Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Program Doktor Pendidikan Islam -- Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Ada sebuah cerita. Ini terjadi sekitar tahun 1985. Saat itu, saya mahasiswa IPB, tahun pertama. Seorang teman baik saya, datang ke rumah. Ia sangat bergairah menuturkan pemahaman barunya. Katanya, apa yang selama ini dia pahami, ternyata salah semua. Kata dia, Abu Bakar, Umar, Usman, bukan khalifah yang sah. Hanya Ali yang sah. Hadits-hadits Bukhari Muslim yang selama ini diyakini kesahihannya, perlu ditinjau ulang. Bermacam-macam dia bercerita.
Tahun-tahun itu, pesona Revolusi Islam Iran masih cukup kuat. Semangat keislaman membakar kami. Di kamar kos, tertempel juga poster Sepuluh Wasiat Imam Khomeini yang isinya baik-baik. Namun, tak terbersit sedikit pun kami menjadi Syiah. Saya saat itu bersama sejumlah mahasiswa sedang mengaji kitab Ana Muslimun Sunniyyun Syafiiyyun, pada penulisnya, KH Abdullah bin Nuh, seorang ulama besar di Bogor.
Tentu saja paparan teman saya itu membuat saya sedih. Diskusi kami semakin memanas dan memilu. Ujungya: buntu! Tak ada kesepakatan. Maka, saya bertanya, Kalau saya masuk Syiah, apa saya dijamin masuk sorga? Teman saya terdiam. Lalu, dia jawab, Tidak! Saya menukas lagi, Jika tidak dijamin sorga, untuk apa saya menjadi Syiah? Menjadi Sunni saja belum tentu masuk sorga, apalagi Syiah! Kami terdiam.
Kisah pribadi saya itu pernah saya utarakan di depan publik, dalam sebuah diskusi tentang Pluralisme dengan seorang tokoh pegiat Syiah dan Pluralisme di Universitas Paramadina Jakarta. Sang tokoh, kabarnya memang Syiah, tetapi tidak melaksanakan mutah. Entahlah! Hanya saya katakan kepada si pembawa kabar, Lho apa dia tidak rugi?! Sudah Syiah kok tidak mutah! Sebab, membaca sejumlah tulisannya, si tokoh ini memang sangat mendukung konsep nikah mutah.
****
Ini kisah lain. Sebelum berdialog dengan tokoh Ahmadiyah di sebuah TV swasta, saya mencoba menggali pemikiran mitra-dialog yang juga tokoh Ahmadiyah di Indonesia itu. Menurut Anda, orang seperti saya, yang bukan Ahmadiyah, apakah bisa masuk sorga? Dia jawab, Bisa! Saya tahu, dia berbohong. Sebab, sejumlah buku terbitan Ahmadiyah yang saya bawa jelas menyebutkan, orang-orang yang tidak mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, dicap sebagai orang-orang sesat dan haram bermakmum pada mereka dalam shalat.
Namun, saya tidak menunjukkan buku-buku yang saya bawa. Kepada si tokoh Ahmadiyah itu saya katakan, Jika saya bisa masuk sorga, tanpa masuk Ahmadiyah, kenapa Anda tidak masuk Muhammadiyah atau NU saja? Dalam dialog itu, saya hadir bersama Dr. Mukhlis Hanafi, cendekiawan muda NU. Meskipun sedikit menyungging senyum, saya tidak sedang bercanda. Saya serius.
Logikanya sederhana. Bukankah Indonesia akan lebih nyaman dan damai jika orang-orang Ahmadiyah menjadi Muslim, sebagaimana umumnya. Untuk apa jadi Ahmadiyah atau Syiah, jika ujung-ujungnya ribut dan konflik. Toh, kata tokoh-tokoh mereka di media massa, semua Muslim adalah saudara. Syiah dan Sunni sama-sama mazhab dalam Islam. Jadi, sama-sama bisa masuk sorga! Itu kata mereka.
Jika Ahlu Sunnah dan Syiah sama-sama mazhab dalam Islam; tidak ada perbedaan pendapat yang mendasar; bisa sama-sama masuk sorga, lalu untuk apa menjadi Syiah di Indonesia? Bukankah -- demi persatuan, kesatuan, dan kedamaian lebih baik kita semua menjadi Muslim-Sunni?
****
Kamis (9/2/2012), sebuah Harian di Jakarta memuat Iklan setengah halaman dari sebuah lembaga yang menamakan dirinya Yayasan Muslim Indonesia Bersatu (YIMB), www.muslimunity.net. Judul iklan tersebut adalah: MELAWAN POLITIK ADU DOMBA DENGAN PERSATUAN UMAT. Inti iklan sepanjang itu adalah ajakan untuk membangun persatuan ummat, khususnya antara Muslim Ahlu Sunnah wal-Jamaah dengan Pengikut Syiah.
Dikutiplah pernyataan berbagai ulama Sunni dan Syiah yang mengajak untuk bersatu. Ditulis kata-kata indah: Yang terpenting di antaranya adalah tidak merasa benar sendiri dan menganggap keyakinan mazhab lain sebagai salah, apalagi kemudian merasa perlu mendakwahkan mazhabnya serta berupaya mengubah keyakinan para pengikut mazhab lainnya.
Kabarnya, itu iklan pendukung Syiah. PERSATUAN UMAT menjadi slogan. Jika benar ingin persatuan, jika tidak boleh merasa benar sendiri, mengapa buku-buku terbitan kaum Syiah di Indonesia masih saja mencerca sahabat dan istri Nabi? Padahal, mereka tentu paham, Muslim Sunni sangat cinta Nabi SAW, keluarga dan sahabat-sahabatnya. Muslim Sunni mustahil berdiam diri dan ridha jika istri Nabi dan sahabat-sahabatnya dihujat dan dicaci maki.
Simaklah isi sebuah buku terbitan kaum Syii di Indonesia. Judulnya, KECUALI ALI (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2009): Umar adalah seorang yang berwatak keras dan menakutkan, Abu Bakar telah ditetapkan olehnya sebagai khalifah dengan penunjukan yang arogan. (hal. 144)... Imam Ali as mengatakan tentang Usman, (Usman) telah berdiri di antara tiga kaum dalam keadaan perut kenyang dan hidup mewah di padang rumput. Yakni, makan berlebihan di masa paceklik, mengutamakan famili dan sanak saudaranya, memburu harta Allah dengan keserakahan dan nepotisme, hingga akar kejahatannya terungkap. Menyelesaikan perkara-perkara tanpa keadilan, sehingga akan membunuhnya dan memuntahkan semua apa yang telah ditelannya. (hal. 145)....
Umar menenangkan kekhawatiran Abu Bakar, dia berkata, Janganlah bersedih, dia adalah setan. Seketika itu terdengar suara di balik dinding, Saya bukanlah setan! Akan tetapi kalian dan ayah kalian akan menjadi Iblis. Kata buku ini, suara di balik dinding itu adalah suara Khidir a.s.. (hal. 155-156).
Naudzubillah... Abu Bakar dan Umar r.a. sahabat utama dan mertua Nabi Muhammad SAW dikatakan akan menjadi IBLIS!
Jika Sahabat utama dicerca; Utsman bin Affan dilecehkan; bagaimana bisa menerima kebenaran al-Quran, Mushaf Usmani?
Maka, dari pada memelihara dendam dan mengumbar caci-maki pada sahabat dan istri Nabi, bukankah lebih baik menjadi SUNNI?! Orang Sunni cinta Nabi dan semua orang yang dicintai Sang Nabi Shallallaahu alaihi wa-Sallam.
Sumber : Majalah Suara Hidayatullah, edisi Maret 2012.
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: