Dituduh Penganut Syiah yang Ingin Berontak, Imam Syafii Ditangkap
Setelah bebas, Imam Syafii tidak kembali ke Yaman atau pulang ke Makkah. Beliau justru menetap di Baghdad guna menimba ilmu. Ilustrasi/Ist
PADA tahun 179 H, Imam Syafi’i harus menelan pil pahit dalam kehidupan akademisnya. Bagaimana tidak? Di tahun yang sama itu wafat dua guru mulianya Imam Malik di Madinah dan Syaikh Kholid az-Zanji di Makkah. Namun, wafatnya kedua guru beliau tak lantas membuatnya larut dalam kesedihan.
Sebelum kepergian gurunya Imam Malik, Imam Syafi’i telah pula mengembara ke Kufah di Irak untuk berguru kepada ulama yang ada di sana. Di kota Kufah ini, atas bekal yang diberikan oleh Imam Malik, Imam Syafi’i bertemu dengan Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin al-Hasan, dua murid senior dari Imam Abu Hanifah.
Keduanya begitu menghargai sosok Imam Syafi’i karena kapasitas ilmu yang ada padanya. Begitu pula sikap Imam Syafi’i kepada keduanya.
Imam Syafi’i bermukim di kota Kufah selama hampir dua tahun, sebelum pergi ke beberapa daerah di Persia dan kemudian pulang kembali Kota Madinah sampai wafatnya Imam Malik.
Menikah
Belum lama tiba di Makkah, sekembalinya dari Madinah, Gubernur Yaman yang kala itu bertandang ke kota Makkah terkesima dengan kecerdasan dan keluasan ilmu Imam Syafi’i. Maka ia berencana membawa beliau ke Yaman untuk dijadikan staf ahli di kantor gubernur Yaman.
Ajakan itu diamini oleh Imam Syafi’i. Bukan semata untuk mengejar dunia, tetapi memang kewajiban Imam Syafi’i-lah yang harus mencari nafkah untuk keluarganya setelah sekian lama fokus menimba ilmu.
Kala itu Imam Syafi’i berusia 29 tahun. Selain bekerja, beliau juga tetap mencari ilmu dengan berguru ke beberapa ulama Yaman sekaligus mengajar para pemuda Yaman.
Ketika bekerja di negeri Yaman inilah Imam Syafi’i menikah dengan Hamidah binti Nafi’. Dari perkawinannya ini, beliau dikaruniai satu orang putra bernama Abu Utsman Muhammad dan dua orang putri bernama Fathimah dan Zainab.
Fitnah Keji
Ketika bekerja di Yaman itu, kondisi politik Bani Abbasiyah sedang tidak stabil. Sebabnya adalah adanya desas-desus bahwa pihak syiah di Yaman akan keluar dan memisahkan diri dari kekuasaan Bani Abbasiyah. Hingga pada puncaknya Sang Imam harus menerima fitnah keji yaitu tertuduh sebagai seorang syiah yang akan memberontak ke negara.
Selanjutnya, beserta sembilan orang lainnya, Sang Imam ditangkap dan digelandang ke kota Baghdad -ibukota negara pada waktu itu yang dipimpin oleh Khalifah Harun ar-Rasyid.
Singkat cerita, karena Khalifah begitu terkesan dengan jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh Sang Imam dan juga untaian nasihatnya yang justru membuat Sang Khalifah meneteskan air mata, juga karena kedekatan beliau dengan Imam Muhammad al-Hasan yang saat itu menjabat sebagai hakim agung; maka Imam Syafi’i dilepaskan dari semua tuduhan dan dibebaskan.
Setelah bebas dari pengadilan Khalifah, Imam asySyafi’i tidak langsung kembali ke Yaman atau pulang ke Makkah. Beliau justru menetap di Baghdad untuk sementara waktu guna menimba ilmu.
Sebagaimana diketahui pada waktu itu, Baghdad adalah ibukota yang menawarkan segala kemewahan termasuk perihal ilmu pengetahuan. Banyak terdapat perpustakaan besar yang tersebar di penjuru kota. Ratusan majlis ilmu yang dipimpin oleh syaikh-syaikh berkualitas dengan spesialisasi ilmunya masing-masing.
Sejarah mencatat, di perjalanan keduanya ke Irak ini beliau berguru kepada para ulama Irak diantaranya Imam Waki’ bin Jarrah dan lainnya.
Sumber kalam.sindonews dot com/ tulisan dari : Miftah H. Yusufpati
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: