Pelaksanaan Kawin Kontrak
Kawin kontrak yang terjadi di Kawasan Puncak sering kali dijadikan alasan untuk mencari nafkah. Para pelaku pada dasarnya bukan wanita baik-baik yang mampu menjaga kesucian dirinya, melainkan wanita pekerja seks komersial yang menjadikan perzinaan sebagai sumber penghasilan.
Sebelum terjadi akad kawin kontrak, pelaku laki-laki terlebih dahulu memesan wanita yang diinginkan melalui tukang ojek/penjaga Villa atau sopir rental mobil. Setelah terjadi kesepakatan pihak perantara–tukang ojek/penjaga Villa atau sopir rental mobil—akan mengantarkan wanita tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, kawin kontrak yang berlangsung di Kawsan Puncak dilakukan dengan dihadiri kedua mempelai, ijab kabul, mahar, dan batas waktu yang disepakati bersama. Jumlah mahar ditentukan sesuai masa kontrak yang disepakati kedua pihak. Di samping itu, ada pula yang melaksanakan dengan dihadiri wali dan saksi, baik wali yang sah maupun wali bayaran. Menurut pengakuan Fitri dan Diera, apabila habis masa kontrak mereka tidak menjalani masa iddah dan mereka diperbolehkan melakukan akad baru dengan orang lain segera setelah masa kontrak habis dengan suami kontrak yang pertama.
Kawin Kontrak di Kawasan Puncak secara Yuridis Normatif
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa kawin kontrak merupakan penyebutan untuk perkawinan yang dilakukan dengan wisatawan, baik lokal maupun asing, dalam jangka waktu tertentu sesuai yang telah disepakati, dengan upah tertentu sebagai mahar. Penentuan jumlah upah disesuaikan dengan masa kontrak. Apabila masanya telah habis, keduanya akan berpisah tanpa adanya masa tunggu bagi mantan istri apabila dia akan menikah lagi dengan orang lain. Dalam pelaksanaannya, kawin kontrak cukup dilakukan oleh dua orang yang melakukan akad saja, yakni pihak laki-laki dan pihak perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh Fitria.
Ada pula yang menghadirkan wali, dua orang saksi, dan penghulu yang sah seperti pernikahan yang dilangsungkan oleh Edah. Bentuk lain dari kawin kontrak, yakni pelaksanaannya dihadiri wali, dua orang saksi, dan penghulu bayaran sebagaimana dilakukan oleh Diera dan Dewi. Pelaksanaan kawin kontrak layaknya prostitusi terselubung yang mengatasnamakan perkawinan, karena pada kenyataannya wanita yang melakukan kawin kontrak bukan wanita yang mampu menjaga diri, melainkan mereka adalah wanita pekerja seks komersial yang menjadikan perzinaan sebagai sumber penghasilannya, sebagaimana penuturan para pelaku. Mereka melakukan kawin kontrak hanya mengikuti permintaan tamu, bukan atas kemauan sendiri.
Pada dasarnya mereka mengetahui bahwa pernikahan yang demikian adalah dilarang. Namun, dengan alasan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka rela melakukannya. Satu hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa keberadaan kawin kontrak memberikan keuntungan yang cukup besar. Karena, ketika kawin kontrak berlangsung banyak pihak yang terkait, seperti pemilik Villa /hotel/penginapan, laundry, penjaga Villa , tukang ojek, wanita sewaan, bahkan terkadang ada pejabat dusun yang ikut serta di dalamnya. Mereka akan mendapatkan bagian fee masing-masing sesuai kesepakatan.
Status Kawin Kontrak
Dari pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa perkawinan dalam Islam memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Pelaksanaan kawin kontrak yang ditemukan di Kawasan Puncak tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang telah ditentukan dalam UUP dan KHI. Hal ini disebabkan dalam kawin kontrak sering kali tidak menghadirkan wali yang sah, penghulu, maupun pejabat yang berwenang untuk melakukan pencatatan dan dalam ijab Kabul dinyatakan batasan waktu pernikahan. Bahkan, ada pula pernikahan yang hanya dilakukan oleh dua orang saja, yakni pihak laki-laki dan pihak perempuan yang melakukan akad, tanpa dihadiri wali, dua saksi , dan penghulu sebagaimana perkawinan yang dilakukan Fitri.
Dalam Islam dikenal beberapa pernikahan yang dilarang termasuk nikah mut’ah, meskipun pada masa permulaan Islam diperbolehkan. Hanya golongan Syi‘ah yang masih memperbolehkan nikah mut’ah sampai sekarang. Apabila melihat rukun dan syarat nikah mut’ah yang berlaku dalam kelompok Syi‘ah, pelaksanaan kawin kontrak terkadang tidak memenuhi ketentuan tersebut. Karena, perkawinan dilakukan dengan menghadirkan wali bayaran sebagai wakil dari pihak wanita, dua saksi dan penghulu bayaran pula. Padahal , dalam rukun nikah mut‘ah tidak membutuhkan wali bagi wanita yang sudah dewasa, saksi, dan penghulu. Namun, cukup dengan dua orang yang berakad, mahar dan ijab kabul yang di dalamnya menyatakan secara tegas masa kontrak yang akan dijalani. Dalam hal ini, kawin kontrak tidak sesuai dengan pelaksanaan nikah mut‘ah.
Di antara alasan keharaman nikah mut’ah menurut mayoritas ulama berdasarkan al-Qur‘an, Sunnah, ijma‘, ketetapan Khalifah Umar bin Khattab, dan juga karena bertentangan dengan tujuan perkawinan.
Perkawinan sendiri bertujuan untuk:
Pertama, untuk memperoleh kehidupan sakinah yang dilandasi mawaddah dan rahmah.
Kehidupan sakinah sulit didapatkan dalam perkawinan yang dilakukan untuk sementara waktu sebagaimana dalam kawin kontrak. Perkawinan dilakukan seakan-akan hanya untuk memuaskan nafsu semata, karena dalam kawin kontrak seorang laki-laki dapat mengawini beberapa perempuan tanpa ada batasan dalam satu waktu.
Kedua, perkawinan bertujuan untuk regenerasi/reproduksi. Dalam kawin kontrak, regenerasi tidak selamanya dapat terwujud karena tidak ada batasan waktu minimal dalam kawin kontrak sehingga
kecil kemungkinan untuk menghasilkan keturunan yang berkualitas. Anak yang dihasilkan dalam pernikahan sudah seharusnya mendapat asuhan dan didikan dari kedua orang tuanya. Namun, dalam kawin kontrak seorang ayah sering kali meninggalkan anaknya ketika masa perkawinan telah habis sehingga mantan istri akan menjaga dan mendidik anaknya seorang diri, sebagaimana yang dialami Dewi.
Ketiga, tujuan perkawinan adalah untuk pemenuhan kebutuhan biologis. Layaknya perzinaan yang mengatasnamakan perkawinan, tujuan utama kawin kontrak adalah untuk memenuhi kebutuhan biologis. Alasan pihak laki-laki yang melakukan kawin kontrak dengan pekerja short time, sebagaimana dikemukakan dalam hasil wawancara, adalah untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina.
Keempat, perkawinan bertujuan menjaga kehormatan. Dalam kawin kontrak, wanita dapat berpindah dari laki-laki satu kepada yang lainnya. Karena, ketika masa kontrak selesai dengan laki-laki pertama, wanita itu dapat langsung melakukan kawin kontrak dengan laki-laki lain tanpa harus melalui masa tunggu.
Kelima, tujuan perkawinan adalah untuk ibadah. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada pembahasan yang lalu bahwa ikatan perkawinan merupakan perjanjian yang kokoh dan bernilai ibadah. Sudah sepantasnya ikatan yang kokoh tersebut dijaga oleh pasangan yang mengikatkan diri dalam tali perkawinan tersebut. Hal ini jauh dari pelaksanaan kawin kontrak, sebab akad perkawinan hanya dijadikan formalitas agar kedua belah pihak dapat melakukan hubungan seksual dalam ikatan yang dianggap sah. Tidak ada tujuan untuk menjaga tali perkawinan di antara mereka, bahkan akad perkawinan hanya dimaksudkan untuk kesenangan sesaat.
Undang-undang perkawinan Indonesia juga mengatur rukun dan syarat nikah yang hampir sama dengan aturan dalam hukum Islam. Dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa sahnya perkawinan apabila dilaksanakan sesuai agama masing-masing. Dalam UUP tidak dikenal adanya nikah mut’ah. Namun, di dalamnya memuat aturan bahwa pernikahan bertujuan untuk selamanya bukan untuk sementara waktu. Meskipun secara tidak langsung nikah mut’ah dilarang dalam undang undang
perkawinan, pelaksanaannya tetap saja tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan sebagaimana yang telah ditentukan, bahkan bertentangan dengan tujuan perkawinan yang dinyatakan untuk selamanya.
Demikian halnya dalam kawin kontrak, perkawinan yang dilakukan tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan, serta terbatas pada waktu yang disepakati. Hal ini bertentangan dengan UUP. Dari uraian di atas, diketahui bahwa status kawin kontrak adalah tidak sah karena tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang telah ditentukan oleh hukum Islam atau UUP. Kawin kontrak juga bertentangan dengan tujuan perkawinan sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur‘an. Walaupun di sisi lain disebutkan bahwa nikah mut’ah merupakan solusi bagi yang tidak mampu melakukan nikah permanen1, hal ini tidak dapat diterapkan pada kawin kontrak karena tidak adanya kesesuaian dalam aturan pelaksanaan antara nikah mut’ah dengan kawin kontrak. Di samping itu, apabila kawin kontrak diperbolehkan akan mengurangi kesakralan makna perkawinan.
Akibat Kawin Kontrak
Ada persoalan-persoalan menarik terkait akibat kawin kontrak, yaitu:
Pertama, tentang perceraian, sebagaimana nikah mutah, dalam kawin kontrak berakhir ketika masa yang telah ditentukan atau disepakai berakhir tanpa ada kata talak kecuali perceraian yang dialami Diera.
Kedua, sumpah (ila). Pihak perempuan yang melakukan kawin kontrak tidak mengetahui hal itu.
Ketiga, melaknat (lian). Demikian halnya sumpah lian, wanita yang melakukan perkawinan kontrak tidak mengetahui persoalan ini. Sehingga dimungkinkan bahwa sumpah lian tidak terjadi dalam kawin kontrak.
Keempat, Zihar. Wanita yang melakukan kawin kontrak tidak memberikan keterangan terkait ada atau tidaknya zihar.
Kelima, warisan. Dari penelitian yang dilakukan, belum ada keterangan secara pasti mengenai ada atau tidaknya saling mewarisi dalam perkawinan kontrak yang terjadi di Desa Tugu Utara. Hal ini
berdasarkan atas keterangan dari narasumber yang menyatakan bahwa perkawinan mereka berakhir sebelum adanya salah satu pihak yang meninggal. Sehingga, pewarisan tidak terjadi di antara keduanya. Demikian halnya pewarisan antara bapak atau ibu dengan anak yang dihasilkan dari perkawinan kontrak tersebut. Sejauh penelitian ini dilakukan, belum ada proses pewarisan yang terjadi karena mereka semua masih hidup.
Keenam, periode menunggu (iddah). Periode menunggu (iddah) tidak berlaku pada kawin kontrak yang terjadi di Desa Tugu Utara. Karena, apabila waktu kontrak telah berakhir dengan suaminya, mantan istri bisa langsung melakukan akad kawin kontrak dengan lakilaki lain.
Ketujuh, pembaruan akad. Dalam kawin kontrak, tidak ada keterangan mengenai ada atau tidaknya proses untuk memperbarui akad apabila masa kontrak selesai. Hal ini disebabkan oleh kawin kontrak yang terjadi di Desa Tugu Utara, apabila habis masa kontrak mereka langsung berpisah.
Kedelapan, Status anak. Status anak yang dilahirkan dalam perkawinan kontrak tidak dapat diakui sebagai anak sah, baik menurut aturan dalam nikah mut‘ah di kalangan Syi‘ah maupun undang-undang yang berlaku. Karena, kawin kontrak yang dilakukan tidak memenuhi rukun dan syarat sebagaimana dijelaskan di atas. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kawin kontrak tidak memiliki akibat hukum apa pun sebagaimana pernikahan yang sesungguhnya. Kawin kontrak terlihat hanya sebagai pelindung praktik prostitusi yang mengatasnamakan agama.
BERSAMBUNG …
Catatan kaki :
1 Muhammad Husein Fadlullah, Soal-Jawab Fikih, hlm. 130.
Sumber : Kawin Kontrak di Kawasan Puncak, Vol. 2, No. 2, 2012 M/1434 H 47
Penulis : Nurlailiyah Aidatussholihah
Fakultas Syari„ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Email: [email protected]
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: