Jika kita melihat umat islam di Indonesia, maka muncul ajakan adanya persatuan umat meski terdiri dari banyak golongan pada umat islam sendiri. Usaha tersebut sudah ada kemajuan. Terbukti dengan adanya acara gerakan 212 beberapa tahun silam yang menyatukan berbagai ormas islam di Jakarta pada khususnya dan di seluruh Indonesia pada umumnya.
Problemnya adalah, bisakan persatuan dengan aliran islam yang secara usul (pokok) ada perbedaan. Dalam hal ini adalah antara sunni dan syiah. Jika persatuan di Jakarta pada acara 212 adalah kumpulan ormas yang perbedaan satu dengan yang lainnya adalah dalam masalah furu (cabang), maka bagaimana dengan berbedaan aliran yang sudah beda dalam masalah usul.
Sejarah Daruttaqrib
Menurut sejarah di Mesir, ada fakta yang namanya daruttaqrib. Awalnya syiah mengajak agar diadakan persatuan antara sunni dan syiah di Mesir. Dengan niat baik syiah itu, sunni menerima dengan beberapa kesepakatan. Berdirilah daruttaqrib. Berjalannya waktu, syiah mengambil banyak manfaat dan melakukan beberapa kecurangan. Akhirnya daruttaqrib ditiadakan. Beberapa tokoh sunni sampai mengibaratkan syiah sebagai tamu yang kurang ngajar. Mereka datang mengetuk pintu dan setelah di dalam rumah, mereka merampok aqidah umat islam dengan menghalalkan segala cara. Mereka sempat mengkampanyekan aqidah syiah di Universitas Al Azhar beberapa saat, setelah itu dihapuskan kembali oleh pihak al Azhar. Ini dilakukan setelah diketahui bahwa perbedaan dengan syiah benar-benar terjadi dalam masalah usul.
Bentuk kecurangan yang lain adalah, daruttaqrib hanya digagas di Mesir, tapi tidak dilakukan di Iran yang notabene syiah menjadi mayoritas dan sunni menjadi minoritas. Ini berarti ada standar yang berbeda antara ketika syiah menjadi minoritas dan mayoritas. Konon di Iran, minoritas sunni mendapat tekanan secara politis diantaranya adalah adanya regulasi larangan pendirian masjid sunni di banyak kota di Iran terutama di Ibukota Iran yaitu Teheran.
Bagaimana dengan syiah di Indonesia? Para tokoh umat islam sebagian sadar. Persatuan sunni syiah adalah hal yang tidak mungkin. Ibarat menyatukan air dengan minyak. Kasus di Indonesia, masih dalam wacana saja. Ketika seorang ulama ahli tafsir mengarang buku tentang kemungkinan persatuan sunni syiah, tidak lama kemudian dibantah dengan buku juga oleh para intelektual muda dari kalangan NU. Mereka adalah dari sebuah pesantren tua yang memang para alumninya peduli dengan aqidah umat islam. Sehingga, dalam tahapan wacana pun, sudah terjadi kontrofersi. Dalam tatanan implementasi, kayaknya bakal sulit di realisasikan.
Beberapa tahun lalu pernah terjadi, gerakan penyatuan sunni syiah yang dilakukan oleh IJABI dan DMI dengan wadah namanya MUHSIN. Cuma DMI dalam hal ini justru secara legitimasi dipermasalahkan dan dituduh sudah tersusupi paham syiah. Sehingga keberadaan MUHSIN nasibnya sama dengan DARUTTAQRIB yang ada di Mesir.
Jika memang mereka hendak melakukan pernyatuan, mestinya di Iran di jadikan contoh penyatuan sunni dan syiah. Baru diekspor ke luar negeri. Padahal jumlah sunni di Iran sekitar sepertiga dari total jumlah penduduk Iran (jumlah sunni sekitar 20 juta). Fakta yang terjadi di Iran, justru sunni kesulitan mendirikan masjid dan madrasah sunni baru, dan beberapa masjid dan madrasah yang lama sebagian mengalami penghancuran.
Disarikan dari buku : Export Revolusi Syiah Ke Indonesia Oleh Ackhmad Zain Al Kaf
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: