Syiahindonesi.com - Oleh: Syaiful W. Harahap
"MUI Kabupaten Bogor Sebut Kawin Kontrak Tetap Zina". Ini judul berita di Tagar (24 Desember 2019). Pernyataan MUI ini sehubungan dengan praktik kawin-kontrak yang kian marak di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kawin-kontrak adalah ‘nikah’ dalam hitungan waktu tertentu yang juga disebut sebagai nikah mut’ah.
Terlepas dari sifat kawin-kontrak yang disebut MUI sebagai zina, dari aspek epidemiologi penyakit menular seksual kawin-kontrak erat kaitannya dengan infeksi menular seksual (IMS) yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, seperti kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), virus hepatitis B, virus kanker serviks, klamidia, dll. serta HIV/AIDS.
Pelaku kawin-kontrak baik laki-laki maupun perempuan merupakan orang-orang dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus. Risiko itu terjadi karena bisa saja salah satu dari pasangan yang berganti-ganti mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia adalah 466.859 yang terdiri atas 349.882 HIV dan 116.977 AIDS. Yang perlu diingat angka-angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang dilaporkan (466.859) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Yang jadi masalah besar adalah banyak orang yang merasa perilaku seksual pada kawin-kontrak tidak berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS karena seks mereka lakukan dalam ikatan pernikahan. Ini terjadi karena sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia, 1987, banyak informasi tentang HIV/AIDS yang merupakan mitos (anggapan yang salah). Mulai dari menteri kesehatan, kalangan medis, agamawan, tokoh sampai aktivis AIDS sendiri selalu membumbui informasi tentang HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama.
Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa dibuktikan di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Tapi, karena kepanikan menghadapi kasus HIV/AIDS yang terus terdeteksi muncullah pernyataan-pernyataan tentang HIV/AIDS yang tidak akurat.
Salah satu mitos yang menyesatkan adalah mengaitkan penularan HIV/AIDS dengan sifat hubungan seksual, seperti di luar nikah, seks pranikah, selingkuh, zina, pelacuran, dll. Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam atau di luar nikah karena penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual. Penularan HIV/AIDS melalaui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta.
Risiko penularan HIV/AIDS antara sifat dan kondisi hubungan seksual (Dok Pribadi)
Tapi, karena sejak awal informasi HIV/AIDS sudah merupakan mitos akibatnya banyak orang yang merasa tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran.
Perempuan-perempuan yang terlibat dalam praktik kawin-kontrak adalah perempuan dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena mereka melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Mereka ini sama saja dengan PSK, tapi tidak kasat mata yang disebut PSK tidak langsung. Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga perempuan pelaku kawin-kontrak berisiko pula tertular HIV/AIDS.
Upaya mencegah kawin-kontrak akan jauh lebih efektif jika dikaitkan dengan risiko penularan IMS dan HIV/AIDS daripada hanya dari aspek agama dan hukum (polisional). Soalnya, kalau dari aspek agama banyak penafsiran tentang kawin-kontrak atau nikah mut’ah. Sedangkan tindakan polisional terjadi setelah kegiatan seksual sehingga biar pun ditangkap penularan IMS atau HIV/AIDS sudah terjadi.
Laki-laki pelaku kawin-kontrak yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Yang beristri akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya. Laporan Kemenkes menyebutkan 16.854 ibu rumah tangga terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Ini jadi indikator terkait perilaku seksual suami, al. terlibat dalam kawin-cerai.
Pemerintah tidak akan bisa mencegah kawin-kontrak karena berlangsung di bawah tanah yang melibatkan banyak pihak karena terkait dengan uang yang jumlahnya besar. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi melalui hubungan seksual pada kawin-kontrak yang pada akhirnya akan masuk ke populasi dan bermuara pada ‘ledakan AIDS’.
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
"MUI Kabupaten Bogor Sebut Kawin Kontrak Tetap Zina". Ini judul berita di Tagar (24 Desember 2019). Pernyataan MUI ini sehubungan dengan praktik kawin-kontrak yang kian marak di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kawin-kontrak adalah ‘nikah’ dalam hitungan waktu tertentu yang juga disebut sebagai nikah mut’ah.
Terlepas dari sifat kawin-kontrak yang disebut MUI sebagai zina, dari aspek epidemiologi penyakit menular seksual kawin-kontrak erat kaitannya dengan infeksi menular seksual (IMS) yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, seperti kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), virus hepatitis B, virus kanker serviks, klamidia, dll. serta HIV/AIDS.
Pelaku kawin-kontrak baik laki-laki maupun perempuan merupakan orang-orang dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus. Risiko itu terjadi karena bisa saja salah satu dari pasangan yang berganti-ganti mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia adalah 466.859 yang terdiri atas 349.882 HIV dan 116.977 AIDS. Yang perlu diingat angka-angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang dilaporkan (466.859) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Yang jadi masalah besar adalah banyak orang yang merasa perilaku seksual pada kawin-kontrak tidak berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS karena seks mereka lakukan dalam ikatan pernikahan. Ini terjadi karena sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia, 1987, banyak informasi tentang HIV/AIDS yang merupakan mitos (anggapan yang salah). Mulai dari menteri kesehatan, kalangan medis, agamawan, tokoh sampai aktivis AIDS sendiri selalu membumbui informasi tentang HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama.
Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa dibuktikan di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Tapi, karena kepanikan menghadapi kasus HIV/AIDS yang terus terdeteksi muncullah pernyataan-pernyataan tentang HIV/AIDS yang tidak akurat.
Salah satu mitos yang menyesatkan adalah mengaitkan penularan HIV/AIDS dengan sifat hubungan seksual, seperti di luar nikah, seks pranikah, selingkuh, zina, pelacuran, dll. Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam atau di luar nikah karena penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual. Penularan HIV/AIDS melalaui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta.
Risiko penularan HIV/AIDS antara sifat dan kondisi hubungan seksual (Dok Pribadi)
Tapi, karena sejak awal informasi HIV/AIDS sudah merupakan mitos akibatnya banyak orang yang merasa tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran.
Perempuan-perempuan yang terlibat dalam praktik kawin-kontrak adalah perempuan dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena mereka melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Mereka ini sama saja dengan PSK, tapi tidak kasat mata yang disebut PSK tidak langsung. Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga perempuan pelaku kawin-kontrak berisiko pula tertular HIV/AIDS.
Upaya mencegah kawin-kontrak akan jauh lebih efektif jika dikaitkan dengan risiko penularan IMS dan HIV/AIDS daripada hanya dari aspek agama dan hukum (polisional). Soalnya, kalau dari aspek agama banyak penafsiran tentang kawin-kontrak atau nikah mut’ah. Sedangkan tindakan polisional terjadi setelah kegiatan seksual sehingga biar pun ditangkap penularan IMS atau HIV/AIDS sudah terjadi.
Laki-laki pelaku kawin-kontrak yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Yang beristri akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya. Laporan Kemenkes menyebutkan 16.854 ibu rumah tangga terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Ini jadi indikator terkait perilaku seksual suami, al. terlibat dalam kawin-cerai.
Pemerintah tidak akan bisa mencegah kawin-kontrak karena berlangsung di bawah tanah yang melibatkan banyak pihak karena terkait dengan uang yang jumlahnya besar. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi melalui hubungan seksual pada kawin-kontrak yang pada akhirnya akan masuk ke populasi dan bermuara pada ‘ledakan AIDS’.
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: