Hubungan antara Iran dan perlawanan Palestina bermula sejak awal revolusi Iran tahun 1979, hubungan ini berkali-kali naik-turun. Yang terakhir, setelah pecahnya revolusi Suriah, Hamas memutuskan untuk hengkang dari Suriah dan mengecam politik Iran di Suriah.
Hal ini menyebabkan pendinginan serius hubungan Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah (Hamas) dengan Iran dan sekutunya. Setelah keluar dari Suriah yang merupakan bekas aliansi pentingnya, Lebanaon yang merupakan sekutu Iran juga mengusir beberapa pimpinan dan anggota Hamas. (Ahrar Press 25/06/2013).
Hubungan Hamas dengan Iran pulih terutama setelah 2014, setelah kemunduran revolusi Arab di Suriah dan Mesir khususnya, yang merupakan aliansi terakhir yang diandalkan Hamas untuk membantu perannya.
Di banyak negara-negara Arab, Hamas bukan hanya tidak mau dibantu, Hamas dicap sebagai organisasi “teroris”, pendukungnya yang mengumpulkan bantuan untuk rakyat Gaza ditangkap. Negara-negara ini juga mengejar para kadernya. (dikutip Arabi21.com, 09/09/2019).
Kritikan banyak muncul atas hubungan Iran-Hamas, terutama usai ucapan belasungkawa Hamas terhadap Soleimani. Banyak pernyataan –bahkan tuduhan yang tidak kalah kejamnya- dengan menyebut Hamas adalah antek Syiah. Benarkah demikian?
‘Hubungan-hubungan yang rumit’
Persoalan di Timur Tengah tidak bisa (hanya) dibaca dengan kaca-mata hitam dan putih, atau dengan kacamata fikih semata-mata. Sebab ada beberapa persoalan lain yang mempengaruhinya. Ada hubungan bernilai politik, ekonomi bahkan pragmatis. Masing-masing harus diurai satu persatu.
Mari kita diskusikan.
September 2019, Badan Intelijen Keamanan Negara Saudi (SSI) menahan salah satu pemimpin senior Hamas, Mohammed Saleh Al-Khodari yang tinggal di Arab Saudi bersama putranya. Saudi menolak seluruh upaya mediasi dan campur tangan untuk pembebasan.
Mohammed Saleh Al-Khodari, kini usianya 81 tahun. Pria yang sudah tinggal di Jeddah selama hampir tiga dekade ini adalah penanggung jawab untuk mengelola hubungan dengan Arab Saudi.
Dengan kondisi kesehatan dan penyakit kronis, pemerintah Saudi tidak ada untungnya menangkapnya.
5 Juni 2017, Arab Saudi dan sekutunya, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain dan Mesir, mengumumkan blokade pada Qatar. Tuduhannya, uang hasil penjualan sumber daya alam Qatar, dituding digunakan membiayai Ikhwanul Muslimin, berhubungan dekat dengan Taliban dan afiliasi-afiliasi Al-Qaeda, dan menjalin keakraban dengan Iran.
Tak ketinggalan, stasiun televisi Al Jazeera yang juga dituduh menyokong kubu pemberontak Houthi di Yaman.
Arab Saudi menutup perbatasan darat dan udaranya untuk Qatar. Jika mau aman, Qatar diminta memenuhi 13 tuntutan, termasuk menutup situs berita media Al Jazeera yang berbasis di Doha. (Mengapa harus menutup TV, coba?)
Yang menarik, kebijakan blokade itu datang sebulan setelah kedatangan Donald Trump (saat ini, tahun 2021, presiden As adalah Joe Biden) di Saudi, yang disambut ramah Raja Salman dalam KTT Riyadh.
Di tempat itu, AS menampilkan diri sebagai mitra dalam “perang melawan terorisme”. Di KTT yang dihadiri oleh sekitar 55 pemimpin, presiden dan pejabat di Riyadh itu Trump menggambarkan Hamas sebagai organisasi teroris. Dalam pidatonya, ia membandingkan Hamas dengan Daesh dan Al-Qaeda, dan mengklaim bahwa itu merupakan ancaman teroris ke wilayah tersebut. Dia bahkan meminta negara-negara Arab dan Islam untuk mengusir Hamas dari wilayah mereka.
Seolah semua ini sudah saling terkait.
Enam bulan sebelumnya, 31 Januari, Departemen Luar Negeri AS sudah lebih awal menetapkan pemimpin Hamas Ismail Haniyah ke dalam daftar terorisnya.
Juli 2019, Pengadilan Eropa memutuskan untuk mempertahankan Gerakan Perlawanan Islam – Hamas – dalam daftar kelompok teroris Uni Eropa.
Marilah sedikit kita gunakan akal sehat Kita:
Negara yang disebut Saudi (Qatar), sebagai ‘pelindung teroris’, tangannya sangat ringan membantu Muslim yang menderita, terutama Palestina. Sejak 2018, memberi gaji bulanan sebesar 15 juta Dolar AS (Rp 217,5 miliar) untuk para pegawai negeri dan meredakan situasi kemiskinan di Gaza, akibat blokade Israel. Belum bantuan lain di wilayah terjajah itu.
Hamas, salah satu gerakan paling ditakuti Zionis, secara riil, ikut menjaga kehormatan umat Islam sedunia menjaga Baitul Maqdis dari penjajah Israel. Itulah yang “diteroriskan” Saudi dkk, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Dr Adnan Abu Amer, Kepala Departemen Ilmu Politik di Universitas Ummah di Gaza dan penulis lebih dari 20 buku tentang konflik Arab-Israel, buku perlawanan Palestina dan Hamas mengatakan:
“Kegigihan Arab Saudi dalam mengklasifikasikan Hamas sebagai kelompok teroris hanya dapat dipahami dalam konteks trade off pada “Kesepakatan Abad Ini” yang digagas Amerika dan sebuah intervensi untuk menghapus/melemahkan perjuangan Palestina.” (Al Jazeera).
Arab dan Israel
Sementara Barat dan Saudi memberi cap buruk Qatar dan gerakan pembebasan Palestina itu, secara diam-diam, selama dua dekade terakhir, raja-raja Negara Teluk dan Saudi mesrah menjalin kemitraan dengan Israel, semakin menyelaraskan kepentingan dan agenda mereka, sambil bersembunyi di balik persepsi publik, dengan tetap bangga menyebut dirinya “penjaga Dua Masjid Suci”.
Hubungan Saudi-Israel bukanlah hal baru. Mereka telah melakukan kontak rahasia melalui saluran belakang sejak zaman Sheikh Kamal Adham, ketika ia menjalankan Direktorat Intelijen Umum Saudi dari tahun 1965 hingga 1979. Meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik resmi, dalam beberapa tahun terakhir Kerajaan Saudi dan Israel telah berupaya jauh lebih sedikit telah menyembunyikan kemitraan strategis mereka yang tak terucapkan.
Setelah kehancuran rezim Ba’ath di Iraq pada tahun 2003, hingga Perang Hizbullah Libanon selama perangnya dengan Israel pada tahun 2006, dan saat Musim Semi Arab tahun 2011, telah memungkinkan Riyadh dan Tel Aviv menjadi lebih terbuka tentang hubungan mereka.
Kemitraan Saudi-Israel mencapai titik balik selama Perang Hizbullah–Israel tahun 2006, di mana Riyadh mengecam kelompok Syiah Libanon karena mengambil tindakan terhadap perlawanan terhadap Israel.
Pada tahun 2018, di bawah Putra Mahkota Saudi Mohammad bin Salman (MbS), Saudi secara jelas menandai keterbukaannya mendukung Israel.
“Ada banyak minat yang kami bagi dengan Israel dan jika ada perdamaian, akan ada banyak minat antara Israel dan negara Teluk [GCC] , ” kata Bin Salman dikutip banyak media Barat.
Tahun lalu, seorang jurnalis Israel membocorkan komentar MbS selama pertemuan dengan para pemimpin pro-Israel di AS: Dia dilaporkan mengatakan , “Sudah waktunya Palestina mengambil proposal dan setuju untuk datang ke meja negosiasi atau tutup mulut dan berhenti mengeluh,” katanya.
Pada awal 2019, selama KTT Timur Tengah di Warsawa, kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membocorkan rekaman video Arab Saudi dan menteri luar negeri negara-negara anggota GCC lainnya yang mendukung hak Israel untuk mempertahankan diri sambil menyatakan bahwa menghadapi Iran adalah prioritas yang lebih tinggi daripada menjawab pertanyaan Palestina.
Saya punya sebuah contoh sederhana (tidak sama persis). Ada tiga kampung bertetangga. Satu kampung (Kampung A) sangat makmur dan berlimpah harta. Satu kampung miskin (Kampung B), tidak memiiki apa-apa, selain semangat dan harapan hidup. Sisanya satu kampung (Kampung C), bisa buat senjata, tapi katakanlah, semua penduduknya sesat dan menyesatkan.
Suatu ketika datang kampung lain merebut dan menjajah Kampung B. Di tengah situasi sulit, Di mana tak ada kampung lain membantu, datang uluran senjata dari Kampung C. Sementara itu, tetangganya Kampung A, yang paling diharapkan, justru memperkuat musuh, dengan mengeluarkan seruan, bahwa kelompok-kelompok yang melawan penyerang itu “teroris”. Padahal pemimpin Kampung A ini dikenal suka menghajikan orang.
Ini adalah sebuah kerumitan. Bagaimana kita menjelaskan hal ini?
Ada penjelasan sangat menarik dari Hamas setelah kehadirannya di Iran, baru-baru ini:
“Iran selalu mendukung kelompok-kelompok perlawanan bersenjata Palestina dengan senjata dan uang dan tidak pernah meminta imbalan politik apa pun sebagai imbalannya,” kata Mahmud al-Zahar, juru bicara Hamas mengomentari bantuan Iran pada gerakan ini dikutip Xinhua, 8 Januari 2020 tahun lalu.
Dengan penjelasan ini, Hamas ingin menegaskan hubungannya hanya kepentingan pragmatis, bukan ideologis.
Sama halnya ketika Saudi bangga menganggap negeri pemurni Tauhid, tapi, ia menangkapi para ulama dan di saat sama, mendatangkan bintang-bintang maksiat seluruh dunia berjoget di Tanah Suci. Lantas, apakah kita Mengatakan, negeri itu sudah tak pantas lagi dengan sebutan “Kota Suci”?
Sama halnya ketika air mata umat tumpah di seluruh dunia melihat lebih sejuta muslim di Uighur dipenjara rezim Komunis, eh, justru Saudi salah satu pembela China. Lagi-lagi, bagaimana kita menjelaskannya?
Jika hubungan Hamas dan Iran dituduh gerakan ini tercemar Syiah, lantas bagaimana menghubungkan sejuknya hubungan Amerika dan Israel dengan Saudi ketimbang dengan saudara Muslimnya di Palestina?
Apa yang dilakukan Hamas dengan dekat dengan Iran memang menjadi dilema. Hamas tidak hanya perlu diberi masukan, tapi juga dibantu secara riil. Sebagaimana juga Saudi harus diingatkan agar lebih tanggap persoalan.
Iran jelas tidak ingin kehilangan peran dalam isu Palestina yang merupakan isu paling urgent dalam tubuh umat Islam, sambil berusaha menjadikan Palestina sebagai kampanye untuk menyebarkan ideologinya. Namun lebih dari itu yang kita harapkan adalah kesadaran pemimpin Negara Arab untuk peka terhadap permasalahan Palestina dan masalah keumatan.*
Penulis peminat masalah Timur Tengah, Rep: Insan Kamil, Editor: Bambang S,Sumber : Hidayatullah.com
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: