Breaking News
Loading...

Mengungkap Suritauladan Filantropi Ahmadiyah dan Syiah

Syiahindonesia.com, Jakarta – Humas BRIN.  Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH), Ahmad Najib Burhani, menyoroti potensi besar filantropi di Indonesia yang didasari semangat gotong royong tanpa memandang agama dan ras. Namun, konsep filantropi dari komunitas Ahmadiyah dan Syiah belum banyak diketahui publik. Untuk itu, melalui kegiatan diskusi tentang Filantropi Ahmadiyah dan Syiah yang digelar Selasa (11/06), Najib menaruh harapannya agar dapat mengungkap kekuatan dan potensi filantropi dari kedua komunitas tersebut.

Kegiatan diskusi tersebut menghadirkan beberapa pembicara utama untuk mengupas topik diskusi secara mendalam, yakni Achmad Supardi selaku Naib Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Husain Shahab selaku Direktur Yayasan Dana Mustad’afin, serta para periset di Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Achmad Supardi menyampaikan gambaran kekhidmatan dalam filantropi, baik tingkat nasional maupun internasional. Terkait dengan tema diskusi, ia menyampaikan secara pasti bahwa Ahmadiyah bukan gerakan politik  dan sama sekali tidak memiliki tujuan politik. Dijelaskannya, jemaat Ahmadiyah menyokong kebangkitan Islam dalam bidang kerohanian yang menekankan pentingnya hidup damai, menegakkan keadilan, mengupayakan kesucian dalam keseharian, serta cinta kasih kepada sesama. Hak ini sesuai dengan motto yang diusung jemaatnya yang dikenal, yakni Love for All, Hatred for None yang artinya cinta kepada semua orang dan kebencian tidak untuk siapapun.

Achmad juga menjelaskan tentang filantropi jemaat Ahmadiyah secara miniatur. Ia menggambarkan di miniatur tersebut sebagai organisasi kerohanian dalam agama Islam yang menjabarkan tentang roh pengorbanan, baik harta, waktu, maupun jiwa. Dalam konsepnya, Ahmadiyah ikrak janji. Landasan filantropi Ahmadiyah tentang infak harta, yakni perintah Alquran, lalu Rasulullah saw., dan kemudian seruan pendiri jemaat Ahmadiyah.

Ia juga mengungkapkan tentang mekanisme pengelolaan jemaat Ahmadiyah di setiap negara yang mempunyai kewenangan otoritas. Ini terdiri atas amir nasional, naib amir mal, sekretaris mal pengurus besar, amin/bendahara, muhasib pengurus besar, komite keuangan, auditor internal, auditor eksternal, juga yang lainnya sesuai dengan jenis-jenis pendistribusian yang ditetapkan melalui mekanisme musyawarah nasional (majelis syura nasional). Adapun jenis-jenis pendistribusian antara lain bidang kesehatan, pendidikan, dan sosial, baik nasional maupun internasional, juga lembaga sosial kemanusiaan (humanity first), bidang dahwah, dan bidang lingkungan.

Sementara itu, Husain Shahab menyampaikan bahwa Yayasan Dana Mustad’afin bukan bagian dari organisasi masyarakat (ormas) Ahlubait Indonesia. Bahkan, lahirnya yayasan ini lebih awal dari lahirnya ormas Ahlubait Indonesia. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa yayasan ini dibangun oleh beberapa relawan syiah. Namun, visinya ikut program pemerintah Indonesia menyejahterakan dan mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia, terutama kualitas ekonomi dan pendidikan.

“Yayasan ini didirikan semata-mata agar bagaimana menjadi jembatan antara muzaki untuk kalangan duafa yang ada di Indonesia,” ungkap Husain. Ia juga menjelaskan, yayasan tersebut bergerak untuk umum tidak memandang latar belakang dan tidak ada sekatan agama. Yayasan ini memiliki dua legalitas, yaitu legalitas hukum nasional ke Kementerian Kehakiman serta legalitas dari Marja Syiah.

Konsep filantropinya menggunakan konsep filantropi zakat dan khums. Artinya, seperlima atau 20% dalam terminologi hukum Islam, yakni barang-barang tertentu yang diperoleh seseorang sebagai kekayaan harus dibayarkan. Sumber dana dibagi dua. Pertama, syariah wakaf, hibah, zakat, dan sedekah. Kedua, dana sosial adalah dana dari sumbangan BUMN, lembaga negara, serta donatur.

Pada kesempatan tersebut, Prabowo Setyabudi, periset Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) BRIN berpendapat, filantropi ini mulai berkembang, namun belum familier di kalangan masyarakat. Harapannya, filantropi ini dapat dirasakan oleh masyarakat untuk jangka panjang. Sementara akhir dari proses filantropi dapat dikembangkan. Bukan hanya membantu sosial, namun juga bisa filantropi kreatif dan inovasi serta terbuka sehingga dapat dirasakan masyarakat luas.

Selanjutnya, Fatimah Zuhrah, selaku periset Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) BRIN mengungkapkan hasil risetnya yang terkait dengan filantropi syiah. Riset ini fokus pada lembaga filantropi kebencanaan. Aksi filantropi yang dilakukan komunitas syiah menyeluruh pada semua umat tanpa memandang perbedaan agama, ras, dan suku. “Mereka melakukan aksi filantropi dengan modal Ikhlas beramal dengan tepat guna dan sasaran, serta prinsip membantu yang membutuhkan dan prinsip kemanusiaan,” urainya.

Sementara itu, periset PRAK lainnya, Siti Ateqoh menyampaikan riset yang dilakukan dengan visi sebagai penggerak dalam kemandirian yang dibingkai dalam ajaran Islam. Misinya adalah mengembangkan model-model pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan, sedangkan sumber dananya diperoleh dari khumus, zakat, infak, dan sedekah. Dengan demikian, hasil penelitiannya sesuai dengan pembicara Husain Shahab.

Terakhir, Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN, Aji Sofanudin menyampaikan bahwa ternyata para periset sudah mempunyai data filantropi berbagai ormas. Dikatakannya bahwa sebutan atau istilah di dalam filantropi cukup beragam, seperti ziswaf, chandah, khumus, dan sebagainya.

Sebagai simpulan, Achmad Supardi menyampaikan alamat situs chandah.go.id. Di dalam situs ini terdapat mekanisme yang diberlakukan struktur organisasi khusus, dengan kontrol mengenai petanggungjawaban yang berlaku bagi anggota yang sudah mempunyai ID. Lalu, untuk melakukan riset basis Ahmadiyah, menurutnya dapat berkoordinasi dengan wilayah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Supardi juga menjelaskan bahwa ada 420 cabang yang tersebar di Indonesia.

Demikian juga dengan Husain Shahab yang di akhir kesimpulan mengatakan bahwa  Yayasan Dana Mustad’afin tidak mewakili 100%.  Tidak semua khumus syiah dimasukkan dalam yayasan ini. Hal itu karena perlu dua legalitas Indonesia maupun legalitas syariat, sebab wakalah Dana ini bukan hanya dipegang oleh dana mustad’afin. “Dan setiap negara ada wakalah marja untuk mengelola kepentingan syiah,” ungkapnya. (Bams/ed: mfs, And)





************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: