Para ulama sepakat bahwa memiliki prinsip fanatik itu sah-sah saja, asalkan mengerti kapan dan di mana prinsip itu mesti dipegang. (Mushtafa al-Ghalayini, ‘Idhah an-Nasyi’in). Di lain sisi, seseorang yang terlanjur memiliki prinsip ini mesti sering-sering menengok kadar fanatik yang ada pada dirinya, khawatir fanatik yang mulanya dilegalkan oleh agama malah berganti pada hukum haram. Sebab, Islam telah mewanti-wanti kepada umatnya bahwa hal yang baik adalah hal yang sesuai dengan kadarnya, sementara kadar yang diperkenankan ialah yang sedang saja. “Paling baiknya sesuatu adalah yang tengah-tengah”. (al-Hadis).
Fanatisme Syiah
Namun via perputaran waktu, ada saja yang masih mencederai rumusan ulama terkait dengan prinsip fanatik ini. Adalah sekte Syiah Imămiyah yang salah satu ajaran fundamentalnya berupa prinsip fanatik. Namun fanatisme mereka kontradiktif dengan fanatik yang diajarkan oleh Ahlusunah wal Jamaah. Dalam ajaran yang dipelopori oleh Abdullah bin Saba’ ini, fanatik itu hanya diperuntukkan kepada Ahli Bait, terutama kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib RA.
Ironisnya, kadar fanatik Syiah jauh melampaui batas. Akhirnya, menimbulkan doktrin baru yang disebut dengan ‘Ishmah. ‘Ishmah sendiri adalah sebuah kepercayaan bahwa para imam Syiah telah dijamin oleh Allah terhindar dari segala bentuk kesalahan, dosa dan lupa. Sehingga, apapun yang dikerjakan oleh imam mereka merupakan bentuk ajaran yang mesti diikuti. Juga sebab fanatik butanya inilah, secara frontal mereka mengatakan bahwa Khalifah yang paling berhak setelah Rasulullah SAW adalah Sayidina Ali RA, berlandaskan Nash dan wasiat Nabi baik secara tersirat maupun tersurat. Oleh karena itu, masyarakat Syiah memiliki keyakinan bahwa Abu Bakar, Umar dan Usman RA adalah khalifah gadungan. Ini sebagaimana keterangan dalam kitab al-Milăl wa an-Nihăl hal 146.
Amaliyah Melaknat Shahabat
Dari sini, berbagai cacian dan makian mereka layangkan kepada tiga khalifah sebelum beliau. Bahkan dalam beberapa ibadah, masyarakat Syiah memiliki amaliyah menghujat tiga khalifah ini, semisal dalam pembacaan qunut salat subuh. Saat itu, seorang imam wajib menambahkan beberapa doa yang mesti dibacanya dengan suara keras yang kemudian diamini oleh para makmum di belakangnya. Doa itu tak lain adalah kata-kata kotor yang diniatkan untuk menggunjing, memfitnah, mengumpat juga mencemooh Abu Bakar, Umar dan juga Usman RA.
Nah, yang menjadi poin besar adalah, apakah Sayidina Ali sepaham dan setuju dengan pemikiran yang dibawa oleh sekte ini?
Berikut kepingan jawaban Sayidina Ali terkait huru-hara fanatik Syiah ini.
Melalui maha karyanya, Mausŭ’ah Atsar ash-Shahăbah, Sayid bin Hasan bin Kasrawi melukis beberapa ibarat yang mengemukakan bahwa Sayidina Ali merupakan orang yang amat mencintai tiga khalifah sebelum beliau.
Sayidina Ali RA berkata: “Aku tidak pernah melihat seseorang yang mencaci Abu Bakar dan Umar lantas ia diberi kemudahan untuk bertaubat selamanya”.
Walhasil, ini merupakan jawaban telak atas huru-hara ideologi Syiah sekaligus menjadi justifikasi atas kemurkaan Ali kepada orang yang mencaci al- Khulafa’ ar-Rasyidun. Lantas, iyakah jika sekte ini dikatakan tidak sesat?
Oleh: Khoiron Abdullah, Salah seorang redaksi MADINAH (Majalah Dinding Ahlusunah wal Jamaah)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: