2. Hadits Al Kisa’
Diriwayatkan dari Muslim dalam shahihnya, dari Aisyah –radhiallahu ‘anha- ia berkata:
خَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم غَدَاةً وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ مِنْ شَعْرٍ أَسْوَدَ فَجَاءَ الْحَسَنُ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُ ثُمَّ جَاءَ حُسَيْنٌ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُ ثُمَّ جَاءَتْ فَاطِمَةُ فَأَدْخَلَهَا ثُمَّ جَاءَ عَلِيٌّ فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ قَالَ "إنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمَ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا"
"Pada suatu pagi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar dari rumahnya dengan membawa kain bulu hitam yang berhias. Tak lama datanglah Hasan bin Ali, lalu beliau menyuruhnya masuk ke dalam. Kemudian datanglah Husain dan beliau pun masuk bersamanya ke dalam. Setelah itu datanglah Fatimah dan beliau pun menyuruhnya masuk ke dalam. Terakhir datanglah Ali dan beliau pun menyuruhnya masuk ke dalam. Kemudian beliau membaca ayat: "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa darimu hai ahlul bait dan membersihkanmu sebersih-bersihnya."[1] (Al Ah zaab: 33).
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam isterinya Ummu Salamah bersama mereka, bahkan beliau bersabda kepadanya; “Kamu termasuk Ahlulbaitku, kamu berada diatas kebaikan.”
Akan tetapi Rasulullah mengatakan: kamu bagian dari Ahlu Baitku dan kamu terus berada dalam kebaikan.
Apa Kaitannya?
Kita tidak tahu apa kaitannya hadits ini dengan mengeluarkan ummahatul mukminin dari ketentuan hadits diatas?
Tujuan hadits ini adalah memasukkan kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak tinggal bersama beliau dalam ketentuan ayat diatas, dan bukanlah tujuan hadits ini membatasi hanya untuk mereka atau mengeluarkan selain dari mereka. Jadi bukan berarti dengan masuknya mereka. mengeluarkan yang lain. Rahmat Allah sangat luas bagi siapa saja, tidak sempit untuk seseorang dikarenakan orang lain.
Seperti orang yang menunjuk empat temannya; “Mereka adalah teman-temanku” bukan berarti sebatas mereka saja yang menjadi temannya. Sekiranya seseorang memiliki sepuluh saudara, kemudian ia menunjuk tiga orang yang sedang bersamanya; “Mereka bertiga adalah saudaraku.” Tidak disebutkan saudaranya yang lain bukan berarti menunjukkan ia tidak memiliki saudara yang lain, kecuali kalau memang dia benar-benar tidak memiliki saudara selain mereka. Qarinah (hubungan) yang membatasi makna lafazh secara luas maupun sempit merupakan hakekat suatu perkara, adapun lafazh secara bahasa tidak dapat menafikan atau menetapkan sesuatu, sementara Ahlulbait Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hakekatnya adalah banyak, lalu atas dasar apa dengan lafazh tersebut kita membatasi sebagian tanpa sebagian yang lain?
Masalah ini banyak berulang dalam Al Qur’an, diantaranya;
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus…”[2] artinya (ketetapan) agama yang lurus bukan sebatas bilangan bulan yang diantaranya empat bulan yang haram saja.
Begitu halnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; “Mereka adalah Ahlulbaitku” maksudnya dari keluagaku.
Jika lafadz ini mencegah seseorang menjadi Ahlulbait Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama dengan keempat orang tadi, bagaimana mungkin mereka (Syiah) memasukkan sembilan orang lainnya[3] bersama mereka, sementara kesembilan orang tersebut sama sekali belum ada ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dan berdoa dengan do’a tersebut.
Jika mereka (Syiah) menjawab; Karena adanya dalil mengenai hal itu. Kami katakan: “Semua dalil diatas menunjukkan bahwa semua isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Ahlulbait beliau, sementara dalil-dalil yang dijadikan hujjah oleh Syiah untuk memasukkan kesembilan (imam), tidak ada dalil satu pun dari ayat Al Qur’an, dan itu tidak lain hanya riwayat-riwayat yang mereka palsukan.
Justru hujjah itu untuk kami bukan membantah kami
Saya menambahkan: jika kita perhatikan sedikit saja, niscaya kita akan menemukan bahwa hadits tersebut merupakan hujjah bagi kita bukan untuk membantah kita, sebab terdapat qarinah (hubungan) yang sangat jelas, bahwa yang dimaksud dalam ayat diatas adalah para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sekiranya ayat diatas turun khusus untuk Ashabulkisa’, maka do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mereka tidak ada artinya. Apa faidahnya seseorang berdoa untuk sesuatu yang sudah (ma’shum) sejak awal? Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdo’a, memohon kepada Allah agar dengan kemurahannya memasukkan orang-orang yang dido’akan (Ashabulkisa’), sebagai wujud kasihsayang beliau, supaya mereka juga masuk dalam kategori Ahlulbait, karena memang ayat diatas sejak awal berbicara tentang isteri-isteri Nabi. Sekiranya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memastikan bahwa Ashabulkisa’ masuk dalam maksud ayat, atau beliau sudah nyaman dengan hal itu, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak perlu berdoa untuk mereka.
Lafadz Dengan Bentuk Umum, Namun Maksudnya Khusus:
Adanya lafadz dengan bentuk umum, namun makna yang dimaksud adalah khusus cukup dikenal dalam tatanan bahasa Arab. Jika terdapat qarinah (hubungan) dalam satu kalimat, maka harus mengembalikan kepada makna yang dimaksud, baik qarinah (hubungan) tersebut bersifat haliyah maupun lafzhiyah, adapaun yang bersifat haliyah seperti firman Allah;
“Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah…”[4]
Lafazh “Ardhu” dan “Ahluha” sifatnya masih umum, sedangkan maksudnya adalah Mesir dan penduduknya, ini adalah makna khusus. Qarinah (hubungan ayat) tidak menetapkan dalam sejarah, bahwa Fir’aun sama sekali tidak pernah menjadi penguasa di seluruh dunia.
Allah berfirman sehubungan dengan angin yang dikirim kepada kaum Add;
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya…”[5]
Lafazh “Kulla syai’in” (segala sesuatu) adalah umum, akan tetapi qarinah lafzhiyah yang terletak setelahnya menyebutkan;
“Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka.”[6] Maka maknanya menjadi khusus, tidak tempat tinggal secara umum.
Begitu halnya dengan lafadz “Ahlubait” dalam ayat diatas, meskipun bentuknya umum, akan tetapi karena adanya qarinah (hubungan), maka maksud sebenarnya “Ahlubait” adalah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berdasarkan bentuk dan sebab turunnya ayat diatas. Saya pastikan kepada para pembaca, bahwa ayat tersebut khusus kepada isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sama sekali qarinah diatas tidak menyebutkan bahwa beliau menetapkan maksud ayat diatas secara umum, karena itulah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berdo’a kepada para ashhabul kisa’. Demikian do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut merupakan penjelasan bagi kita dengan dua perkara:
Pertama, para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang pertama di maksud dalam ayat tersebut.
Kedua, cakupan lafadznya untuk Ahlulbait beliau yang lain, sekiranya bukan karena do’a Nabi sh’allallahu ‘alaihi wasallam, maka kita tidak akan menentukan perkara yang kedua, karena itu perhatikanlah.
Adapun membatasi makna ayat hanya untuk Ahlikisa’ tanpa menyertakan isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah batil, karena beberapa hal;
1. Secara bahasa, Ahlulbait seorang laki-laki adalah isterinya dan yang tinggal serumah dengannya, ketika ayat diatas turun, tidak ada yang berada di rumah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam selain isteri-isteri beliau
2. Makna yang benar untuk kata “Al Ahlu” adalah isteri, adapun penyandaran kepada kerabat itu hanya sebagai gaya bahasa saja. Sebelumnya sudah dijelaskan berkenaan dengan perkataan Al Ashfahani; “Pada dasarnya “Ahlur Rajuli” (keluarga seseorang) berarti orang yang berkumpul bersama dalam satu tempat tinggal, dikatakan; Ahlulbait seseorang adalah yang berkumpul bersamanya dari garis keturunan.” Membawa lafazh kepada makna majazi (kiasan) tanpa makna hakiki (sebenarnya) tidak dapat diterima kecuali terkumpul dua hal, yaitu:
1) Adanya Maani’ (penghalang)
2) Adanya Qarinah (kata yang menyertainya)
“Maani’” (penghalang) dapat mencegah lafazh dimaknai dengan makna sebenarnya, sedangkan Qarinah dapat menyebabkan lafazh dimaknai dengan makna majaz (kiasan), namun (pada ayat diatas) tidak ada halangan memaknai ayat tersebut dengan makna sebenarnya yaitu “Zaujah” (isteri), bahkan tidak ada qarinah pada saat turunnya ayat, yang menjadikan maknanya cenderung dimaknai dengan makna umum, lebih-lebih membatasinya dengan dalih majaz (kiasan).
3. Sebab turunnya ayat
Bahwa isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjadi sebab turunnya ayat ini, dan menjadi sebab utama masuknya mereka ke dalam ketentuan ayat diatas, yaitu ketika Ummu Salamah –sebagaimana dinyatakan di sebagian riwayat- hendak masuk bersama dengan Ahlikisa’, dia berkata; “Bukankah aku termasuk dari keluargamu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menjawab: “Engkau termasuk Ahlulbaitku.” Dan sabda beliau: “Engkau berada diatas kebaikan.” Artinya bahwa engkau telah diliputi kebaikan, maka engkau tidak perlu masuk bersama mereka, karena engkau menjadi sebab turunnya ayat, ini seperti makna dalam riwayat yang lain; “Engkau berada diatas kebaikan, karena engkau termasuk dari isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ini berarti, sekiranya Ashabulkisa’ telah tercakup dalam ketentuan ayat diatas, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan mendo’akan mereka.
4. Siyaqul Ayat (konteks ayat),
Dari siyaqul ayat (konteks ayat) menolak untuk memasukkan kata-kata asing diantara dua perkataan untuk satu tujuan berdasarkan perkataan orang-orang bijak, jika tidak maka maknanya akan sangat rendah dan hina yang hal itu harus dijauhkan dari kalamullah. Lantas, apa kaitannya antara ishmahnya beberapa orang tertentu berdasarkan suatu perkataan untuk memasukkan yang lainnya ke dalam bagiannya?
5. Rumah Nabi adalah yang dimaksud dalam ayat tersebut, bukan rumah orang lain.
Sebab yang menempati Rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat turunnya ayat adalah isteri-isteri beliau, disamping itu terdapat rumah Ali radhiallahu ‘anhu yang berdiri sendiri. Sangat tidak mungkin terpikir dibenak Nabi atau yang lainnya bahwa yang dimaksud “Ahlulbait” dalam ayat diatas adalah rumah Ali radhiallahu ‘anhu, namun yang benar adalah rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Barangsiapa mengatakan bahwa makna “Ahlulbait” khusus untuk Ashabulkisa’, maka yang demikian mengharuskan ayat diatas turun khusus untuk Ahlulbait Ali, bukan Ahlulbait Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seolah-olah dalam ayat ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Ali tanpa ada perbedaan, sekiranya kita mengangkat Nabi dan meletakkan pada posisi Ali, maknanya pun tidak berubah, begitu juga sekiranya kita mempersepsikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki rumah pribadi, mungkinkah ada tempat untuk turunnya rahmat dan keberkahan? Ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim dan orang yang memiliki akal.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kurang tenang karena ayat tersebut maknanya umum, yang mencakup semuanya, sehingga beliau berdo’a dengan do’a yang cukup dikenal untuk Ashahbulkisa’, karena itu kita menetapkan makna umum bagi ayat diatas, sebab kalau bukan adanya hadits kisa’, kita tidak dapat menetapkan hal itu.
Kesimpulan: Demikianlah, sanad lughawi yang digunakan untuk menafsirkan ayat diatas dengan “ishmah” menjadi gugur, lebih-lebih kema’shuman orang-orang yang mereka tentukan, jadi hujjah mereka dengan ayat diatas untuk hal itu telah gugur. (Team Syiahindonesia.com)
[1] QS Al Ahzab; 33
[2] QS At Taubah; 36
[3] Maksudnya Sembilan imam Syiah selain Ali, Hasan dan Husain -penj
[4] QS Al Qashash; 4
[5] QS Al Ahqaf; 25
[6] QS Al Ahqaf; 25
Sumber: Ayatu at-tathir wa ‘alaqotuha bi ‘ishmatil aimmah karya Dr. ‘Abdul Hadi al-Husaini
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Diriwayatkan dari Muslim dalam shahihnya, dari Aisyah –radhiallahu ‘anha- ia berkata:
خَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم غَدَاةً وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ مِنْ شَعْرٍ أَسْوَدَ فَجَاءَ الْحَسَنُ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُ ثُمَّ جَاءَ حُسَيْنٌ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُ ثُمَّ جَاءَتْ فَاطِمَةُ فَأَدْخَلَهَا ثُمَّ جَاءَ عَلِيٌّ فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ قَالَ "إنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمَ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا"
"Pada suatu pagi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar dari rumahnya dengan membawa kain bulu hitam yang berhias. Tak lama datanglah Hasan bin Ali, lalu beliau menyuruhnya masuk ke dalam. Kemudian datanglah Husain dan beliau pun masuk bersamanya ke dalam. Setelah itu datanglah Fatimah dan beliau pun menyuruhnya masuk ke dalam. Terakhir datanglah Ali dan beliau pun menyuruhnya masuk ke dalam. Kemudian beliau membaca ayat: "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa darimu hai ahlul bait dan membersihkanmu sebersih-bersihnya."[1] (Al Ah zaab: 33).
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam isterinya Ummu Salamah bersama mereka, bahkan beliau bersabda kepadanya; “Kamu termasuk Ahlulbaitku, kamu berada diatas kebaikan.”
Akan tetapi Rasulullah mengatakan: kamu bagian dari Ahlu Baitku dan kamu terus berada dalam kebaikan.
Apa Kaitannya?
Kita tidak tahu apa kaitannya hadits ini dengan mengeluarkan ummahatul mukminin dari ketentuan hadits diatas?
Tujuan hadits ini adalah memasukkan kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak tinggal bersama beliau dalam ketentuan ayat diatas, dan bukanlah tujuan hadits ini membatasi hanya untuk mereka atau mengeluarkan selain dari mereka. Jadi bukan berarti dengan masuknya mereka. mengeluarkan yang lain. Rahmat Allah sangat luas bagi siapa saja, tidak sempit untuk seseorang dikarenakan orang lain.
Seperti orang yang menunjuk empat temannya; “Mereka adalah teman-temanku” bukan berarti sebatas mereka saja yang menjadi temannya. Sekiranya seseorang memiliki sepuluh saudara, kemudian ia menunjuk tiga orang yang sedang bersamanya; “Mereka bertiga adalah saudaraku.” Tidak disebutkan saudaranya yang lain bukan berarti menunjukkan ia tidak memiliki saudara yang lain, kecuali kalau memang dia benar-benar tidak memiliki saudara selain mereka. Qarinah (hubungan) yang membatasi makna lafazh secara luas maupun sempit merupakan hakekat suatu perkara, adapun lafazh secara bahasa tidak dapat menafikan atau menetapkan sesuatu, sementara Ahlulbait Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hakekatnya adalah banyak, lalu atas dasar apa dengan lafazh tersebut kita membatasi sebagian tanpa sebagian yang lain?
Masalah ini banyak berulang dalam Al Qur’an, diantaranya;
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus…”[2] artinya (ketetapan) agama yang lurus bukan sebatas bilangan bulan yang diantaranya empat bulan yang haram saja.
Begitu halnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; “Mereka adalah Ahlulbaitku” maksudnya dari keluagaku.
Jika lafadz ini mencegah seseorang menjadi Ahlulbait Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama dengan keempat orang tadi, bagaimana mungkin mereka (Syiah) memasukkan sembilan orang lainnya[3] bersama mereka, sementara kesembilan orang tersebut sama sekali belum ada ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dan berdoa dengan do’a tersebut.
Jika mereka (Syiah) menjawab; Karena adanya dalil mengenai hal itu. Kami katakan: “Semua dalil diatas menunjukkan bahwa semua isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Ahlulbait beliau, sementara dalil-dalil yang dijadikan hujjah oleh Syiah untuk memasukkan kesembilan (imam), tidak ada dalil satu pun dari ayat Al Qur’an, dan itu tidak lain hanya riwayat-riwayat yang mereka palsukan.
Justru hujjah itu untuk kami bukan membantah kami
Saya menambahkan: jika kita perhatikan sedikit saja, niscaya kita akan menemukan bahwa hadits tersebut merupakan hujjah bagi kita bukan untuk membantah kita, sebab terdapat qarinah (hubungan) yang sangat jelas, bahwa yang dimaksud dalam ayat diatas adalah para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sekiranya ayat diatas turun khusus untuk Ashabulkisa’, maka do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mereka tidak ada artinya. Apa faidahnya seseorang berdoa untuk sesuatu yang sudah (ma’shum) sejak awal? Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdo’a, memohon kepada Allah agar dengan kemurahannya memasukkan orang-orang yang dido’akan (Ashabulkisa’), sebagai wujud kasihsayang beliau, supaya mereka juga masuk dalam kategori Ahlulbait, karena memang ayat diatas sejak awal berbicara tentang isteri-isteri Nabi. Sekiranya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memastikan bahwa Ashabulkisa’ masuk dalam maksud ayat, atau beliau sudah nyaman dengan hal itu, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak perlu berdoa untuk mereka.
Lafadz Dengan Bentuk Umum, Namun Maksudnya Khusus:
Adanya lafadz dengan bentuk umum, namun makna yang dimaksud adalah khusus cukup dikenal dalam tatanan bahasa Arab. Jika terdapat qarinah (hubungan) dalam satu kalimat, maka harus mengembalikan kepada makna yang dimaksud, baik qarinah (hubungan) tersebut bersifat haliyah maupun lafzhiyah, adapaun yang bersifat haliyah seperti firman Allah;
“Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah…”[4]
Lafazh “Ardhu” dan “Ahluha” sifatnya masih umum, sedangkan maksudnya adalah Mesir dan penduduknya, ini adalah makna khusus. Qarinah (hubungan ayat) tidak menetapkan dalam sejarah, bahwa Fir’aun sama sekali tidak pernah menjadi penguasa di seluruh dunia.
Allah berfirman sehubungan dengan angin yang dikirim kepada kaum Add;
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya…”[5]
Lafazh “Kulla syai’in” (segala sesuatu) adalah umum, akan tetapi qarinah lafzhiyah yang terletak setelahnya menyebutkan;
“Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka.”[6] Maka maknanya menjadi khusus, tidak tempat tinggal secara umum.
Begitu halnya dengan lafadz “Ahlubait” dalam ayat diatas, meskipun bentuknya umum, akan tetapi karena adanya qarinah (hubungan), maka maksud sebenarnya “Ahlubait” adalah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berdasarkan bentuk dan sebab turunnya ayat diatas. Saya pastikan kepada para pembaca, bahwa ayat tersebut khusus kepada isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sama sekali qarinah diatas tidak menyebutkan bahwa beliau menetapkan maksud ayat diatas secara umum, karena itulah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berdo’a kepada para ashhabul kisa’. Demikian do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut merupakan penjelasan bagi kita dengan dua perkara:
Pertama, para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang pertama di maksud dalam ayat tersebut.
Kedua, cakupan lafadznya untuk Ahlulbait beliau yang lain, sekiranya bukan karena do’a Nabi sh’allallahu ‘alaihi wasallam, maka kita tidak akan menentukan perkara yang kedua, karena itu perhatikanlah.
Adapun membatasi makna ayat hanya untuk Ahlikisa’ tanpa menyertakan isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah batil, karena beberapa hal;
1. Secara bahasa, Ahlulbait seorang laki-laki adalah isterinya dan yang tinggal serumah dengannya, ketika ayat diatas turun, tidak ada yang berada di rumah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam selain isteri-isteri beliau
2. Makna yang benar untuk kata “Al Ahlu” adalah isteri, adapun penyandaran kepada kerabat itu hanya sebagai gaya bahasa saja. Sebelumnya sudah dijelaskan berkenaan dengan perkataan Al Ashfahani; “Pada dasarnya “Ahlur Rajuli” (keluarga seseorang) berarti orang yang berkumpul bersama dalam satu tempat tinggal, dikatakan; Ahlulbait seseorang adalah yang berkumpul bersamanya dari garis keturunan.” Membawa lafazh kepada makna majazi (kiasan) tanpa makna hakiki (sebenarnya) tidak dapat diterima kecuali terkumpul dua hal, yaitu:
1) Adanya Maani’ (penghalang)
2) Adanya Qarinah (kata yang menyertainya)
“Maani’” (penghalang) dapat mencegah lafazh dimaknai dengan makna sebenarnya, sedangkan Qarinah dapat menyebabkan lafazh dimaknai dengan makna majaz (kiasan), namun (pada ayat diatas) tidak ada halangan memaknai ayat tersebut dengan makna sebenarnya yaitu “Zaujah” (isteri), bahkan tidak ada qarinah pada saat turunnya ayat, yang menjadikan maknanya cenderung dimaknai dengan makna umum, lebih-lebih membatasinya dengan dalih majaz (kiasan).
3. Sebab turunnya ayat
Bahwa isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjadi sebab turunnya ayat ini, dan menjadi sebab utama masuknya mereka ke dalam ketentuan ayat diatas, yaitu ketika Ummu Salamah –sebagaimana dinyatakan di sebagian riwayat- hendak masuk bersama dengan Ahlikisa’, dia berkata; “Bukankah aku termasuk dari keluargamu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menjawab: “Engkau termasuk Ahlulbaitku.” Dan sabda beliau: “Engkau berada diatas kebaikan.” Artinya bahwa engkau telah diliputi kebaikan, maka engkau tidak perlu masuk bersama mereka, karena engkau menjadi sebab turunnya ayat, ini seperti makna dalam riwayat yang lain; “Engkau berada diatas kebaikan, karena engkau termasuk dari isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ini berarti, sekiranya Ashabulkisa’ telah tercakup dalam ketentuan ayat diatas, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan mendo’akan mereka.
4. Siyaqul Ayat (konteks ayat),
Dari siyaqul ayat (konteks ayat) menolak untuk memasukkan kata-kata asing diantara dua perkataan untuk satu tujuan berdasarkan perkataan orang-orang bijak, jika tidak maka maknanya akan sangat rendah dan hina yang hal itu harus dijauhkan dari kalamullah. Lantas, apa kaitannya antara ishmahnya beberapa orang tertentu berdasarkan suatu perkataan untuk memasukkan yang lainnya ke dalam bagiannya?
5. Rumah Nabi adalah yang dimaksud dalam ayat tersebut, bukan rumah orang lain.
Sebab yang menempati Rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat turunnya ayat adalah isteri-isteri beliau, disamping itu terdapat rumah Ali radhiallahu ‘anhu yang berdiri sendiri. Sangat tidak mungkin terpikir dibenak Nabi atau yang lainnya bahwa yang dimaksud “Ahlulbait” dalam ayat diatas adalah rumah Ali radhiallahu ‘anhu, namun yang benar adalah rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Barangsiapa mengatakan bahwa makna “Ahlulbait” khusus untuk Ashabulkisa’, maka yang demikian mengharuskan ayat diatas turun khusus untuk Ahlulbait Ali, bukan Ahlulbait Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seolah-olah dalam ayat ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Ali tanpa ada perbedaan, sekiranya kita mengangkat Nabi dan meletakkan pada posisi Ali, maknanya pun tidak berubah, begitu juga sekiranya kita mempersepsikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki rumah pribadi, mungkinkah ada tempat untuk turunnya rahmat dan keberkahan? Ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim dan orang yang memiliki akal.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kurang tenang karena ayat tersebut maknanya umum, yang mencakup semuanya, sehingga beliau berdo’a dengan do’a yang cukup dikenal untuk Ashahbulkisa’, karena itu kita menetapkan makna umum bagi ayat diatas, sebab kalau bukan adanya hadits kisa’, kita tidak dapat menetapkan hal itu.
Kesimpulan: Demikianlah, sanad lughawi yang digunakan untuk menafsirkan ayat diatas dengan “ishmah” menjadi gugur, lebih-lebih kema’shuman orang-orang yang mereka tentukan, jadi hujjah mereka dengan ayat diatas untuk hal itu telah gugur. (Team Syiahindonesia.com)
[1] QS Al Ahzab; 33
[2] QS At Taubah; 36
[3] Maksudnya Sembilan imam Syiah selain Ali, Hasan dan Husain -penj
[4] QS Al Qashash; 4
[5] QS Al Ahqaf; 25
[6] QS Al Ahqaf; 25
Sumber: Ayatu at-tathir wa ‘alaqotuha bi ‘ishmatil aimmah karya Dr. ‘Abdul Hadi al-Husaini
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: