Syiahindonesia.com - Perlindungan negara terhadap kaum minoritas beragama mesti dilakukan dari perspektif hak asasi manusia (HAM), bukan lewat pendekatan jumlah. Tujuannya, hak beribadah hingga berkegiatan ekonomi setiap warga bisa lebih terjamin.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas membuat pernyataan kontroversial sehari usai dilantik Presiden Joko Widodo. Pada Kamis, (24/12), ia mengatakan bakal memberikan perlindungan kepada kelompok Syiah dan Ahmadiyah.
Yaqut tidak ingin ada kelompok beragama yang terusir dari kampung halaman mereka karena keyakinan yang mereka anut.
"Mereka warga negara yang harus dilindungi," kata dia, seperti dikutip dari Antara, Kamis (24/12).
Pernyataan pria yang akrab disapa Gus Yaqut itu kemudian langsung mendapat sorotan karena dianggap melindungi kaum yang melenceng dari ajaran Islam.
Sehari setelahnya, Gus Yaqut mengklarifikasi ucapannya bahwa ia tak akan memberikan perlindungan khusus kepada Syiah dan Ahmadiyah. Perlindungan itu berlaku bagi semua warga negara.
Hal itu pun dikatakan merespons permintaan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra agar pemerintah mengafirmasi kelompok minoritas, terutama mereka yang kerap terpisah dan dipersekusi.
Sosiolog dari Universitas Nasional Sigit Rochadi menilai pernyataan Yaqut soal perlindungan kepada seluruh warga negara sudah tepat. Menurut dia, sesuai konstitusi, Menag harus menggunakan pendekatan hak asasi manusia (HAM) terkait masalah ini.
"Kalau pendekatan hak, sekecil apapun pengikutnya, dia punya hak untuk dilindungi, dilayani, punya hak untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya," kata Sigit saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (28/12).
Menurut Sigit, secara sosiologis, pendekatan hak akan mengangkat, memuliakan, serta membangun derajat kelompok-kelompok, baik minoritas maupun mayoritas.
Sementara, katanya, menteri-menteri sebelum Yaqut masih mengedepankan pendekatan jumlah pengikut kelompok agama. Hal ini kemudian yang membuat hak-hak kelompok minoritas terabaikan.
Sigit juga menekankan bahwa terkait jaminan perlindungan itu bukan sekadar kebebasan menjalankan ibadah atas agama dan kepercayaan yang mereka anut.
Menurut dia, negara mesti memberikan perlindungan hak ekonomi, pendidikan, dan hak-hak asasi lainnya kepada kelompok minoritas.
"Yang terpenting tidak melihat mayoritas-minoritas, tapi melihat sama-sama warga negara Indonesia yang punya hak untuk menjalankan agama dan kepercayaannya itu," ungkapnya.
"Semua warga negara itu punya hak sama, kedudukan yang sama di dalam hukum, pemerintahan, layanan sosial, baik ekonomi maupun non-ekonomi, dalam pendidikan mereka juga memperoleh layanan yang sama," kata Sigit.
Menurut laporan Wahid Foundation, ada 192 peristiwa dan 276 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang dipantau di 26 provinsi sepanjang 2018. Dari laporan itu, 138 institusi negara tercatat sebagai aktor pelanggar.
Infografis yang menerangkan tentang berbagai kasus pelanggaran HAM di Asia Tenggara.Infografis yang menerangkan tentang berbagai kasus pelanggaran HAM di Asia Tenggara. (v)
Selain itu, Imparsial melaporkan terdapat 31 kasus pelanggaran hak KBB yang terjadi di 15 provinsi dari hingga akhir 2019. Laporan kasus tertinggi yakni, 12 kasus berupa pelarangan atau pembubaran terhadap pelaksanaan ibadah agama atau kepercayaan tertentu dan 11 kasus pelarangan pendirian tempat ibadah.
Sementara, dalam laporan hukum dan HAM 2019, ada 15 kasus pelanggaran kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Rinciannya 4 kasus pelanggaran pendirian tempat ibadah, 3 kasus pelanggaran hak kegiatan keagamaan dan menganut agama.
Kemudian 2 kasus pelanggaran hak merayakan hari besar keagamaan dan hak pemakaman, serta 1 kasus pelanggaran hak beribadat.
Senada, peneliti sosial dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir menyampaikan perlindungan terhadap kelompok minoritas bukan sekadar menjamin kebebasan beragama.
Perlindungan juga berarti dalam hal jaminan bebas dari diskriminasi ekonomi, administrasi, dan sejumlah program pemerintah lainnya.
"Perlindungan terhadap Ahmadiyah dan Syiah dilakukan dalam kerangka kewarganegaraan, bukan aksi afirmatif," ujar Amin.
"Yang dibutuhkan oleh Ahmadiyah dan Syiah juga minoritas lainnya bukan kuota tertentu, melainkan kesetaraan dalam berpartisipasi dalam ruang publik politik. Tentu mencakup semua aspek kehidupan publik," ungkapnya.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos pun meminta ada tindakan nyata, tak hanya sekedar aksi simbolis, untuk menghilangkan intoleransi itu.
Misalnya, mencabut surat keputusan bersama (SKB) menteri agama dan menteri dalam negeri tentang pendirian rumah ibadah; mencabut SKB menteri terkait larangan Ahmadiyah serta Gafatar, hingga menghapus pasal penodaan agama.
"Jangan seperti kemarin, ide tentang terowongan silaturahmi, itu kan hanya bermain di tingkat simbol, bermain di tingkat retorika, tetapi tidak ada tindakan kongkret," kata Bonar.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi mendukung rencana pembangunan terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral alias terowongan silaturahmi. Ia menyebut pembangunan terowongan ini merupakan simbol silaturahmi bagi masing-masing rumah ibadah. cnnindonesia.com
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: