Syiahindonesia.com - Setelah melalui masa persiapan selama dua setengah tahun , Universitas Humboldt di Berlin kini membuka Institut Teologi Islam untuk tahun ajaran semester baru.
Pada awal musim dingin 2019/2020 ini, sebanyak 55 mahasiswa telah mulai mengikuti perkuliahan. Salah satu mata kuliah yang diajarkan adalah bagaimana menghargai dan perbandingan ajaran Sunni dan Syiah.
Institut ini tidak ditujukan untuk menghasilkan imam. Para lulusannya kelak diharapkan dapat menjadi guru agama di komunitas masjid, masyarakat sipil dan pekerja sosial yang berkualitas.
Studi terbuka bagi nonmuslim
Studi juga terbuka bagi nonmuslim. Selain itu, perkuliahan ini juga bekerja sama dengan pendidikan teologi Kristen.
Selain di Berlin, sudah ada beberapa institut teologi serupa di Jerman,antara lain di Münster, Tübingen, Erlangen-Nürnberg, Frankfurt/Main, Osnabrück,dan Paderborn.
Dari enam profesor yang rencananya akan mengajar di sini, menurut universitas Humboldt, sejauh ini baru lima orang di antaranya yang sudah mendapat konfirmasi dari pihak Dewan Penasihat Institut. Bilamana diperlukan, perkuliahan juga akan diisi materi oleh profesor dan dosen tamu, yang dipastikan sudah melewati proses pertimbangan.
Sementara itu, Universitas Osnabrück mengumumkan bahwa pakar Islam Rauf Ceylan telah menolak panggilan mengajar di Universitas Humboldt. Dengan demikian, Ceylan akan terus bekerja di Universitas Osnabrück, di mana ia mengajar studi Islam kontemporer di Institute of Islamic Theology (IIT). Di Osnabrück, kondisinya lebih baik untuk penelitian migrasi dan keagamaan, papar Ceylan.
Kritik bagi dewan
Namun, kmposisi Dewan Penasihat Institut kembali menuai kritik. Dua orang yang duduk dalam dewan tersebut adalah dua akademisi Islam yang bermukim di Berlin, Wolfgang Huber dan Wakil Presiden Uiversitas Humboldt, Eva Inés Obergfell, perwakilan Dewan Pusat Muslim Jerman, komunitas Syiah Jerman (IGS) dan Federasi Islam. Kalangan muslim liberal mengritiknya karena dewan tersebut dianggap hanya mewakili asosiasi Islam konservatif. dw.com
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Pada awal musim dingin 2019/2020 ini, sebanyak 55 mahasiswa telah mulai mengikuti perkuliahan. Salah satu mata kuliah yang diajarkan adalah bagaimana menghargai dan perbandingan ajaran Sunni dan Syiah.
Institut ini tidak ditujukan untuk menghasilkan imam. Para lulusannya kelak diharapkan dapat menjadi guru agama di komunitas masjid, masyarakat sipil dan pekerja sosial yang berkualitas.
Studi terbuka bagi nonmuslim
Studi juga terbuka bagi nonmuslim. Selain itu, perkuliahan ini juga bekerja sama dengan pendidikan teologi Kristen.
Selain di Berlin, sudah ada beberapa institut teologi serupa di Jerman,antara lain di Münster, Tübingen, Erlangen-Nürnberg, Frankfurt/Main, Osnabrück,dan Paderborn.
Dari enam profesor yang rencananya akan mengajar di sini, menurut universitas Humboldt, sejauh ini baru lima orang di antaranya yang sudah mendapat konfirmasi dari pihak Dewan Penasihat Institut. Bilamana diperlukan, perkuliahan juga akan diisi materi oleh profesor dan dosen tamu, yang dipastikan sudah melewati proses pertimbangan.
Sementara itu, Universitas Osnabrück mengumumkan bahwa pakar Islam Rauf Ceylan telah menolak panggilan mengajar di Universitas Humboldt. Dengan demikian, Ceylan akan terus bekerja di Universitas Osnabrück, di mana ia mengajar studi Islam kontemporer di Institute of Islamic Theology (IIT). Di Osnabrück, kondisinya lebih baik untuk penelitian migrasi dan keagamaan, papar Ceylan.
Kritik bagi dewan
Namun, kmposisi Dewan Penasihat Institut kembali menuai kritik. Dua orang yang duduk dalam dewan tersebut adalah dua akademisi Islam yang bermukim di Berlin, Wolfgang Huber dan Wakil Presiden Uiversitas Humboldt, Eva Inés Obergfell, perwakilan Dewan Pusat Muslim Jerman, komunitas Syiah Jerman (IGS) dan Federasi Islam. Kalangan muslim liberal mengritiknya karena dewan tersebut dianggap hanya mewakili asosiasi Islam konservatif. dw.com
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: