Telah menjadi ijmak seluruh ulama bahwa hukum nikah mut'ah adalah haram. Nikah mut'ah merupakan masalah kontroversial yang masih dianut oleh kaum Syiah. Masalah itu menjadi titik rawan antara dua kelompok besar, yakni Suni dan Syiah.
Di satu sisi, kaum Syiah menghalalkan dengan mutlak. Di lain sisi, kaum Suni mengharamkannya juga dengan mutlak.
Dikutip dari buku Panduan Lengkap Muamalah karangan Muhammad Bagir, mut'ah disebut juga nikah sementara waktu atau nikah terputus. Secara bahasa, kata itu berarti sesuatu yang dinikmati atau dimanfaatkan. Pelakunya mendapatkan kemanfaatan dengannya serta menikmati sampai batas waktu yang ditentukan.
Ayat Alquran yang kerap dijadikan dalil oleh komunitas Syiah mengenai halalnya nikah mut'ah adalah "... Maka istri-istri yang telah kamu nikmati, di antara mereka (dalam ayat tersebut digunakan lafal istamta'tum bihi minhunna) berikanlah kepada mereka mahar sebagai suatu kewajiban" (QS an-Nisa:24).
Dalam bacaan Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud, Ka'b bin Ubay, dan Said bin Jubair, kalimat tersebut mendapatkan penambahan makna. "... Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (dengan tambahan kalimat: sampai batas waktu tertentu)."
... Maka istri-istri yang telah kamu nikmati, di antara mereka (dalam ayat tersebut digunakan lafal istamta'tum bihi minhunna) berikanlah kepada mereka mahar sebagai suatu kewajiban.
QS AN-NISA:24
Mazhab Ja'fari, salah satu mazhab yang dianut kaum Syiah, mengurai bahwa ada beberapa persyaratan untuk nikah mut'ah. Syarat-syarat tersebut yakni mengucapkan ijab kabul dengan lafal nikah, kawin, atau mut'ah dengan seorang perempuan.
Hal tersebut dilakukan sambil menetapkan mahar tertentu dan berlakunya selama waktu tertentu yang disetujui bersama. Misalnya satu hari, satu pekan, satu bulan, dan sebagainya.
Perempuan yang dinikahi secara mut'ah tersebut juga harus dalam keadaan bebas dari hambatan apa pun yang membuatnya haram dinikahi. Hambatan itu menisbatkan pada dalil dalam Alquran, yakni hambatan nasab, periparan, persusuan, dan sebagainya. Kondisi lainnya yaitu saat dia dalam keadaan idah atau berada dalam ikatan perkawinan dengan lelaki lain.
Ikatan pernikahan itu akan berakhir seiring dengan habisnya waktu yang masih tersisa. Ikatan nikah berakhir dengan sendirinya tanpa memerlukan talak. Namun, bila dikehendaki, ikatan tersebut boleh diperpanjang lagi sampai waktu yang ditentukan. Dengan catatan, si suami memperbarui akad dan mahar.
Catatan lainnya, tidak ada batas tertentu jumlah perempuan yang boleh dinikahi secara mut'ah. Namun, ada ulama Syiah yang membatasi hingga empat orang saja. Saksi pun tidak diperlukan dalam nikah mut'ah.
Ustaz Bachtiar Natsir menjelaskan, al-Qadhi Iyadh menjelaskan bahwa telah menjadi ijmak (konsensus) seluruh ulama bahwa hukum nikah mut'ah adalah haram, kecuali kaum Syiah Rafidhah.
Nikah mut'ah adalah nikah dengan imbalan harta dan jangka waktunya telah disepakati antara laki-laki dan perempuan. Ikatan pernikahannya akan putus meski tanpa talak serta tidak ada kewajiban bagi laki-laki untuk menafkahi, memberi tempat tinggal, dan tidak ada saling mewarisi antara mereka.
Ijmak itu juga bersandarkan pada hadis Nabi SAW. Diriwayatkan dari Rabi bin Sabrah RA, sesungguhnya Rasulullah bersabda: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut'ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Oleh karena itu, barang siapa yang masih mempunyai ikatan mut'ah, maka segera lepaskanlah dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut'ah itu" (HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban).
Sedangkan, nikah dengan niat talak adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang cukup semua syarat dan rukun nikahnya, tapi ada niat dalam hati suami untuk menalak istrinya setelah pernikahan berjalan beberapa waktu. Jadi, ada perbedaan di antara nikah mut'ah dan nikah dengan niat talak.
Contoh nikah dengan niat talak yakni jika seorang pria bertugas ke luar negeri dalam jangka waktu yang lama. Demi melepaskan diri dari perbuatan haram, dia pun memutuskan untuk menikahi seorang perempuan di negeri rantau selama masa tugasnya. Meski demikian, pria itu tidak menyebutkan akan menceraikan perempuan tersebut saat menikahinya.
Dalam nikah mut'ah, jangka waktu pernikahan disebutkan atau diketahui oleh kedua belah pihak. Sedangkan, dalam nikah dengan niat talak, hal itu tidak disebutkan dan hanya menjadi niat dalam hati sang suami. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum nikah dengan niat talak.
Pertama, mayoritas ulama berpendapat bahwa nikah ini sah karena memenuhi semua syarat dan rukun nikah serta tidak ada hal yang menghalanginya.
Kedua, ada ulama yang berpendapat bahwa nikah ini batal dan hukumnya sama dengan hukum nikah mut'ah. Adalah Imam al-Auza'i dan ulama terakhir dari mazhab Hanbali serta Syekh Rasyid Ridho yang memegang pendapat kedua tersebut.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa pernikahan tersebut adalah haram karena mengandung penipuan dan kecurangan. Namun, akadnya sah dan akibat dari akad nikah itu tetap berlaku, seperti kewajiban menyediakan tempat tinggal, nafkah, dan hak saling mewarisi.
Ini merupakan pendapat lembaga fatwa organisasi negara-negara Islam dan ulama kontemporer, seperti Syekh Ibnu Utsaimin.
Menurut Ustaz Bachtiar Natsir, pendapat terakhir itulah yang kuat karena nikah seperti ini mengandung beberapa hal berikut: adanya penipuan dan kecurangan terhadap perempuan dan walinya, adanya sikap memain-mainkan akad nikah yang merupakan ikatan yang kuat dalam Islam, mirip dengan nikah mut'ah, serta dapat merusak kehormatan umat Islam.
Wallahu a'lam bish shawab.
Sumber : republika id
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: