Syaihindonesia.com - Kerajaan Ubaidiyyah merupakan kerajaan beraliran Syiah yang tumbuh subur di Afrika Utara pasca melemahnya kerajaan Aghlabiah yang bermazhab Maliki Sunni. Jika melihat secara keseluruhan, kerajaan ini memiliki dua nama tersohor, Ubaidiyyah dan Fathimiyyah.
Nama Ubaidiyyah dinisbatkan kepada pendirinya, Ubaidillah Al-Mahdi. Sedangkan nama Fathimiyyah, dinisbatkan nasabnya kepada Fathimah Az-Zahra. Sejumlah ahli berbeda pendapat mengenai nasab dari Al-Mahdi, namun mayoritas sejarawan berpendapat bahwa nasabnya bersambung kepada Ali bin Abi Thalib.
Hasan Husni Abdul Wahhab dalam karyanya Khulasat Tarikh Tunis, memaparkan, bahwa Ubaidiyyah dan Fathimiyyah adalah satu kerajaan yang sama, namun para ahli sejarah membedakan diantara keduanya. Penyebutan Ubaidiyyah disematkan saat kerajaan berpusat di Afrika Utara (Tunisia), sedangkan Fathimiyyah saat kerajaan berpusat di Mesir.
Sebelum Ubaidiyyah berdiri, pergerakan aliran Syiah mendapat kekangan dari dua dinasti besar Dinasti Umawiyah dan Dinasti Abbasiyah. Keyakinan kelompok Syiah bahwa jabatan khalifah seharusnya diberikan kepada mereka yang notabene keturunan Ali bin Abi Talib, menjadi ancaman tersendiri bagi lawan politiknya. Maka upaya penyebaran paham Syiah dibatasi sehingga tidak dapat menyebarluas di masyarakat.
Meskipun mendapat tekanan dari pemerintahan pusat, kelompok ini faktanya tetap dapat bertahan di sekitar Yaman sebab letaknya jauh dari pusat pemerintahan. Untuk menyebarluaskan pemahamannya, mereka mengirim para tokoh agamanya ke berbagai wilayah termasuk pengutusan Abu Abdullah as-Sana’ni ke Maghrib diawal tahun 280 H.
Abu Abdullah as Sana’ni tinggal di pemukiman bangsa Barbar dari suku Kutama Maroko. Berbeda dengan dakwah Syiah yang tertolak di sejumlah wilayah, dakwah yang dibawa as-San’ani justru mendapat dukungan penuh dari masyarakat tersebut.
Bahkan, ia berhasil menarik beberapa tokoh besar untuk bergabung dengan kelompoknya. Pengajian Islami yang ia gelar pun hari demi hari kian ramai dikunjungi warga. Dalam waktu singkat, kelompok kecil ini mampu menyebar begitu luas sehingga memiliki banyak pengikut.
Muhammad Jamaluddin Surur dalam karyanya Tarikh Daulah Fathimiyyah menjelaskan bahwa penyebaran paham Syiah di Afrika Utara telah dilakukan sebelum kedatangan as-San’ani. Seperti yang dilakukan oleh Idris bin Abdullah, yang melarikan diri ke Maghrib Aqsa (Maroko dan sekitarnya) pasca kekalahan melawan Dinasti Abbasiyah tahun 169 H.
Disana ia mendirikan kerajaan Alawiyah atau yang dikenal dengan Idrisiyah. Adanya kerajaan ini cukup membantu dua tokoh, Abu Sufyan dan Hulwani untuk mempromosikan imam mereka Al-Mahdi kepada masyarakat Barbar. Pendirian kerajaan dibawah Al-Mahdi pun sudah ditunggu – tunggu masyarakat Barbar. Oleh karena itu, saat kedatangan Abu Abdullah as-San’ani situasi sudah sangat mendukung.
As-San’ani tidak saja menyuarakan paham Syiah di Maroko, namun ia juga turut berdakwah ke Tunisia tahun 289 H. Bersama pasukannya, As-San’ani mulai melancarkan rencananya untuk dapat menduduki kursi pemerintahan Afrika Utara yang berpusat di Tunisia.
Satu persatu wilayah ini dapat ditaklukan. Aghlabiah yang sedang dilanda konflik internal, tidak dapat melindungi wilayahnya dari kekalahan. Pertempuran besar antar kedua belah pihak terjadi pada tahun 296 M. As-San’ani berhasil memenangkan pertempuran dan menguasai Kairouan (ibu kota Afrika Utara) pasca ditinggalkan raja terakhir Aghlabiah.
Ubaidillah al-Mahdi pendiri kerajaan Ubaidiyyah
Setelah menstabilkan situasi, pasukan As-San’ani menuju Sijilmasa untuk membebaskan Ubaidillah Al-Mahdi dari penjara. Saat Amir Sijilmasa mengetahui akan adanya penyerangan, ia pergi dari istananya. Tampuk kekuasaan kemudian diberikan kepada Al-Mahdi selaku keturunan ke-lima dari Imam Syiah ke-tujuh yakni Ismail bin Ja’far Shadiq.
Al-Mahdi kemudian menuju Tunisia dan mengambil alih istana megah Raqqadah sebagai tempat peristirahatannya. Lalu membuat kebijakan bahwa masyarakat diwajibkan untuk menyebutan namanya (Mahdi Amirul Mu’minin) di setiap khutbah. Dengan kondisi demikian, Kerajaan Ubaidiyyah resmi berdiri (297 H).
Politik Al-Mahdi dalam memperkuat kedudukannya di Afrika Utara
Setelah dibaiat menjadi khalifah, Al-Mahdi mengutus Abu Abdullah as-Sana’ni untuk menaklukan sisa-sisa Afrika Utara yang belum tunduk yakni di wilayah barat dan tengah. Tahun 298 H, mereka berhasil menguasai salah satu suku ternama yakni suku Zenata.
Meskipun Al-Mahdi telah resmi diangkat menjadi khalifah, namun sebenarnya sebagain besar wilayah Afrika Utara ditaklukan oleh Abu Abdullah. Sehingga Abu Abdullah pun mendapat sokongan penuh dari warganya terutama suku Kutama. Hal ini dirasa membahayakan posisi Al-Mahdi sebagai khalifah, sehingga ia memutuskan untuk membunuh Abu Abdullah dan saudaranya Abu Abbas pada tahun 298 H.
Peristiwa ini sontak mendapat kecaman dari suku Kutama. Mereka bertempur melawan pengikut Al-Mahdi dan melakukan pemberontakan di Tripoli. Al-Mahdi tidak mampu meredam gerakan ini, maka ia mengutus anaknya, Abu al-Qasim. Abu al-Qasim dan pasukannya berhasil menumpas gelombang pemberontakan tersebut.
Untuk mengamankan posisinya, Al-Mahdi menempatkan dua orang kepercayaannya, Habasah di wilayah timur dan Urbah bin Yusuf di tengah dan barat.
Kemudian ia mengutus panglima perangnya, Mesala bin Habus menuju Sanhaja dan Idrisiyah. Ia berhasil menaklukkan Nekor, kota besar masyarakat suku Sanhaja. Sedangkan Yahya bin Idris mengajukan kesepakatan damai setelah pasukannya dikalahkan. Sesuai janji, Mesala bin Habbus ditunjuk sebagai Gubernur Fes. Sedangkan Musa bin Abi Afiayah ditunjuk sebagai gubernur di wilayah timur lainnya.
Kekuatan Musa bin Abi ‘Afiyah, terus bertambah, khususnya pasca Mesala bin Habus wafat. Ia tidak lagi tunduk pada Al-Mahdi dan berpindah haluan pada Abdurrahman an-Nashir al-Umawi di Spanyol. Lagi – lagi penyelewengan ini mampu diselesaikan oleh putra Al-Mahdi, Abu al-Qasim.
Pembangunan kota Mahdiah Tunisia sebagai ibu kota kerajaan
Untuk melindungi kekhilafahan, ia membutuhkan wilayah strategis dan aman untuk dijadikan ibu kota sekaligus pusat penyebaran sekte Isma’illiyah. Pilihan itu jatuh ke kota Mahdiah, 60 mil dari selatan Kairouan.
Al-Mahdi melakukan pembangunan besar – besaran di kota ini termasuk benteng – benteng menjulang tinggi di sekitar kota untuk menghalau serangan dari luar. Tidak hanya itu, ia juga membangun industri kelautan untuk memperkuat armada militernya.
Setelah Al-Mahdi selesai membangun kota Mahdiah, ia membangun kota – kota lain disekelilingnya. Diantara dua kota ia menempatkan benteng – benteng besar yang disebut Zawilah dinisbatkan kepada salah satu nama kabilah Barbar. Semua ini dilakukan demi jaminan keamanan ibu kota.
Konflik Al-Qaim bi Amrillah dengan kelompok Khawarij
Situasi cukup berat dialami Abu al-Qasim (Al Qaim bi Amrillah) pasca wafatnya sang ayah tahun 322 H. Hambatan pertama ia harus menghadapi Ibnu Thaluth Al-Qurashi yang melakukan propaganda mengaku sebagai putra Al-Mahdi. Setelah kebohongannya terbongkar ia dibunuh.
Disisi lain Abu Yazid Makhlad bin Kaidad, tokoh dari kabilah Zenata yang berpaling tunduk ke Dinasti Umawiyah di Spanyol mulai memperkuat kekuasaannya di bagian tengah Afrika Utara. Abu Yazid Makhlad pemuda asal Touzer Tunisia ini, menganut paham Khawarij Sufriyyah. Ia dan masyarakat Zenata lainnya berseberangan dengan Ubaidiyyah terlebih pasca terjadinya kasus diskriminasi politis terhadap kabilah Kutama.
Abu Yazid bermarkas di Tiaret. Ia mengajar Al-Qur’an serta menyebarkan paham Khawarij kepada masyarakat sekitar. Ia pun mengajak mereka untuk melepaskan diri dari pengaruh Ubaidiyyah. Abu Yazid memiliki tujuan utama untuk menciptakan kerajaan Barbar tanpa campur tangan bangsa Arab.
Para suku Barbar ini menganggap bahwa mereka punya peranan penting dalam pembebasan Spanyol dan pendirian Dinasti Ubaidiyyah. Namun, kerja keras mereka seakan – akan dikhianati. Masyarakat Barbar tidak mendapat hasil apapun dan terkesan hanya dimanfaatkan pihak lain. Oleh karena itu, Abu Yazid berinisiatif untuk mengambil sesuatu yang seharusnya menjadi hak suku Barbar.
Abu Yazid melakukan serangan menuju Raqqadah tempat dimana Al-Qaim raja Ubaidiyyah bermukim. Pasukannya bertambah besar dengan bergabungnya kabilah Kutama. Ia berhasil menguasai beberapa wilayah sekitar kota Madinah yang mengakibatkan penduduknya berimigrasi ke Tripoli, Sisilia dan Mesir.
Namun, kekuatan tempur Abu Yazid hanya dapat bertahan sebentar saja sebab banyak dari pasukannya justru bergabung dengan pihak Ubaidiyyah. Mengingat pasukannya terbatas ia mengurungkan niat untuk menuju Raqqadah dan beralih ke Kairouan. Di tahun wafatnya al-Qaim (334 M), Abu Yazid berhasil menguasai Kairouan.
Di era Ismail al-Mansur ibu kota kerajaan dialihkan ke Mansuriyah
Kepemimpinan Ubaidiyyah dilanjutkan oleh putra al-Qaim, Ismail yang dijuluki al-Mansur. Pria ini berhasil menumpas gerakan Abu Yazid setelah mendapat dukungan kuat dari kabilah Sanhaja.
Meskipun Abu Yazid telah wafat akibat luka parah yang ia derita, namun pemberontakan belum padam sepenuhnya. Sejumlah kelompok Khawarij di berbagai wilayah sempat muncul kepermukaan dan melakukan pemberontakan. Namun, hal ini dapat ditumpas oleh panglima sekaligus putra al-Mansur, Muiz Li Dinillah.
Akibat sering terjadinya pemberontakan berdampak besar terhadap ekonomi Ubaidiyyah .Melihat keadaan ini Al-Mansur kemudian melakukan gebrakan – gebrakan seperti memaksimalkan perdagangan untuk menggenjot ekonomi negara, mendirikan armada laut besar, serta membangun kota al-Mansuriah sebagai ibu kota.
Untuk memperkuat ketahanan ekonomi di ibu kota, ia memindahkan pasar dan industri di Kairouan ke al-Mansuriah. Situasi kondusif serta infrastruktur yang memadai membuat peradaban di kota ini semakin berkembang.
Situasi tidak kunjung stabil Muiz Li Dinillah putuskan alihkan ibu kota ke Mesir
Tahun 341 H, Al-Mansur meninggal lalu digantikan oleh putranya Muiz Li Dinillah. Untuk memperkuat eksistensi kerajaan Ubaidiyyah, Muiz bin Li Dinillah mengutus Jauhar as-Siqli untuk menaklukan sisa – sisa wilayah Afrika Utara.
Tahun 347 H, pasukan ini memulai ekspedisi menuju Tiaret. Panglima kuat Ziri bin Manad as-Sanhaji ikut dalam misi pembebasan ini. Mereka berhasil menguasai Tiaret setelah mengalahkan Ya’la bin Muhammad, satu tokoh kabilah Zenata yang mengkhianati kerajaan Ubaidiyyah.
Perjalanan kemudian berlanjut menuju Fes, Sijilmasa dan seluruh wilayah sekitar Maroko hingga ke pesisir Samudera Atlantik. Dari wilayah – wilayah yang ditaklukan hanya Sabta dan Tangier yang melakukan perlawanan sengit. Pasukan ini kembali menuju Mahdiah setelah dakwah Ubaidiyyah telah disebar di seluruh Maghrib.
Meskipun upaya keras dua panglima untuk menegaskan eksistensi Ubaidiyyah, namun situasi di Afrika Utara belum bisa dinyatakan stabil. Beberapa kali pemberontakan terhadap kerajaan Ubaidiyyah tetap terjadi. Seperti saat ibu kota hendak dialihkan menuju Mesir, terjadi pemberontakan yang dilakukan masyarakat Baghai, Tiaret dan Zenata di Tlemcen. Konflik ini dapat dihentikan oleh Yusuf bin Ziri.
Melihat situasi Afrika Utara yang tidak dapat dikendalikan meskipun sebagaian besar wilayah sudah ditaklukan, maka Muiz Li Dinillah memutuskan untuk memindahkan ibu kota menuju Mesir. Mesir dinilai sebagai lokasi yang pas sebab memiliki harta kekayaan melimpah serta lokasinya yang dekat dengan Baghdad . Hal ini dirasa mampu menyokong Dinasti Ubaidiyyah untuk bersaing dengan kekuatan Dinasti Abbasiyah. bincangsyariah.com
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Nama Ubaidiyyah dinisbatkan kepada pendirinya, Ubaidillah Al-Mahdi. Sedangkan nama Fathimiyyah, dinisbatkan nasabnya kepada Fathimah Az-Zahra. Sejumlah ahli berbeda pendapat mengenai nasab dari Al-Mahdi, namun mayoritas sejarawan berpendapat bahwa nasabnya bersambung kepada Ali bin Abi Thalib.
Hasan Husni Abdul Wahhab dalam karyanya Khulasat Tarikh Tunis, memaparkan, bahwa Ubaidiyyah dan Fathimiyyah adalah satu kerajaan yang sama, namun para ahli sejarah membedakan diantara keduanya. Penyebutan Ubaidiyyah disematkan saat kerajaan berpusat di Afrika Utara (Tunisia), sedangkan Fathimiyyah saat kerajaan berpusat di Mesir.
Sebelum Ubaidiyyah berdiri, pergerakan aliran Syiah mendapat kekangan dari dua dinasti besar Dinasti Umawiyah dan Dinasti Abbasiyah. Keyakinan kelompok Syiah bahwa jabatan khalifah seharusnya diberikan kepada mereka yang notabene keturunan Ali bin Abi Talib, menjadi ancaman tersendiri bagi lawan politiknya. Maka upaya penyebaran paham Syiah dibatasi sehingga tidak dapat menyebarluas di masyarakat.
Meskipun mendapat tekanan dari pemerintahan pusat, kelompok ini faktanya tetap dapat bertahan di sekitar Yaman sebab letaknya jauh dari pusat pemerintahan. Untuk menyebarluaskan pemahamannya, mereka mengirim para tokoh agamanya ke berbagai wilayah termasuk pengutusan Abu Abdullah as-Sana’ni ke Maghrib diawal tahun 280 H.
Abu Abdullah as Sana’ni tinggal di pemukiman bangsa Barbar dari suku Kutama Maroko. Berbeda dengan dakwah Syiah yang tertolak di sejumlah wilayah, dakwah yang dibawa as-San’ani justru mendapat dukungan penuh dari masyarakat tersebut.
Bahkan, ia berhasil menarik beberapa tokoh besar untuk bergabung dengan kelompoknya. Pengajian Islami yang ia gelar pun hari demi hari kian ramai dikunjungi warga. Dalam waktu singkat, kelompok kecil ini mampu menyebar begitu luas sehingga memiliki banyak pengikut.
Muhammad Jamaluddin Surur dalam karyanya Tarikh Daulah Fathimiyyah menjelaskan bahwa penyebaran paham Syiah di Afrika Utara telah dilakukan sebelum kedatangan as-San’ani. Seperti yang dilakukan oleh Idris bin Abdullah, yang melarikan diri ke Maghrib Aqsa (Maroko dan sekitarnya) pasca kekalahan melawan Dinasti Abbasiyah tahun 169 H.
Disana ia mendirikan kerajaan Alawiyah atau yang dikenal dengan Idrisiyah. Adanya kerajaan ini cukup membantu dua tokoh, Abu Sufyan dan Hulwani untuk mempromosikan imam mereka Al-Mahdi kepada masyarakat Barbar. Pendirian kerajaan dibawah Al-Mahdi pun sudah ditunggu – tunggu masyarakat Barbar. Oleh karena itu, saat kedatangan Abu Abdullah as-San’ani situasi sudah sangat mendukung.
As-San’ani tidak saja menyuarakan paham Syiah di Maroko, namun ia juga turut berdakwah ke Tunisia tahun 289 H. Bersama pasukannya, As-San’ani mulai melancarkan rencananya untuk dapat menduduki kursi pemerintahan Afrika Utara yang berpusat di Tunisia.
Satu persatu wilayah ini dapat ditaklukan. Aghlabiah yang sedang dilanda konflik internal, tidak dapat melindungi wilayahnya dari kekalahan. Pertempuran besar antar kedua belah pihak terjadi pada tahun 296 M. As-San’ani berhasil memenangkan pertempuran dan menguasai Kairouan (ibu kota Afrika Utara) pasca ditinggalkan raja terakhir Aghlabiah.
Ubaidillah al-Mahdi pendiri kerajaan Ubaidiyyah
Setelah menstabilkan situasi, pasukan As-San’ani menuju Sijilmasa untuk membebaskan Ubaidillah Al-Mahdi dari penjara. Saat Amir Sijilmasa mengetahui akan adanya penyerangan, ia pergi dari istananya. Tampuk kekuasaan kemudian diberikan kepada Al-Mahdi selaku keturunan ke-lima dari Imam Syiah ke-tujuh yakni Ismail bin Ja’far Shadiq.
Al-Mahdi kemudian menuju Tunisia dan mengambil alih istana megah Raqqadah sebagai tempat peristirahatannya. Lalu membuat kebijakan bahwa masyarakat diwajibkan untuk menyebutan namanya (Mahdi Amirul Mu’minin) di setiap khutbah. Dengan kondisi demikian, Kerajaan Ubaidiyyah resmi berdiri (297 H).
Politik Al-Mahdi dalam memperkuat kedudukannya di Afrika Utara
Setelah dibaiat menjadi khalifah, Al-Mahdi mengutus Abu Abdullah as-Sana’ni untuk menaklukan sisa-sisa Afrika Utara yang belum tunduk yakni di wilayah barat dan tengah. Tahun 298 H, mereka berhasil menguasai salah satu suku ternama yakni suku Zenata.
Meskipun Al-Mahdi telah resmi diangkat menjadi khalifah, namun sebenarnya sebagain besar wilayah Afrika Utara ditaklukan oleh Abu Abdullah. Sehingga Abu Abdullah pun mendapat sokongan penuh dari warganya terutama suku Kutama. Hal ini dirasa membahayakan posisi Al-Mahdi sebagai khalifah, sehingga ia memutuskan untuk membunuh Abu Abdullah dan saudaranya Abu Abbas pada tahun 298 H.
Peristiwa ini sontak mendapat kecaman dari suku Kutama. Mereka bertempur melawan pengikut Al-Mahdi dan melakukan pemberontakan di Tripoli. Al-Mahdi tidak mampu meredam gerakan ini, maka ia mengutus anaknya, Abu al-Qasim. Abu al-Qasim dan pasukannya berhasil menumpas gelombang pemberontakan tersebut.
Untuk mengamankan posisinya, Al-Mahdi menempatkan dua orang kepercayaannya, Habasah di wilayah timur dan Urbah bin Yusuf di tengah dan barat.
Kemudian ia mengutus panglima perangnya, Mesala bin Habus menuju Sanhaja dan Idrisiyah. Ia berhasil menaklukkan Nekor, kota besar masyarakat suku Sanhaja. Sedangkan Yahya bin Idris mengajukan kesepakatan damai setelah pasukannya dikalahkan. Sesuai janji, Mesala bin Habbus ditunjuk sebagai Gubernur Fes. Sedangkan Musa bin Abi Afiayah ditunjuk sebagai gubernur di wilayah timur lainnya.
Kekuatan Musa bin Abi ‘Afiyah, terus bertambah, khususnya pasca Mesala bin Habus wafat. Ia tidak lagi tunduk pada Al-Mahdi dan berpindah haluan pada Abdurrahman an-Nashir al-Umawi di Spanyol. Lagi – lagi penyelewengan ini mampu diselesaikan oleh putra Al-Mahdi, Abu al-Qasim.
Pembangunan kota Mahdiah Tunisia sebagai ibu kota kerajaan
Untuk melindungi kekhilafahan, ia membutuhkan wilayah strategis dan aman untuk dijadikan ibu kota sekaligus pusat penyebaran sekte Isma’illiyah. Pilihan itu jatuh ke kota Mahdiah, 60 mil dari selatan Kairouan.
Al-Mahdi melakukan pembangunan besar – besaran di kota ini termasuk benteng – benteng menjulang tinggi di sekitar kota untuk menghalau serangan dari luar. Tidak hanya itu, ia juga membangun industri kelautan untuk memperkuat armada militernya.
Setelah Al-Mahdi selesai membangun kota Mahdiah, ia membangun kota – kota lain disekelilingnya. Diantara dua kota ia menempatkan benteng – benteng besar yang disebut Zawilah dinisbatkan kepada salah satu nama kabilah Barbar. Semua ini dilakukan demi jaminan keamanan ibu kota.
Konflik Al-Qaim bi Amrillah dengan kelompok Khawarij
Situasi cukup berat dialami Abu al-Qasim (Al Qaim bi Amrillah) pasca wafatnya sang ayah tahun 322 H. Hambatan pertama ia harus menghadapi Ibnu Thaluth Al-Qurashi yang melakukan propaganda mengaku sebagai putra Al-Mahdi. Setelah kebohongannya terbongkar ia dibunuh.
Disisi lain Abu Yazid Makhlad bin Kaidad, tokoh dari kabilah Zenata yang berpaling tunduk ke Dinasti Umawiyah di Spanyol mulai memperkuat kekuasaannya di bagian tengah Afrika Utara. Abu Yazid Makhlad pemuda asal Touzer Tunisia ini, menganut paham Khawarij Sufriyyah. Ia dan masyarakat Zenata lainnya berseberangan dengan Ubaidiyyah terlebih pasca terjadinya kasus diskriminasi politis terhadap kabilah Kutama.
Abu Yazid bermarkas di Tiaret. Ia mengajar Al-Qur’an serta menyebarkan paham Khawarij kepada masyarakat sekitar. Ia pun mengajak mereka untuk melepaskan diri dari pengaruh Ubaidiyyah. Abu Yazid memiliki tujuan utama untuk menciptakan kerajaan Barbar tanpa campur tangan bangsa Arab.
Para suku Barbar ini menganggap bahwa mereka punya peranan penting dalam pembebasan Spanyol dan pendirian Dinasti Ubaidiyyah. Namun, kerja keras mereka seakan – akan dikhianati. Masyarakat Barbar tidak mendapat hasil apapun dan terkesan hanya dimanfaatkan pihak lain. Oleh karena itu, Abu Yazid berinisiatif untuk mengambil sesuatu yang seharusnya menjadi hak suku Barbar.
Abu Yazid melakukan serangan menuju Raqqadah tempat dimana Al-Qaim raja Ubaidiyyah bermukim. Pasukannya bertambah besar dengan bergabungnya kabilah Kutama. Ia berhasil menguasai beberapa wilayah sekitar kota Madinah yang mengakibatkan penduduknya berimigrasi ke Tripoli, Sisilia dan Mesir.
Namun, kekuatan tempur Abu Yazid hanya dapat bertahan sebentar saja sebab banyak dari pasukannya justru bergabung dengan pihak Ubaidiyyah. Mengingat pasukannya terbatas ia mengurungkan niat untuk menuju Raqqadah dan beralih ke Kairouan. Di tahun wafatnya al-Qaim (334 M), Abu Yazid berhasil menguasai Kairouan.
Di era Ismail al-Mansur ibu kota kerajaan dialihkan ke Mansuriyah
Kepemimpinan Ubaidiyyah dilanjutkan oleh putra al-Qaim, Ismail yang dijuluki al-Mansur. Pria ini berhasil menumpas gerakan Abu Yazid setelah mendapat dukungan kuat dari kabilah Sanhaja.
Meskipun Abu Yazid telah wafat akibat luka parah yang ia derita, namun pemberontakan belum padam sepenuhnya. Sejumlah kelompok Khawarij di berbagai wilayah sempat muncul kepermukaan dan melakukan pemberontakan. Namun, hal ini dapat ditumpas oleh panglima sekaligus putra al-Mansur, Muiz Li Dinillah.
Akibat sering terjadinya pemberontakan berdampak besar terhadap ekonomi Ubaidiyyah .Melihat keadaan ini Al-Mansur kemudian melakukan gebrakan – gebrakan seperti memaksimalkan perdagangan untuk menggenjot ekonomi negara, mendirikan armada laut besar, serta membangun kota al-Mansuriah sebagai ibu kota.
Untuk memperkuat ketahanan ekonomi di ibu kota, ia memindahkan pasar dan industri di Kairouan ke al-Mansuriah. Situasi kondusif serta infrastruktur yang memadai membuat peradaban di kota ini semakin berkembang.
Situasi tidak kunjung stabil Muiz Li Dinillah putuskan alihkan ibu kota ke Mesir
Tahun 341 H, Al-Mansur meninggal lalu digantikan oleh putranya Muiz Li Dinillah. Untuk memperkuat eksistensi kerajaan Ubaidiyyah, Muiz bin Li Dinillah mengutus Jauhar as-Siqli untuk menaklukan sisa – sisa wilayah Afrika Utara.
Tahun 347 H, pasukan ini memulai ekspedisi menuju Tiaret. Panglima kuat Ziri bin Manad as-Sanhaji ikut dalam misi pembebasan ini. Mereka berhasil menguasai Tiaret setelah mengalahkan Ya’la bin Muhammad, satu tokoh kabilah Zenata yang mengkhianati kerajaan Ubaidiyyah.
Perjalanan kemudian berlanjut menuju Fes, Sijilmasa dan seluruh wilayah sekitar Maroko hingga ke pesisir Samudera Atlantik. Dari wilayah – wilayah yang ditaklukan hanya Sabta dan Tangier yang melakukan perlawanan sengit. Pasukan ini kembali menuju Mahdiah setelah dakwah Ubaidiyyah telah disebar di seluruh Maghrib.
Meskipun upaya keras dua panglima untuk menegaskan eksistensi Ubaidiyyah, namun situasi di Afrika Utara belum bisa dinyatakan stabil. Beberapa kali pemberontakan terhadap kerajaan Ubaidiyyah tetap terjadi. Seperti saat ibu kota hendak dialihkan menuju Mesir, terjadi pemberontakan yang dilakukan masyarakat Baghai, Tiaret dan Zenata di Tlemcen. Konflik ini dapat dihentikan oleh Yusuf bin Ziri.
Melihat situasi Afrika Utara yang tidak dapat dikendalikan meskipun sebagaian besar wilayah sudah ditaklukan, maka Muiz Li Dinillah memutuskan untuk memindahkan ibu kota menuju Mesir. Mesir dinilai sebagai lokasi yang pas sebab memiliki harta kekayaan melimpah serta lokasinya yang dekat dengan Baghdad . Hal ini dirasa mampu menyokong Dinasti Ubaidiyyah untuk bersaing dengan kekuatan Dinasti Abbasiyah. bincangsyariah.com
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: