Syiahindonesia.com —Pakar psikologi komunikasi Dr. Jalaluddin Rakhmat, MSc meninggal dunia hari Senin (15/02/2021). Pria yang akrab disapa Kang Jalal ini meninggal pada usia 72 tahun di Rumah Sakit Santosa, Bandung karena Covid-19, empat hari setelah istrinya Euis Kartini binti Iri Suhanda juga meninggal dunia.
Selain dikenal pakar komunikasi dan bekas anggota dewan dari PDI-P, sebagai tokoh Syiah ternama Indonesia. Kang Jalal, sangat produktif menulis sejumlah buku dalam berbagai tema dan disiplin ilmu. Di antaranya tassawuf, kajian al-Quran dan Hadits, sosial, terutama komunikasi.
Jalal lahir di Bandung pada 29 Agustus 1949, dari ayah dan ibu aktivis Islam ]sekaligus lurah di desanya. Pria yang biasa menggunakan iket atau totopong (ikat kepala khas Sunda) ini sejak kecil sebenarnya bercita-cita menjadi pilot. Namun, Jalal kecil sudah terlanjur akrab dengan agama di lingkungan keluarganya.
Ia menempuh pendidikan formal Sekolah Dasar (SD) di kampungnya, Kang Jalal kemudian melanjutkan studinya ke SMP Muslimin III Bandung. Lulus dari sekolah menengah pertama, Kang Jalal langsung melanjutkan sekolahnya ke SMA II Bandung. Berbekal ijazah SMA, ia menempuh studi di Fakultas Publisistik Universitas Padjajaran (UNPAD), Bandung. Sekarang, fakultas itu telah berganti menjadi Fakultas Ilmu Komunikasi.
Pernah bergabung dengan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan selanjutnya menjadi pengurus Muhammadiyah, bahkan sempat dididik di Darul Arqam Muhammadiyah.
Pada masa berikutnya, Kang Jalal diangkat sebagai dosen di universitas yang sama. Saat itulah ia memperoleh beasiswa Fullbright untuk melanjutkan studinya ke Universitas Iowa, AS. Di sana, ia mengambil jurusan komunikasi dan psikologi.
Ia lulus dengan predikat magna cum laude, dan terpilih menjadi anggota Phi Kappa Phi dan Sigma Delta Chi. Ia juga pernah mengenyam pendidikan di Qum, Iran untuk belajar Irfan dan filsafat Islam. Lalu ia melanjutkan studinya di ANU (Australian National University) Australia dengan kekhususan pada perubahan politik dan hubungan internasional. Di Universitas terakhir ini ia menyabet gelar doktor.
Jalal melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Kota Qum, Iran, untuk belajar irfan dan filsafat Islam dari para Mullah tradisional, lalu ke Australia untuk mengambil studi tentang perubahan politik dan hubungan internasional dari para akademisi modern di ANU. Dari ANU inilah ia meraih gelar doktornya. (Syiah di Tasikmalaya: Pengelolaan Kerukunan dengan Komunitas Lain, Ibnu Hasan Muchtar, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, Balitbang dan Diklat Kemenag, 22 Mei Juli 2017).
“Gerakan Syiah Indonesia Diremote dari Iran”
Revolusi Iran
Awal mula Jalaluddin Rakhmat mendalami Syiah saat dirinya mengaku takjub ketika terjadi peristiwa penting di Iran pada 1979. Yaitu runtuhnya rezim monarki otoriter Raja Shah Pahlavi oleh apa yang disebut belakangan sebagai Revolusi Iran.
“Tiba-tiba saya melihat para ulama di Iran menang. Kok bisa ulama Iran bisa memenangkan sebuah pertarungan poltik dan bisa mendirikan negara Islam? Wah itu menginspirasi saya yang saat itu sudah putus asa,” jelasnya kepada BBC Indonesia.
Dalam perjalanannya, Jalal kemudian berangkat ke Iran, persisnya ke pusat Syiah, Kota Qum, untuk belajar tasawuf.
“Saya tidak belajar Syiah, saya belajar tasawuf di Qum,” kata Jalal. “Dan ternyata,” ungkapnya dengan mata berbinar, “di kalangan orang-orang Persia, saya menemukan khazanah tasawuf yang sangat kaya. Jadi saya mulailah tertarik tasawuf“.
Setelah Kembali dari Iran, Jalaluddin -yang di masa mudanya sudah membaca karya-karya filosof Baruch Spinoza (1632-1677) dan Friedrich Nietzsche (1844–1900) di perpustakaan negeri peninggalan Belanda – mendirikan yayasan tasawuf.
Dalam perjalanannya, Jalal yang pernah mendirikan pusat kajian tasawuf Yayasan Tazkiya Sejati, akhirnya sampai pada satu titik, resmi memilih akidah Syiah. “Akhirnya secara fikih dan akidah, saya sekarang ini Syiah”.
Pada 2003, bersama Nurcholis Madjid, Dr. Muwahidin, dan Dr. Haidar Bagir, penulis buku Jalaluddin Rakhmat Menjawab Soal-soal Islam Kontemporer (1998) ini mendirikan ICAS Paramadina. Bersamaan dengan itu, Jalal bersama Dr. Haidar Bagir dan Dr. Umar Shahab (kini Ketua Dewan Syura Ahlulbait Indonesia) dipercaya sebagai dewan pendiri Islamic Cultural Center (ICC). (ahlulbaitindonesia.or.id).
Setahun kemudian, tepatnya pada 2004, Catatan Kang Jalal (1997)
Ini mendirikan sekaligus memimpin forum kajian tasawuf bernama Kajian Kang Jalal (KKJ) yang sempat bermarkas di Gedung Bidakara. Sampai sekarang, KKJ masih rutin dilaksanakan di Universitas Paramadina, Mampang, Jakarta Selatan, setiap bulan.
Jalal dan IJABi
Sebelum jalal tertarik Syiah, gerakan transnasional dari Iran ini secara diam-diam sudah berkembang di Bangsri, Jepara tahun 1982. Pengikutnya 300 orang yang dikembangkan oleh Abdul Qadir Bafaqih di Pesantren Al Khairat (Tim Peneliti Litbang Kemenag 1986/87).
Dari sanalah gerakan Syiah di Indonesia dimulai. Sebenarnya Syiah sudah ada sebelum masa itu, tetapi tidak atau belum mengemuka, sehingga tidak menjadi perhatian umat Islam secara umum.
Dari Bangsi Jepara ini, komunitas Syiah terus bergerak dan tumbuh di berbagai wilayah Indonesia. Gerakan Syiah berjalan tanpa gejolak, sampai muncul reaksi pada tahun 2000-an di Pekalongan. Reaksi yang muncul, mulai dari lunak sampai tindakan kekerasan sehingga menyedot perhatian mengingat pada dasarnya Islam merupakan agama damai (Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 2004).
Dalam hal aliran, Syiah yang banyak diikuti di Kota Pekalongan termasuk ke dalam aliran Imamiah atau Itsna ‘Asyariah sebagai aliran terbesar di dalam Syiah. Dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam. (Dinamika Syiah di Indonesia, 2017).
Kota Pekalongan merupakan salah satu kota yang mengalami perkembangan Syiah di Indonesia yang cukup pesat selain Bandung, Bangil, Lampung, Makassar, dan kota-kota lain.
Di era Orde Baru Jalal jarang mengaku dirinya Syiah. Penulis buku Islam Aktual (1994) dan Psikologi Komunikasi (1994) di beberapa buku hanya mengakan diirinya dibesarkan dalam tradisi NU dan sempat mencicipi ajaran Muhammadiyah, tidak mengaku secara terbuka kegiatanya di Syiah.
Setelah tumbangnya masa Orde Baru tahun 1989, para aktivis Syiah di Indonesia –termasuk Jalaluddin Rahmat, Husein Shahab, Umar Shahab dan Ahmad Baraghbah– sepakat pentingnya didirikan suatu organisasi sosial keagamaan untuk dapat menyatukan komunitas Syiah di Indonesia. Usaha serius untuk mendirikan suatu lembaga semacam ini sudah dicoba sejak awal tahun 1990-an namun tidak berhasil sebagaimana disebut di atas.
Tokoh-tokoh Syiah ini mencoba melupakan persoalan yang menjadi kegagalan Yayasan MAHDI dengan melakukan satu pertemuan ke pertemuan lainnya diantaranya di ICC Al-Huda Jakarta yang digagas oleh Jalaluddin Rahmat yang juga melibatkan alumni Qum dan bahkan mendapatkan dukungan dari Pemerintah Republik Islam Iran. Dari pertemuan-pertemuan itu diajukan nama organisasi Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI).
Walaupun terjadi silang pendapat di kalangan pimpinan Syiah di Indonesia namun pada akhirnya IJABI dapat dideklarasikan di Bandung pada I Juli 2000 yang dihadiri ± 2000 pengikut Syiah dari 20 Provinsi di Indonesia bahkan dari Singapura dan Iran. Jalaluddin Rahmat mengunjungi Iran melaporkan berbagai rencana strategisnya kepada para pemimpin Syiah di sana dan untuk mendapatkan dukungan dari Wali Faqih‘ Ali Khamaeni (The Struggle of Shi’is in Indonesia, The Australian National Univercity Press, 2013).
Terpilihnya Jalal membuat kelompok Syiah pecah. Dalam Dinamika Syiah di Indonesia, disebutkan saat itu lahirlah ABI (Ahlulbait Indonesia (ABI), peleburan dari Lembaga Komunikasi Ahlul Bait (LKAB) yang didirikan oleh Ahlulbait sebagai protes atas diangkatnya Jalaludin Rahmat sebagai ketua IJABI, karena Jalal orang Sunda dan bukan keturunan Arab.
Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) adalah salah satu ormas Islam produk era awal reformasi. Angin segar keterbukaan yang berhembus kencang menjadi momentum tepat bagi komunitas Syiah di Indonesia untuk menegaskan kehadirannya secara terbuka di tengah masyarakat luas.
Persisnya saat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden Indonesia, akhirnya secara terbuka mengaku sebagai penganut Islam Syiah. “Secara fikih dan akidah, saya sekarang Syiah,” kata Jalaluddin Rakhmat dalam wawancara khusus dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, di Jakarta, pertengahan Juli 2013 lalu.
Sejak itu, IJABI tidak bisa dipisahkan dari peran tokoh utama sang pendiri; yaitu Jalaluddin Rakhmat.
Yayasan Muthahhari
Selain IJABI, lembaga lain yang tidak bisa dipisahkan dari kehadiran Jalaluddin Rakhmat adalah Yayasan Muthahhari. Dibawah asuhan Jalal, yayasan ini sudah lebih dulu berdiri di Bandung, jauh sebelum IJABI dideklarasikan. Yayasan ini mengelola sejumlah satuan pendidikan umum tingkat dasar hingga menengah atas.
Kekaguman Jalaluddin Rakhmat dengan Murthadha Muthahhari, seorang ulama Syi’ah menjadikan dia mendirikan Yayasan Muthahhari. Dalam buku JALALUDDIN RAKHMAT, Catatan Kang Jalal; Visi Media, Politik, Dan Pendidikan, Remaja Rosdakarya Bandung), ia menyebutkan Muthahhari seorang pemikir Syi’ah yang dianggap terbuka, membuat memakai nama yayasannya Muthahhari. “Itu karena tiga pertimbangan. Pertama, Muthahhari itu seorang pemikir Syi’ah yang sangat non-sektarian, yang sangat terbuka,” katanya.
Sebagian masyarakat, bahkan sudah mempersepsikannya sebagai lembaga pendidikan Syiah, meski IJABI belum berdiri. Pasalnya, Jalal sang pengasuh, lebih dulu dikenal sebagai tokoh Syiah Indonesia, kendatipun (saat itu) belum menyatakannya secara terbuka. Ketika IJABI resmi berdiri tahun 2000, maka jati diri Syiah di Indonesia semakin jelas.
SMA Plus Muthahhari Bandung didirikan Kang Jalal pada 1 Juli 1992. Di lembaga ini, Kang Jalal pernah menjalankan tugas sebagai kepala sekolah.
Melalui IJABI dan Muthahhari, Jalaluddin Rakhmat berusaha melakukan sosialisasi pemikiran Syiah. Sosialisasi inilah yang disebut Miftah F. Rakhmat dengan istilah ‘memperkenalkan khasanah yang hilang’.
“IJABI tidak bertujuan merubah keyakinan orang dan mengajaknya untuk menjadi penganut Syiah dengan tujuan memperbesar massa Syiah secara kuantitatif. Hal yang dilakukan IJABI melalui Muthahhari adalah memperkenalkan kepada masyarakat tentang khazanah yang hilang itu, mengajak orang untuk mencintai keluarga Nabi saw dan sekaligus menegaskan bahwa Syiah adalah bagian dari umat muslim. (Wawancara dengan Miftah F. Rakhmat, anggota Dewan Syuro IJABI dan pengasuh di Yayasan Muthahhari pada Rabu, 12 Juni 2013, dalam IJABI dan Pendidikan Ahlul Bait; Studi Kasus pada Yayasan Muthahhari Bandung, Nunu Ahmad An-Nahid).
Menurut Mftah F. Rakhmat, Muthahhari tidak akan mengidentifikasikan diri sebagai lembaga pendidikan Syiah. Namun demikian, hal itu tidak dapat memupus persepsi orang selama ini tentang Yayasan Muthahhari, mengingat Kang Jalal sebagai pendiri Yayasan Muthahhari telah menyatakan ke-syiahan-nya secara terbuka.
Menyangkut pengajaran akidah Syiah, Muthahhari mengaku tidak terlalu kesulitan, mengingat latar belakang siswa berasal dari keluarga Nahdliyin (NU), dimana tradisi keagamaannya lebih banyak kesamaannya dengan tradisi keagamaan Syiah. Kemudahan lainnya, karena SMP Plus Muthahhari telah dipercaya oleh sebagian orang tua, khususnya para pengurus IJABI bahkan tingkat nasional sebagai lembaga pengkaderan IJABI.
“Artinya, ada sebagian siswa yang memang sudah memiliki basis pengamalan keagamaan ahlul bait atau Syiah. Sejak awal pembelajaran, siswa dikenalkan dengan dasar-dasar keahlulbaitan yang terdiri dari dua mata pelajaran utama, yaitu Fiqh Ja’fari dan aqidah ahlul bait, selain aspek pendukungnya, yaitu siswa juga mempelajari bahasa Parsi,” ujar Reni Kurniati, alumni Qum Iran dan guru Fiqh Ja’fariyah pada SMP Plus Muthahhari, dalam IJABI dan Pendidikan Ahlul Bait; Studi Kasus pada Yayasan Muthahhari Bandung, Nunu Ahmad An-Nahid ).
Sementara itu, pada mata pelajaran PAI versi kurikulum Depdikbud, siswa mempelajari fiqh dan aqidah berdasarkan faham Sunni. Artinya, siswa mempelajari fiqh dan aqidah dari dua perspektif, Sunni dan Syiah.
Awalnya, siswa mengalami kebingungan. Namun pada prakteknya, saat shalat Dzuhur berjamaah, siswa yang mengamalkan fiqh Ja’fari melanjutkan shalat Ashar sesaat setelah shalat Dzuhur. Sementara siswa yang meng amalkan fiqh Sunni mundur ke belakang dan melaksanakan shalat Ashar saat sudah masuk pada waktunya.
“Praktek tersebut akan lebih tampak pada kelas IX, dimana siswa sudah mulai mampu mengambil pilihan secara mandiri. Ada siswa yang “berpindah” madzhab yang tadinya mengamalkan fiqh Sunni, kemudian mengamal kan fiqh ahlul bait (Syiah).”
Perubahan pada kelas terakhir ini tidak terlalu mencolok. Berkisar antara 10 sampai 20 orang. Menurut guru fiqh Ja’fari, “keberhasilan” menjadikan siswa sebagai penganut baru bagi faham Syiah ini, karena “kehebatan” guru aqidahnya. Manakala aqidah Syiah telah tertanam secara kuat pada setiap siswa, maka pada gilirannya mereka akan mengamalkan fiqh Ja’fari dalam pengamalan ibadah hariannya. (IJABI dan Pendidikan Ahlul Bait; Studi Kasus pada Yayasan Muthahhari Bandung, Nunu Ahmad An-Nahid). (hidayatullah.com)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: