Oleh: Alwi Alatas
Faktor ulama tampaknya merupakan faktor terpenting dalam proses konversi ini. Pada masa ini, tradisi keulamaan Syiah sedang berkembang, dan bertambah pesat dengan adanya pemerintahan Safawi.Tradisi keulamaan Syiah masih terus berkembang hingga ke abad-abad berikutnya.Sementara itu, tradisi keulamaan Sunni justru sedang mengalami kelesuan, walaupun ketika itu kesultanan Turki Utsmani sedang berada di puncak kejayaannya.Sejak masa ini, kita tidak mendengar lagi adanya ulama-ulama Ahlu Sunnah dengan kompetensi yang menyamai para ulama besar dari generasi-generasi sebelumnya.Jadi faktor internal di dunia Sunni sendiri ikut mempengaruhi terjadinya dinamika keagamaan yang terjadi pada kurun ini dan setelahnya.
Bersamaan dengan menguatnya peranan para ulama Syiah di Iran pada masa-masa ini, kita juga melihat sebuah fenomena lain yang menarik, yaitu proses marjinalisasi sufisme di Iran. Sebagaimana telah dibahas dalam artikel sebelumnya, Iran menjelang kemunculan Kerajaan Safawi merupakan tempat yang subur bagi kelompok-kelompok tasawuf. Gerakan Safawi sendiri pada awalnya merupakan sebuah tarekat sufi bermadzhab Syafi’i. Namun, seiring dengan menguatnya ortodoksi Syiah di pemerintahan Safawi, sufisme mulai dimusuhi. Sebenarnya, upaya penyatuan ide-ide tasawuf, filsafat, dan teologi Syiah oleh beberapa ilmuwan Syiah, seperti Sadr al-Din Shirazi atau lebih dikenal sebagai Mulla Sadra (w. 1640), justru mencapai puncaknya pada masa-masa ini.Namun pada perkembangannya, para ulama Syiah orthodoks yang tidak menyukai ide-ide ini mengeliminir perkembangan pemikiran ini di tengah masyarakat.
Tarekat-tarekat Sufi yang ada di Iran pada masa itu, seperti tarekat Nurbakhsi, Zahabi, Qadiri, Baktashi, dan Nikmatullahi, walaupun pada awal masa pemerintahan Safawi masih berkembang, tapi pada masa-masa berikutnya mulai mengalami kesulitan. Tarekat-tarekat sufi ini mengalami proses marjinalisasi dan banyak yang menghilang dari wilayah Iran pada akhir masa pemerintahan Dinasti Safawi. Mereka yang bertahan atau dapat kembali ke kantong-kantong keilmuwan Syiah pada masa berikutnya terpaksa menggunakan nama-nama lain yang lebih dapat diterima oleh para ulama Syiah di wilayah ini.Walaupun pada masa pra-Safawi ada klaim “sufisme syiah sebagai sufi sejati”, sebagaimana yang diucapkan oleh seorang ulama Syiah, Sayyid Haydar al-Amuli, pada kenyataannya marjinalisasi terhadap sufisme tetap terjadi di Iran(Nasr, 1974: 277-80).
Gerakan untuk mereduksi pengaruh sufisme oleh para ulama orthodoks syiah ini terutama berlaku pada paruh kedua abad ke-17 dan setelahnya ketika pengaruh orthodoksi Syiah semakin kuat di pemerintahan Safawi.Permusuhan terhadap tasawuf antara lain dilakukan oleh Mullah Muhammad Taqi Qumi, Muhammad Baqir Majlisi (w. 1699), Syaikh Muhammad al-Amili (w. 1691/2), serta al-Hurr al-Amili, Syaikh al-Islam untuk wilayah Mashhad, yang mengemukakan 1000 hadits yang menentang tasawuf (Arjomand, 1985: 207). Gerakan ini menyebabkanperkataan sufi menjadi sebuah ungkapan yang buruk di Iran pada akhir masa Dinasti Safawi dan tarekat dianggap sebagai musuh negara (Keddie, 2003: 11).
Sementara pada saat yang sama, berbagai ciri khas kaum sufi, seperti kemampuan supranatural (karamah) dan kesempurnaan spiritual, diambil alih dan diklaim sebagai milik para ulama Syiah orthodoks (Abisaab, 2004: 5). Kalaupun pada sistem administrasi kerajaan Safawi masih digunakan kata Sufi, seperti yang disebutkan oleh Minorsky (1980: 33-4) dalam kata pengantarnya terhadap terjemahan kitab Tadhkirat al-Muluk yang berisi sistem administrasi pemerintahan Safawi, maka maknanya sama sekali berbeda dengan pengertian umum yang diwakili oleh kata ini, walaupun asal-usulnya mungkin dapat dilacak pada masa-masa perkembangan dinasti Safawi sebagai sebuah tarekat sebelum berdirinya Kerajaan Safawi. Sufi yang terdapat di dalam administrasi pemerintahan Safawi ini adalah pengawal khusus Shah (Raja) yang jumlahnya 200 orang, dengan menggunakan peci khusus dan dipersenjatai sebilah pedang, belati, dan kapak, serta dikenali dengan kumisnya yang khas, dan bukannya kumpulan orang yang sibuk dengan ibadah serta menjauhkan diri dari dunia.
Sebagai penutup, fenomena marjinalisasi tasawuf pada akhir masa pemerintahan Safawi digambarkan dengan baik oleh Hossein Nasr (1974: 278-9) dengan kata-kata berikut:
“Menjadi ciri-ciri dari kehidupan keagamaan Safawi Persia bahwa sebuah dinasti yang bermula dari sebuah tarekat sufi bergerak begitu jauh ke arah esoterisisme dalam hal mana Mulla Muhammad Baqir Majlisi, ulama paling berpengaruh yang telah menulis al-Anwar (Bihar al-Anwar), meninggalkan Sufisme (yang dianut) ayahnya sendiri Mulla Muhammad Taqi dan memaksa seorang hakim (teosofer atau pakar metafisika, pen.) terakhir yang besar pada masa Safawi di Isfahan, Mulla Sadiq-i Ardistani yang suci, pergi ke pengasingan. Sufisme dan hikmat-i ilahi, yang keduanya memiliki karakter esoteris, pada akhirnya dipaksa menjalani bentuk eksistensi yang marjinal pada akhir masa pemerintahan sebuah dinasti yang memiliki akar kesufian.”
Penaklukkan Tabriz menandai awal berdirinya kerajaan Safawi. Ismail menjadikan kota ini sebagai ibukota pemerintahannya. Saat menguasai kota itu pada tahun 1501, Ismail mengumumkan Syiah itsna asyariyah sebagai keyakinan resmi pemerintahannya. Para penasihatnya pada awalnya merasa keberatan dengan hal ini karena khawatir dengan reaksi penduduk Tabriz yang mayoritas Sunni. Tapi Ismail tetap kukuh dengan pendiriannya, dan ia berhasil mendesakkan keinginannya (Jackson et.al., 1986: 194). Saat itu dua pertiga penduduk kota Tabriz berpaham ahlus sunnah (Nasr, 1974: 273). Ketika Ismail berusaha mendapatkan kitab Syiah yang menjelaskan prinsip-prinsip dasar Syiah itsna asyari di kota itu, ia hanya berhasil mendapatkan satu buah manuskrip saja di sebuah perpustakaan pribadi yang terpencil. Hal ini menggambarkan masih terbatasnya pengaruh Syiah di Iran pada masa itu. (Turner, 2000: 50).
Sepanjang masa pemerintahannya, Ismail bersikap sangat keras terhadap masyarakat Sunni. Pemerintahannya diwarnai oleh pemujaan terhadap Ali dan dua belas imam Syiah serta penistaan terhadap tiga khalifah sebelum Ali ra., yaitu Abu Bakar ra., Umar ra., dan Utsman ra., dan juga upaya untuk menghapuskan ahlus sunnah (Jackson et.al., 1986: 193-4). Sepanjang proses penaklukkan, pasukan qizilbash menebar teror pada penduduk Sunni dan memaksa mereka untuk mengutuk secara terbuka tiga khalifah sebelum Ali ra. (Matthee, 2008). Kebijakan anti-Sunni ini kelak dilanjutkan oleh para penguasa Safawi berikutnya.
Tidak ada sumber yang pasti berkenaan dengan awal pengaruh Syiah pada diri Ismail. Ia tidak pernah dikader oleh ayahnya yang telah gugur saat ia masih kecil. Bahwa ayahnya serta kakeknya merupakan seorang penganut Syiah tulen, dan bukannya hanya sekedar memanfaatkan fanatisisme Syiah pengikutnya untuk kepentingan politik, juga sebenarnya sulit untuk dipastikan oleh sejarah. Ismail kemungkinan banyak menerima ide-ide Syiah saat diasuh di kota Lahijan oleh seorang pembesar bepaham Syiah zaidiyah. Selain itu, kecenderungan pada Syiah serta fanatisisme para pengikut Turkinya mungkin juga banyak mempengaruhi sikap dan pilihan Ismail. Walaupun menetapkan Syiah itsna asyariyah sebagai keyakinan resmi kerajaannya, Ismail sendiri, dan juga para pengikutnya, dalam prakteknya lebih dekat kepada keyakinan Syiah ghulat (ghuluw) yang cenderung menuhankan Ali ra., bahkan menuhankan dirinya sendiri. Dalam kumpulan puisi yang ia buat, ia menempatkan Ali ra. mendahului Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. dan menempatkannya pada level tuhan (Jackson et.al., 1986: 196-8).
Antara tahun 1503 dan 1510, Ismail berhasil menguasai Iran bagian tengah, Khurasan, Azerbaijan, Diyar Bakr di Mesopotamia, hingga Baghdad di Iraq (Newman, 2009: 11-2). Ekspansi Safawi dan penetapan Syiah sebagai ideologi kerajaan pada akhirnya memprovokasi tetangganya yang Sunni, khususnya Turki Utsmani. Kegeraman Turki Utsmani terhadap Safawi terutama disebabkan jaringan pengikutnya di Anatolia, yang menjadi sumber bagi pasukan qizilbash, berpotensi memberontak terhadap Turki Utsmani. Dan ini benar-benar terjadi pada akhir masa pemerintahan Sultan Bayazid II pada tahun 1511. Pemberontakan ini berhasil ditumpas dan pada tahun berikutnya Sultan Bayazid digantikan oleh anaknya, Sultan Salim, yang segera mengambil tindakan keras terhadap pemerintah Safawi (Bosworth et.al., 1995: 767-8).
Bersambung
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: