Breaking News
Loading...

Studi Kritis Konsep Wasiat dan Ghadir Khum

 Syiahindonesia.com - Konsep wasiat dan peristiwa Ghadir Khum menjadi dua topik utama dalam akidah Syiah yang sering diperdebatkan. Dalam pandangan Syiah, Ghadir Khum dianggap sebagai deklarasi Nabi Muhammad ﷺ bahwa Imam Ali bin Abi Thalib adalah penerus langsungnya. Selain itu, konsep wasiat dalam Syiah mengklaim adanya penunjukan khusus terhadap Imam Ali dan keturunannya sebagai pemimpin umat Islam. Namun, Ahlus Sunnah memiliki pandangan yang berbeda berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits. Artikel ini akan mengkaji kedua konsep ini secara kritis.

1. Peristiwa Ghadir Khum: Deklarasi Kepemimpinan atau Persaudaraan?

Peristiwa Ghadir Khum terjadi saat Nabi Muhammad ﷺ berhenti di sebuah tempat bernama Ghadir Khum setelah menunaikan Haji Wada’. Nabi ﷺ menyampaikan khutbah dan mengangkat tangan Imam Ali seraya berkata:

مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ
"Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya."
(HR. Tirmidzi)

Syiah menafsirkan hadits ini sebagai deklarasi kepemimpinan Imam Ali. Namun, Ahlus Sunnah menafsirkan hadits ini dalam konteks persaudaraan dan penghormatan terhadap Ali bin Abi Thalib, bukan sebagai penunjukan kepemimpinan. Jika Nabi ﷺ memang bermaksud menunjuk pengganti, hal tersebut pasti akan disampaikan dengan lebih eksplisit dan diulang dalam berbagai kesempatan lain.

2. Konsep Wasiat dalam Syiah

Syiah meyakini bahwa Nabi Muhammad ﷺ memberikan wasiat kepada Imam Ali bin Abi Thalib sebagai penerusnya. Namun, tidak ada dalil yang eksplisit dalam Al-Qur’an atau hadits yang menyebutkan adanya wasiat tersebut.

Sebaliknya, Al-Qur’an menegaskan bahwa pemimpin umat Islam dipilih melalui musyawarah:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
"Dan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka."
(QS. Asy-Syura: 38)

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan proses musyawarah dalam menentukan kepemimpinan, bukan melalui penunjukan keturunan atau wasiat khusus.

3. Penegasan Kesempurnaan Agama

Syiah juga sering mengaitkan peristiwa Ghadir Khum dengan turunnya ayat berikut:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku."
(QS. Al-Maidah: 3)

Namun, Ahlus Sunnah memahami ayat ini sebagai penegasan bahwa agama Islam telah sempurna dengan syariat dan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ, bukan berkaitan dengan penunjukan Imam Ali sebagai penerus.

4. Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin

Ahlus Sunnah berpegang teguh pada sunnah Khulafaur Rasyidin yang dipilih berdasarkan musyawarah dan persetujuan umat. Rasulullah ﷺ juga bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي
"Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku."
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Hadits ini menunjukkan bahwa kepemimpinan setelah Nabi ﷺ tidak ditentukan oleh garis keturunan atau wasiat, melainkan melalui prinsip-prinsip Islam yang telah diajarkan oleh Nabi ﷺ.

Kesimpulan

Pandangan Syiah tentang wasiat dan peristiwa Ghadir Khum tidak memiliki dalil yang kuat dalam Al-Qur’an dan hadits. Ahlus Sunnah meyakini bahwa Islam mengajarkan musyawarah dalam memilih pemimpin, dan tidak ada penunjukan khusus kepada Imam Ali atau keturunannya sebagai pemimpin umat. Oleh karena itu, penting bagi umat Muslim untuk memahami dalil-dalil yang shahih dalam menentukan keyakinan mereka.

(albert/Syiahindonesia.com)




************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!

Artikel Syiah Lainnya

0 komentar: