Syiahindonesia.com - Suatu hari di kota Najaf datang berita kepada saya ( Sayyid Husein al-Musawi ) bahwa yang mulia Sayyid Abdul Husein Syafaruddin al-Musawi sampai ke Baghdad, dan akan sampai ke Hauzah ( kota ilmu ) untuk bertemu dengan yang mulia Imam Ali Kasyif al-Ghitha. Sayyid Syafaruddin adalah orang yang sangat dihormati di kalangan orang-orang Syi’ah, baik dari kalangan awwam maupun dari kalangan khusus. Terutama setelah terbitnya kitab-kitab yang dia karang, yaitu kitab Muraja’at ( Buku ini diterbitkan oleh Mizan dengan judul “Dialog Sunnah-Syi’ah”, penj. ) dan kitab Nash wal Ijtihad.
Ketika dia sampai di Najaf, dia mengunjungi kota ilmu. Para kader di Hauzah, baik para pelajar maupun para ulama’nya memberikan penyambutan kepadanya yang sangat meriah. Dalam satu majlis di kantor Sayyid Ali Kasyif Al-Ghitha’ yang dihadiri oleh banyak tokoh dan beberapa pelajar, dan saya adalah salah seorang dari mereka.
Ketika forum ini telah berlangsung masuk, tiba-tiba seorang pemuda yang sangat belia datang dan mengucapkan salam. Para hadirin menjawab salamnya, lalu dia berkata kepada Sayyid Kasyif Al-Ghitha’, “Sayyid, saya mempunyai pertanyaan.”
Sayyid berkata kepadanya, “Sampaikan pertanyaanmu kepada Sayyid Syafaruddin.” Lalu pertanyaan tersebut dialihkan kepada tamunya, Sayyid Syafarudiin, sebagai penghormatan dan pemuliaan.
Si penanya berkata, “Sayyid, saya belajar di London untuk meraih gelar doctor, sementara saya masih bujangan dan belum menikah, saya mengharapkan ada seorang wanita yang dapat melayani saya di sana.” Di awal-awal dia tidak mengungkapkan maksudnya dengan jelas.
Sayyid Syafaruddin berkata kepadanya, “Nikahlah, kemudian bawalah isterimu ke sana.”
Si laki-laki berkata, “Sulit bagi saya untuk tinggal bersama isteri yang berasal dari negeriku di sana.”
Sayyid Syafaruddin mengetahui maksudnya, maka dia berkata kepadanya, “Kalau begitu apakah kamu ingin menikahi wanita yang berkebangsaan Inggris?”
Si laki-laki berkata, “Ya.”
Sayyid berkata, “Ini tidak boleh. Nikah dengan orang Yahudi dan Kristen hukumnya haram.”
Si laki-laki berkata, “Apa yang harus saya lakukan jika demikian?”
Sayyid menjawab, “Carilah wanita muslimah yang tinggal di sana, dari bangsa Arab atau India atau yang berkebangsaan lain dengan syarat dia seorang muslimah.”
Si laki-laki berkata, “Saya sudah lama mencarinya, tetapi tidak mendapatkan wanita muslimah yang tinggal di sana yang cocok untuk menjadi isteriku, walau untuk dinikahi secara mut’ah sekalipun, namun saya pun tidak mendapatkannya. Di hadapanku tidak ada pilihan lain selain berbuat zina atau menikah dan semua itu tidak bisa saya lakukan. Adapun zina, saya menghindarinya karena perbuatan itu haram, sedangkan menikah adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan sebagaimana tuan ketahui. Saya tinggal di sana selama setahun penuh atau lebih, kemudian saya pulang ke kampung halaman dalam rangka liburan selama satu bulan. Dan ini sebagaimana tuan ketahui adalah perjalanan yang panjang. Apa yang harus saya lakukan?”
Sayyid Syafaruddin terdiam, ( tampaknya dia memilih untuk memberikan jawaban kepada orang yang bertanya. Ketika terbuka peluang bagi saya untuk bersama-sama dengan Sayyid Ali Kasyif al-Ghitha’, saya menanyakan kepadanya tentang riwayat yang disebutkan oleh Sayyid Syafaruddin, maka dia berkata, “Saya tidak mendapatkannya, saya tidak pernah membacanya.” Maka, semenjak itu saya berusaha untuk mendapatkan sumber riwayat tersebut dalam setiap kitab riwayat yang saya baca, yang sampai ke tangan saya, maka saya tidak mendapatkan sumbernya, saya mengira bahwa dia menjawab secara spontan agar terhindar dari rasa malu ketika harus memberi jawaban di hadapan hadirin ).
Kemudian dia berkata, “Sesungguhnya keadaanmu betul-betul dalam kondisi darurat. Namun saya ingat, saya membaca suatu riwayat, Imam Ja’far ash-Shadiq -‘alaihi salam-, jika datang seorang laki-laki yang sering bepergian, sementara dia tidak bisa ditemani oleh isterinya serta tidak bisa melakukan nikah mut’ah di suatu negeri yang dia pergi kepadanya, sehingga dia merasakan penderitaan sebagaimana yang kamu rasakan, maka Abu Abdillah -’alaihi salam- berkata kepadanya, ‘Jika perjalanmu berlangsung lama, maka kawinilah laki-laki.’ Inilah jawaban pertanyaanmu.”
Sebagian murid Sayyid Syafaruddin mengabarkan kepada saya, sesungguhnya ketika dia berkunjung ke Eropa, dia banyak melakukan nikah mut’ah dengan wanita-wanita Eropa, terutama dengan wanita-wanita cantik. Dia menikah dengan seorang gadis yang beragama Kristen Marotin, namanya Nahar Kanabiya. Maka, mengapa dia menghalalkan untuk dirinya apa yang diharamkan untuk orang lain???
Berikut fatwa dari ulama Syiah akan penghalalan homo sex:
Dinukil dari: Lillaahi Tsumma lie At-Taarikh, Edisi Indonesia: Mengapa Saya Keluar dari SYIAH, Sayyid Hasan Al-Musawi, hal. 68 – 70, Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. (fadhlihsan.wordpress.com/Syiahindonesia.cm)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Ketika dia sampai di Najaf, dia mengunjungi kota ilmu. Para kader di Hauzah, baik para pelajar maupun para ulama’nya memberikan penyambutan kepadanya yang sangat meriah. Dalam satu majlis di kantor Sayyid Ali Kasyif Al-Ghitha’ yang dihadiri oleh banyak tokoh dan beberapa pelajar, dan saya adalah salah seorang dari mereka.
Ketika forum ini telah berlangsung masuk, tiba-tiba seorang pemuda yang sangat belia datang dan mengucapkan salam. Para hadirin menjawab salamnya, lalu dia berkata kepada Sayyid Kasyif Al-Ghitha’, “Sayyid, saya mempunyai pertanyaan.”
Sayyid berkata kepadanya, “Sampaikan pertanyaanmu kepada Sayyid Syafaruddin.” Lalu pertanyaan tersebut dialihkan kepada tamunya, Sayyid Syafarudiin, sebagai penghormatan dan pemuliaan.
Si penanya berkata, “Sayyid, saya belajar di London untuk meraih gelar doctor, sementara saya masih bujangan dan belum menikah, saya mengharapkan ada seorang wanita yang dapat melayani saya di sana.” Di awal-awal dia tidak mengungkapkan maksudnya dengan jelas.
Sayyid Syafaruddin berkata kepadanya, “Nikahlah, kemudian bawalah isterimu ke sana.”
Si laki-laki berkata, “Sulit bagi saya untuk tinggal bersama isteri yang berasal dari negeriku di sana.”
Sayyid Syafaruddin mengetahui maksudnya, maka dia berkata kepadanya, “Kalau begitu apakah kamu ingin menikahi wanita yang berkebangsaan Inggris?”
Si laki-laki berkata, “Ya.”
Sayyid berkata, “Ini tidak boleh. Nikah dengan orang Yahudi dan Kristen hukumnya haram.”
Si laki-laki berkata, “Apa yang harus saya lakukan jika demikian?”
Sayyid menjawab, “Carilah wanita muslimah yang tinggal di sana, dari bangsa Arab atau India atau yang berkebangsaan lain dengan syarat dia seorang muslimah.”
Si laki-laki berkata, “Saya sudah lama mencarinya, tetapi tidak mendapatkan wanita muslimah yang tinggal di sana yang cocok untuk menjadi isteriku, walau untuk dinikahi secara mut’ah sekalipun, namun saya pun tidak mendapatkannya. Di hadapanku tidak ada pilihan lain selain berbuat zina atau menikah dan semua itu tidak bisa saya lakukan. Adapun zina, saya menghindarinya karena perbuatan itu haram, sedangkan menikah adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan sebagaimana tuan ketahui. Saya tinggal di sana selama setahun penuh atau lebih, kemudian saya pulang ke kampung halaman dalam rangka liburan selama satu bulan. Dan ini sebagaimana tuan ketahui adalah perjalanan yang panjang. Apa yang harus saya lakukan?”
Sayyid Syafaruddin terdiam, ( tampaknya dia memilih untuk memberikan jawaban kepada orang yang bertanya. Ketika terbuka peluang bagi saya untuk bersama-sama dengan Sayyid Ali Kasyif al-Ghitha’, saya menanyakan kepadanya tentang riwayat yang disebutkan oleh Sayyid Syafaruddin, maka dia berkata, “Saya tidak mendapatkannya, saya tidak pernah membacanya.” Maka, semenjak itu saya berusaha untuk mendapatkan sumber riwayat tersebut dalam setiap kitab riwayat yang saya baca, yang sampai ke tangan saya, maka saya tidak mendapatkan sumbernya, saya mengira bahwa dia menjawab secara spontan agar terhindar dari rasa malu ketika harus memberi jawaban di hadapan hadirin ).
Kemudian dia berkata, “Sesungguhnya keadaanmu betul-betul dalam kondisi darurat. Namun saya ingat, saya membaca suatu riwayat, Imam Ja’far ash-Shadiq -‘alaihi salam-, jika datang seorang laki-laki yang sering bepergian, sementara dia tidak bisa ditemani oleh isterinya serta tidak bisa melakukan nikah mut’ah di suatu negeri yang dia pergi kepadanya, sehingga dia merasakan penderitaan sebagaimana yang kamu rasakan, maka Abu Abdillah -’alaihi salam- berkata kepadanya, ‘Jika perjalanmu berlangsung lama, maka kawinilah laki-laki.’ Inilah jawaban pertanyaanmu.”
Sebagian murid Sayyid Syafaruddin mengabarkan kepada saya, sesungguhnya ketika dia berkunjung ke Eropa, dia banyak melakukan nikah mut’ah dengan wanita-wanita Eropa, terutama dengan wanita-wanita cantik. Dia menikah dengan seorang gadis yang beragama Kristen Marotin, namanya Nahar Kanabiya. Maka, mengapa dia menghalalkan untuk dirinya apa yang diharamkan untuk orang lain???
Berikut fatwa dari ulama Syiah akan penghalalan homo sex:
Dinukil dari: Lillaahi Tsumma lie At-Taarikh, Edisi Indonesia: Mengapa Saya Keluar dari SYIAH, Sayyid Hasan Al-Musawi, hal. 68 – 70, Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. (fadhlihsan.wordpress.com/Syiahindonesia.cm)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: