Syiahindonesia.com, JAKARTA– Wakil Ketua Umum (Waketum) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yunahar Ilyas, mengatakan, MUI telah mengeluarkan buku panduan mengenai ajaran Syiah dan beberapa fatwa tentang penyimpangan ajaran Syiah. Hal ini untuk membendung derasnya pemahaman Syiah yang semakin berkembang ke tengah masyarakat.
“Nah, itu cukuplah sementara untuk menghambat berkembangnya Syiah di Indonesia. Sebab, Indonesia adalah negeri Sunni, ahlus sunnah wal jamaah,” kata Yunahar kepada Indonesia Inside, saat ditemui di kantor MUI, Jakarta Pusat, Selasa (10/9).
Kenduri Raya 1000 Jeep Lereng Merapi Akan Digelar 10 Oktober 2019 17 SEPTEMBER 2019 | 3:10
Kapal Terguling, Dua Wisatawan Asing Tenggelam di Bali 17 SEPTEMBER 2019 | 2:57
Ia menilai, jika Syiah semakin berkembang dan memiliki pengikut dengan jumlah besar di Indonesia, hal ini akan memunculkan potensi disintegrasi bangsa. Sebab, Syiah dan Sunni memiliki perbedaan mendasar cukup tajam.
“Kalau Syiah berkembang, kita belajar dari negara lain seperti Irak dan Yaman, itu bisa konflik dan berdarah-darah. Jadi, kita tidak ingin itu berkembang di Indonesia, makanya kita mencoba untuk menghambat jangan sampai gerakan Syiah berkembang,” ujarnya.
Lebih jauh, Waketum PP Muhammadiyah ini menuturkan, secara umum di Indonesia perayaan Asyura terbagi menjadi dua. Perayaan secara kultural ini juga diikuti oleh masyarakat Sunni. Salah satunya dengan peringatan 10 Muharram, seperti membuat bubur Asyura.
“Tapi kalau peringatan Asyura seperti memperingati terbunuhnya Husein, itu akan menghidupkan kebencian dan dendam (pengikut Syiah). Nanti yang akan dituduh membunuh (Husein) adalah Sunni,” katanya.
Mengenai fatwa ajaran Syiah, MUI Pusat belum dapat mengeluarkan fatwa seperti MUI Jawa Timur yang menyatakan bahwa Syiah adalah aliran sesat. Kendati begitu, kata Yunahar, prinsip MUI adalah menghambat berkembangnya Syiah di Indonesia.
“Jadi, selama perayaan Karbala belum sampai tingkat itu, kita lihat saja. Kalau sudah pada tahap melukai, MUI baru mengeluarkan pendapat (kesesatan Syiah),” ujarnya.
Senada, Ketua Pengkajian MUI, Prof Maman Abdurrahman sepakat budaya peringatan Asyura dengan menyakiti badan seperti di Iran tidak di ‘impor’ ke Indonesia. Terlebih, mayoritas masyarakat Indonesia berfaham ahlu sunnah wal jamaah.
“Jangan sampai (di Indonesia) seperti yang dilakukan orang Syi’ah di Karbala dan Irak, menyakiti diri. Ini dibuat-buat saja, tidak ada ajarannya, tapi kalau sudah jadi keyakinan mau apalagi,” kata Prof Maman.
Mantan Ketum PP Persis ini mengimbau kepada masyarakat untuk tidak ikut merayakan peringatan Asyura seperti dilakukan penganut Syiah. Menurutnya, ajaran tersebut tidak sesuai dengan aqidah Islam.
“Saya titip kepada masyarakat untuk tidak terbawa dengan model-model perayaan Asyura seperti itu. Karena mereka memanggil-manggil Husein radiallahu anhu yang memang dulu bukan dibunuh oleh ahli sunnah,” ujarnya. Jogjainside.com
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
“Nah, itu cukuplah sementara untuk menghambat berkembangnya Syiah di Indonesia. Sebab, Indonesia adalah negeri Sunni, ahlus sunnah wal jamaah,” kata Yunahar kepada Indonesia Inside, saat ditemui di kantor MUI, Jakarta Pusat, Selasa (10/9).
Kenduri Raya 1000 Jeep Lereng Merapi Akan Digelar 10 Oktober 2019 17 SEPTEMBER 2019 | 3:10
Kapal Terguling, Dua Wisatawan Asing Tenggelam di Bali 17 SEPTEMBER 2019 | 2:57
Ia menilai, jika Syiah semakin berkembang dan memiliki pengikut dengan jumlah besar di Indonesia, hal ini akan memunculkan potensi disintegrasi bangsa. Sebab, Syiah dan Sunni memiliki perbedaan mendasar cukup tajam.
“Kalau Syiah berkembang, kita belajar dari negara lain seperti Irak dan Yaman, itu bisa konflik dan berdarah-darah. Jadi, kita tidak ingin itu berkembang di Indonesia, makanya kita mencoba untuk menghambat jangan sampai gerakan Syiah berkembang,” ujarnya.
Lebih jauh, Waketum PP Muhammadiyah ini menuturkan, secara umum di Indonesia perayaan Asyura terbagi menjadi dua. Perayaan secara kultural ini juga diikuti oleh masyarakat Sunni. Salah satunya dengan peringatan 10 Muharram, seperti membuat bubur Asyura.
“Tapi kalau peringatan Asyura seperti memperingati terbunuhnya Husein, itu akan menghidupkan kebencian dan dendam (pengikut Syiah). Nanti yang akan dituduh membunuh (Husein) adalah Sunni,” katanya.
Mengenai fatwa ajaran Syiah, MUI Pusat belum dapat mengeluarkan fatwa seperti MUI Jawa Timur yang menyatakan bahwa Syiah adalah aliran sesat. Kendati begitu, kata Yunahar, prinsip MUI adalah menghambat berkembangnya Syiah di Indonesia.
“Jadi, selama perayaan Karbala belum sampai tingkat itu, kita lihat saja. Kalau sudah pada tahap melukai, MUI baru mengeluarkan pendapat (kesesatan Syiah),” ujarnya.
Senada, Ketua Pengkajian MUI, Prof Maman Abdurrahman sepakat budaya peringatan Asyura dengan menyakiti badan seperti di Iran tidak di ‘impor’ ke Indonesia. Terlebih, mayoritas masyarakat Indonesia berfaham ahlu sunnah wal jamaah.
“Jangan sampai (di Indonesia) seperti yang dilakukan orang Syi’ah di Karbala dan Irak, menyakiti diri. Ini dibuat-buat saja, tidak ada ajarannya, tapi kalau sudah jadi keyakinan mau apalagi,” kata Prof Maman.
Mantan Ketum PP Persis ini mengimbau kepada masyarakat untuk tidak ikut merayakan peringatan Asyura seperti dilakukan penganut Syiah. Menurutnya, ajaran tersebut tidak sesuai dengan aqidah Islam.
“Saya titip kepada masyarakat untuk tidak terbawa dengan model-model perayaan Asyura seperti itu. Karena mereka memanggil-manggil Husein radiallahu anhu yang memang dulu bukan dibunuh oleh ahli sunnah,” ujarnya. Jogjainside.com
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: