain selain menghancurkan sistem pemerintahan yang rusak dan menghapus pemerintahan yang penuh dengan pengkhianatan, kerusakan dan kedzaliman. Ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi olehs setiap Muslim yang ada di Negara Islam sehingga dapat tercapailah kejayaan Revolusi Politik Islam” (Ayatullah Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam,hal.46).
Di kalangan kaum Syiah, tulisan Khomeini ini merupakan fatwa untuk melakukan revolusi di negaranya masing-masing. Khomeini sendiri merupakan tokoh Syiah kontemporer paling kharismatik. Sehingga fatwa ini pernah membakar pemuda Syiah di Indonesia pada tahun delapan puluhan. Pada 24 Desember tahun 1984 aktivis Syiah bernama Jawad alias Ibrahim terlibat aksi peledakan gedung seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang dan peledakan candi Borobudur pada 21 Januari 1985.
Dalam pengakuannya, ia nekat melakukannya karena cita-citanya ingin menjadi ‘Imam’ di Indonesia, sebagaimana Khomeini di Iran. Namun Jawad gagal, dan mendekam di balik jeruji besi.
Pada tahun 1981, Iran menggelar Konferensi Internasional untuk Imam Jum’at dan Jama’ah mengundang pemimpin Negara-negara Muslim di dunia serta para muftinya. Syeikh Muhammad Abdu Qodir Azad, Ketua Majelis Ulama Pakistan, yang ikut konferensi menyaksikan pidato Khomeini berapi-api mendorong kaum Muslim untuk melakukan revolusi seperti yang ia lakukan di Iran.
Kata Khomeini: “Karena itu wahai para ulama! Berangkatlah dari muktamar ini untuk mengadakan revolusi Iran di Negara-negara masing-masing, agar anda semuanya dapat menang dalam usaha yang besar ini. Kalau anda bermalas-malas, maka pada hari kiamat nanti di hari semua manusia dikumpulkan, Allah akan meminta pertanggungjawaban dari masing-masing Anda karena tidak melakukan sesuatu tentang hak Allah dan hak bangsa-bangsa Anda. Lalu ketika itu nanti jawaban apakah yang akan Anda berikan?.” (Muhammad Abdul Qodir Azad, Bahaya Faham Syiah Khomeini, hal.14).
Karena itu, sebagian besar mahasiswa Indonesia yang belajar akidah Syiah secara serius ke Iran diduga lebih setia kepada wilayah al-faqih Iran daripada negeri sendiri.
Seperti diketahui, semangat nasionalisme adalah meletakkan kesetiaan individu yang harus diberikan kepada bangsa dan negaranya. Inilah yang jadi persoalan. Sebab sesuai doktrinnya, kesetian Syiah hanya diberikan kepada imam dan imamah dengan sistem politiknya itu.
Karena jalur ideologi politiknya hanya tunduk pada imam (di Iran), maka terjadilah sebagaimana fenomena 5 tahun belakangan ini, di mana kelompok Syiah memberontak dan mengangkat senjata di mana-mana termasuk yang terjadi di Suriah dan Syi’ah al-Hautsi yang menduduki Istana Kepresidenan Yaman.
Teorisasi imamah, ataupun yang berbentuk wilayah al-faqih terlalu sulit masuk ke dalam falsafah Pancasila. Maka, jika penganut Syiah hendak mengintegrasikan akidahnya dengan Pancasila, maka mereka harus rela melakukan dekonstruksi atau perombakan akidah imamahnya.
Artinya, harus rela akidah imamahnya tidak kaffah. Kesulitan penganut Syiah lainnya adalah, perombakan akidah imamah itu bisa mendekatkan kepada kerontokan agamanya. Satu-satunya cara adalah dengan cara konversi menjadi Sunni. Jika tidak, akidah taqiyah (menyembunyikan identitas akidah) dimainkan.
Sedangkan Ahlus Sunnah sejak awalnya hadir di negeri ini ikut mendirikan dan mempertahankan negara. Di zaman penjajahan, kita lihat para pahlawan Nasional kita mulai Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Hasanuddin, sampai KH. Hasyim Asy’ari – yang semuanya bermadzhab Sunni-Syafi’i. Para ulama Sunni inilah yang berperan dalam gerakan kebangkitan kesadaran nasional.
Ahmad Mansur Suryanegara, penulis buku Api Sejarah, mengatakan: “Kondisi penjajahan dan penindasan Belanda telah melahirkan pemahaman bagi rakyat Indonesia bahwa Islam identik dengan kebangsaan atau nasionalisme. Islam menjadi anti-Politik Kristenisasi karena Kristenisasi identik dengan imperialisme atau penjajahan” (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, hal. 279).
Kesadaran nasional itu pertama dipelopori oleh organisasi Sjarikat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905 di Surakarta. Organisasi Islam yang membidani ekonomi ini menghimpun untuk melawan penjajah secara kolektif dengan tujuan kebangkitan Nasional dengan cara merebut kembali penguasaan pasar yang dimonopoli oleh VOC. Karena itu, tidak heran pada masa-masa berikutnya basis kebangkitan Nasional melawan penjajah dari pesantren yang bermadzhab Sunni-Syafi’i.
Apalagi, Islam yang datang ke Indonesia adalah Sunni-Syafi’i, bercorak tasawuf. Para Wali Songo adalah Sunni, cepat melebur dengan pribumi. Peleburan ini untuk tujuan Islamisasi. Corak dakwah Wali Songo ini lebih mudah diterima Pribumi.
Maka, seorang Sunni bisa menjadi Sunni yang baik di manapun. Beda dengan Syiah, mereka tergantung oleh sistem imamah. Dia bisa menjadi Syiah yang baik jika dalam naungan imamah. Sunni, didalam naungan apapun bisa menjadi sunni yang baik. Sunni tidak terlalu tergantung oleh politik khilafah. Sedangkan Syiah sangat tergantung oleh politik imamah.
Jadi, sejak awal dan sudah akarnya, Sunni lebih mudah berindonesia. Leluhur Muslim Sunni Nusantara inilah yang membangun peradaban Nusantara agar menjadi bangsa yang lebih beradab. Dan terbukti melahirkan tradisi intelektual Sunni. (CK)
Penulis adalah dosen IAI Dalwa Bangil
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Bisakah seorang Syiah itu bisa menjadi Syi’i taat sekaligus menjadi seorang yang Nasionalis dan Pancasilais yang baik?
Persoalan itu patut diutarakan, sebab dasar akidah dan pemikiran Syiah adalah imamah. Mampukan akidah imamah berintegrasi dengan Pancasila?
Imamah dalam penganut Syiah merupakan pemikiran sentral-fundamental yang mempengaruhi perilaku dan kehidupan sehari-hari penganut Syiah di manapun mereka hidup.
Al-Hilli, seorang ulama terkemuka Syiah menerangkan fungsionalisasi imamah. Kata dia: ‘Imamah merupakan kepemimpinan umum dalam urusan dunia, agama dan negara’ sebagai pengganti kepemimpinan Nabi Saw’ (Hasan bin Yusuf bin Ali al-Muthahhir al-Hilli, Taudih al-Murad Ta’liqah ala Syarhi Tajrid al-I’tiqad, hal. 672).
Fungsionalisasi imamah tidak sekedar teologis tetapi politis. Bila praktik imamah itu dalam politik, maka mirip dengan khilafah. Bedanya, khilafah itu dipilih (oleh orang yang ahli/syura), sedangkan imamah itu berdasarkan turunan nasab. Syiah mengklaim berdasarkan nash (teks suci) dan wasiyat.
Dengan demikian, maka imamah Syiah lebih eksklusif daripada khilafah. Pemikiran imamah lebih fundamental. Sebabnya, khilafah dalam Sunni itu masuk kategori furu’. Sedangkan imamah Syiah masuk kategori ushul. Lebih fundamentalis imamah syiah daripada khilafah. Karena itu, mayoritas Sunni tidak terlalu berlebihaan dalam isu khilafah. Beda dalam Syiah, imamah itu isu sentral. Wajib diperjuangkan.
Di era modern, imamah dipraktikkan dalam sistem wilayah al-faqih (kekuasaan al-faqih) di Iran yang beranggotakan 86 ulama dan dipilih tiap delapan tahun. Dewan ini yang menunjuk rahbar (pemimpin agung) dan mengesahkan presiden terpilih.
Meskipun konsep wilayah al-faqih itu mengganti kekosongan imam (al-ghaibah al-kubra), tetapi otoritasnya tetap. Nampaknya pun wilayah al-faqih itu meniru konsep ahlu halli wal aqdi dalam tradisi Sunni. Artinya, tidak ditemukan dalam referensi induk klasik Syiah tentang wilayah al-faqih. Ini merupakan kreasi baru Syiah modern.
Secara singkat, praktik wilayah al-faqih ini merupakan pengganti seorang imam yang saat ini dalam keadaan kosong. Dalam akidah Syiah, bumi tidak boleh kosong dari imamah. Karena itu harus ada. Jika vakum maka perlu “diada-adakan”. Sebab itulah, otoritas wilayah al-faqih dianggap sama dengan imamah, yaitu meliputi politik dan agama dengan jangkauan otoritas se-dunia atau global. Sistem nya mirip model kepausan dalam agama Katolik. Jadi otoritasnya berlaku global. Kesetiaan pada imamah juga berlaku untuk semua penganut Syiah di seluruh negara di dunia.
Anggota wilayah al-faqih dari fuqaha’ Syiah yang bukan imam ma’sum itu bisa memantik polemik internal Syiah. Seorang faqih tetapi memiliki otoritas mutlak seperti imam. Apalagi wilayah faqih dipilih oleh majelis bernama Majelis al-Khubara’ (dewan ahli). Mereka dipilih manusia biasa, tetapi diberi kekuasaan mutlak. Tetapi, meskipun begitu, Negara yang dijalankan tetap bermodel Negara agama atau monopoli kuasa atas nama Tuhan (teokrasi). Sistem yang rancu ini bakal mengundang perdebatan.
Itulah gambarannya, teologi Syiah lahir dari politik, digerakkan oleh kekuatan politik. Maka tidak heran, hingga kini strategi dakwah juga politis. Yang patut digaris bawahi, doktrin Syiah tidak pernah menghapus sistem politik imamahnya. Tiap penganut Syiah yang ideologis, sesungguhnya terbebani untuk melaksanakan kesetiaan pada sistem imamah.
Karena dasar ideologinya juga politik, di mana politiknya hanya mengacu pada imamah (di Iran, yang kini berwujud sistem wilayatul faqih), maka pemikiran ini meletakkan kesetiaan pada negara bangsa di bawah kesetiaan pada imamah. Kenyataan ini sudah disampaikan langsung oleh tokoh Syiah, Khomeini, di mana pernah berambisi menularkan ideologi revolusi kepada negara-negara lain.
Ia pernah mengatakan: “Kenyataanya tidak ada pilihan lain selain menghancurkan sistem pemerintahan yang rusak dan menghapus pemerintahan yang penuh dengan pengkhianatan, kerusakan dan kedzaliman. Ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi olehs setiap Muslim yang ada di Negara Islam sehingga dapat tercapailah kejayaan Revolusi Politik Islam” (Ayatullah Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam,hal.46).
Di kalangan kaum Syiah, tulisan Khomeini ini merupakan fatwa untuk melakukan revolusi di negaranya masing-masing. Khomeini sendiri merupakan tokoh Syiah kontemporer paling kharismatik. Sehingga fatwa ini pernah membakar pemuda Syiah di Indonesia pada tahun delapan puluhan. Pada 24 Desember tahun 1984 aktivis Syiah bernama Jawad alias Ibrahim terlibat aksi peledakan gedung seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang dan peledakan candi Borobudur pada 21 Januari 1985.
Dalam pengakuannya, ia nekat melakukannya karena cita-citanya ingin menjadi ‘Imam’ di Indonesia, sebagaimana Khomeini di Iran. Namun Jawad gagal, dan mendekam di balik jeruji besi.
Pada tahun 1981, Iran menggelar Konferensi Internasional untuk Imam Jum’at dan Jama’ah mengundang pemimpin Negara-negara Muslim di dunia serta para muftinya. Syeikh Muhammad Abdu Qodir Azad, Ketua Majelis Ulama Pakistan, yang ikut konferensi menyaksikan pidato Khomeini berapi-api mendorong kaum Muslim untuk melakukan revolusi seperti yang ia lakukan di Iran.
Kata Khomeini: “Karena itu wahai para ulama! Berangkatlah dari muktamar ini untuk mengadakan revolusi Iran di Negara-negara masing-masing, agar anda semuanya dapat menang dalam usaha yang besar ini. Kalau anda bermalas-malas, maka pada hari kiamat nanti di hari semua manusia dikumpulkan, Allah akan meminta pertanggungjawaban dari masing-masing Anda karena tidak melakukan sesuatu tentang hak Allah dan hak bangsa-bangsa Anda. Lalu ketika itu nanti jawaban apakah yang akan Anda berikan?.” (Muhammad Abdul Qodir Azad, Bahaya Faham Syiah Khomeini, hal.14).
Karena itu, sebagian besar mahasiswa Indonesia yang belajar akidah Syiah secara serius ke Iran diduga lebih setia kepada wilayah al-faqih Iran daripada negeri sendiri.
Seperti diketahui, semangat nasionalisme adalah meletakkan kesetiaan individu yang harus diberikan kepada bangsa dan negaranya. Inilah yang jadi persoalan. Sebab sesuai doktrinnya, kesetian Syiah hanya diberikan kepada imam dan imamah dengan sistem politiknya itu.
Karena jalur ideologi politiknya hanya tunduk pada imam (di Iran), maka terjadilah sebagaimana fenomena 5 tahun belakangan ini, di mana kelompok Syiah memberontak dan mengangkat senjata di mana-mana termasuk yang terjadi di Suriah dan Syi’ah al-Hautsi yang menduduki Istana Kepresidenan Yaman.
Teorisasi imamah, ataupun yang berbentuk wilayah al-faqih terlalu sulit masuk ke dalam falsafah Pancasila. Maka, jika penganut Syiah hendak mengintegrasikan akidahnya dengan Pancasila, maka mereka harus rela melakukan dekonstruksi atau perombakan akidah imamahnya.
Artinya, harus rela akidah imamahnya tidak kaffah. Kesulitan penganut Syiah lainnya adalah, perombakan akidah imamah itu bisa mendekatkan kepada kerontokan agamanya. Satu-satunya cara adalah dengan cara konversi menjadi Sunni. Jika tidak, akidah taqiyah (menyembunyikan identitas akidah) dimainkan.
Sedangkan Ahlus Sunnah sejak awalnya hadir di negeri ini ikut mendirikan dan mempertahankan negara. Di zaman penjajahan, kita lihat para pahlawan Nasional kita mulai Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Hasanuddin, sampai KH. Hasyim Asy’ari – yang semuanya bermadzhab Sunni-Syafi’i. Para ulama Sunni inilah yang berperan dalam gerakan kebangkitan kesadaran nasional.
Ahmad Mansur Suryanegara, penulis buku Api Sejarah, mengatakan: “Kondisi penjajahan dan penindasan Belanda telah melahirkan pemahaman bagi rakyat Indonesia bahwa Islam identik dengan kebangsaan atau nasionalisme. Islam menjadi anti-Politik Kristenisasi karena Kristenisasi identik dengan imperialisme atau penjajahan” (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, hal. 279).
Kesadaran nasional itu pertama dipelopori oleh organisasi Sjarikat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905 di Surakarta. Organisasi Islam yang membidani ekonomi ini menghimpun untuk melawan penjajah secara kolektif dengan tujuan kebangkitan Nasional dengan cara merebut kembali penguasaan pasar yang dimonopoli oleh VOC. Karena itu, tidak heran pada masa-masa berikutnya basis kebangkitan Nasional melawan penjajah dari pesantren yang bermadzhab Sunni-Syafi’i.
Apalagi, Islam yang datang ke Indonesia adalah Sunni-Syafi’i, bercorak tasawuf. Para Wali Songo adalah Sunni, cepat melebur dengan pribumi. Peleburan ini untuk tujuan Islamisasi. Corak dakwah Wali Songo ini lebih mudah diterima Pribumi.
Maka, seorang Sunni bisa menjadi Sunni yang baik di manapun. Beda dengan Syiah, mereka tergantung oleh sistem imamah. Dia bisa menjadi Syiah yang baik jika dalam naungan imamah. Sunni, didalam naungan apapun bisa menjadi sunni yang baik. Sunni tidak terlalu tergantung oleh politik khilafah. Sedangkan Syiah sangat tergantung oleh politik imamah.
Jadi, sejak awal dan sudah akarnya, Sunni lebih mudah berindonesia. Leluhur Muslim Sunni Nusantara inilah yang membangun peradaban Nusantara agar menjadi bangsa yang lebih beradab. Dan terbukti melahirkan tradisi intelektual Sunni. (CK)
Penulis adalah dosen IAI Dalwa Bangil
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: