Dalam pembicaraan Taliban-Iran di Teheran pada bulan (Januari 2021) lalu, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, Ali Shamkhani, mengatakan kepada delegasi Taliban bahwa "Strategi Amerika Serikat adalah mendukung berlanjutnya kekerasan dan perang antarkelompok di Afghanistan dalam spektrum politik," demikian menurut kantor berita negara Iran IRNA.
Namun Kepala Biro Politik Taliban Abdul Ghani Baradar enggan berbasa-basi dan mengatakan: "Kami tidak percaya dengan Amerika Serikat dan kami akan melawan kelompok mana pun yang memasok layanan tentara bayaran untuk AS."
Baradar juga menuduh pemerintahan Presiden AS Donald Trump yang baru saja berakhir telah gagal bertindak konstruktif sesuai perjanjian yang ditandatangani dengan Taliban di Doha, Qatar, pada Februari 2020. Perjanjian ini berhasil ditandatangani setelah melalui negosiasi berkepanjangan.
Pembicaraan antara Taliban dan Iran belakangan ini tidak lagi dianggap sebagai hal yang luar biasa, tetapi tetap tidak ada kesepakatan pasti. Lagi pula, hubungan kedua pihak memang tidak selalu sedekat saat ini. Sebaliknya, keduanya adalah musuh bebuyutan sampai belum lama ini. Tahun 1998, Iran bahkan hampir saja melancarkan serangan militer terhadap Taliban, menyusul serangan militan Afghanistan dan Pakistan yang menewaskan 11 warga Iran, termasuk beberapa diplomat di kota Mazar-i-Sharif, Afghanistan utara.
Jalan panjang mencari dan menemukan mitra baru
Setelah serangan teror di New York dan Washington pada 11 September 2001, Iran mendukung Amerika Serikat dalam pertempuran melawan Taliban. Amerika mengatakan pemimpin al-Qaeda Osama bin Laden tanggung jawab atas peristiwa 9/11 tersebut.
Pada saat itu, bin Laden tinggal di Afghanistan dan para pemimpin Taliban menolak menyerahkannya. Tindakan ini mendorong AS, bersama dengan berbagai pihak dari Afghanistan, untuk berperang menggulingkan rezim Taliban. Kita juga mengetahui, bahwa penggulingan penguasa Iraq Saddam Husein juga didukung oleh Syiah Iran yang punya kepentingan dengan penyebaran syiah di Iraq.
Rezim memang runtuh, tapi Taliban terus berperang melawan pemerintah baru yang didukung Barat di Kabul, serta melawan tentara Afghanistan dan sekutu NATO-nya.
Para ekstremis militan ini tadinya dibiayai oleh Arab Saudi. Namun setelah invasi AS ke Irak pada tahun 2003, pendanaan ditanggung oleh yayasan swasta.
Riyadh telah memotong pendanaan mereka setelah Washington meningkatkan tekanannya terhadap Saudi dan sekutu dekatnya di kawasan itu. Taliban kemudian mulai mencari mitra baru. Iran menjadi jawabannya.
Demi kepentingan bersama, Syiah-Sunni pun bersatu
Awalnya, hubungan baru Iran-Taliban ini kelihatannya tidak terlalu menjanjikan. Dalam hal aqidah saja, meski sama-sama mengaku muslim, paham yang dianut keduanya sangat berbeda. Taliban bermazhab Sunni, sementara Iran bermazhab syiah, yang notabene tidak dalam masalah prinsip banyak bertentangan.
Iran menganggap dirinya sebagai pelindung dan pemimpin Syiah, sedangkan Taliban mendukung interpretasi Sunni salafi atas Islam. Tetapi kini perbedaan yang ibarat dua kutub ini tidak lagi penting, demikian menurut Hamidreza Azizi dari Institut Jerman untuk Keamanan dan Masalah-masalah Internasional (SWP) di Berlin, Jerman.
"Jelas bahwa kedua belah pihak mengambil pendekatan yang sangat pragmatis. Dari sudut pandang Iran, Taliban terlalu berpengaruh untuk diabaikan. Sebaliknya, Taliban tidak mengabaikan keyakinan manhaj mereka tapi mereka juga menunjukkan kesediaan untuk memainkan peran politik. Itu juga jelas (terlihat) dari pembicaraan mereka dengan Amerika Serikat tentang masa depan Afghanistan. Dan, pada gilirannya, ini adalah alasan bagi Iran untuk mempertahankan kontak dengan Taliban."
"Perkembangan itu adalah alasan lain mengapa Teheran tidak ingin kehilangan kontaknya dengan Afghanistan," ujar Azizi. Namun, hubungan ini tidak menghentikan pemerintah Iran untuk mempertahankan hubungan diplomatik dengan pemerintah resmi di Kabul.
"Pimpinan Iran jelas berpendapat bahwa tanpa kontak dengan semua pihak di Afghanistan, kepentingan mereka bisa terancam jika ada pergeseran kekuasaan di masa depan," tambah Azizi.
ISIS jadi musuh bersama
Perwakilan Iran dan Taliban telah berulang kali bertemu karena alasan ini. Tapi ini juga bukan alasan satu-satunya karena Teheran juga memasok senjata kepada Taliban.
Menurut laporan di majalah online, War on the Rocks, politisi senior Iran Ali Shamkhani mengakui fakta ini kepada pemerintah Afghanistan pada Desember 2018. Majalah tersebut mengutip dia yang mengatakan bahwa yang mereka pasok "hanyalah senjata kecil, bukan senjata tempur."
Pada saat itu, Shamkhani mengatakan senjata-senjata tersebut berfungsi untuk meningkatkan keamanan Taliban di wilayah perbatasan Iran-Afghanistan. Ada banyak penyelundup di wilayah tersebut dan sering terjadi penyeberangan perbatasan ilegal. Selain itu, berbagai kelompok militan Sunni saingan mereka, seperti Jundullah, juga aktif di daerah tersebut.
Iran dan Taliban punya banyak kepentingan yang sama. Keduanya berjuang agar AS menarik penuh militernya dari Afghanistan dan keduanya berperang melawan ISIS yang juga telah menginjakkan kaki di Afghanistan.
"Iran prihatin bahwa ketidakstabilan yang terus berlanjut di Afghanistan akan memberi lebih banyak ruang bagi ISIS dan kelompok Islam lainnya untuk bermanuver dan berpotensi membahayakan keamanan perbatasan timur Iran," kata Hamidreza Azizi. Dia mengatakan itulah mengapa Teheran memandang penting untuk menekan pemerintah Afghanistan dan Taliban agar dapat mencapai kompromi.
'Kawan baru' yang tidak populer di mata rakyat masing-masing
Di sisi lain, pemerintah AS juga punya tujuan yang sama. Upaya untuk mencapai solusi perdamaian nasional adalah bagian dari kesepakatan AS yang dicapai dengan Taliban pada Februari 2020.
Namun, mengingat kekerasan yang tengah berlangsung, pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah mengindikasikan bahwa pihaknya bermaksud untuk meninjau kembali kesepakatan yang dicapai di bawah pemerintahan Trump. Dan ini bisa menunda penarikan penuh pasukan AS dari Afghanistan tanpa batas waktu.
Azizi dari SWP meragukan bahwa warga Iran dan Afghanistan menyambut baik pertemanan antara Teheran dan Taliban. "Pendekatan itu mungkin melayani kepentingan keamanan Iran dan mempertahankan pengaruhnya di Afghanistan, tetapi harus dibayar dengan kerusakan parah atas citranya di mata penduduknya sendiri," kata pakar Iran itu.
Perasaan ini ternyata bukan cuma milik warga Iran. Keterlibatan Taliban dalam kekerasan yang berkelanjutan di Afghanistan berarti sebagian besar warga Afghanistan juga menentang hubungan kelompok militan tersebut dengan Iran, tambah Azizi. Demikian kami kutip tulisan dari dw dot com dengan beberapa perubahan seperluanya. Kesimpulannya, bahwa Taliban maupun Iran melakukan kerjasama karena masing-masing ada kepentingan saja. Sifatnya pun tidak akan permanen, ini didasari karena politik Iran yang merupakan Pusat syiah dan politik Taliban yang notabene Sunni tidak ada dorongan secara ediologi juga hanya sebagai jalan darurat agar beberapa tujuan politisnya bisa tercapai dalam waktu yang direncanakan. (Admin)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: