Syiahindonesia.com - Sebelum kedatangan Rasulullah Muhammad saw, pernikahan sementara sudah begitu umum di tanah Arab. Sebagian besar Syi’ah melangkah lebih jauh, mempertahankan bahwa praktik ini didukung oleh Quran.
Khalifah kedua, Umar bin Khattab, langsung melarang perkawinan sementara ini, namun para otoritas Syiah menentang keras keputusan Umar, karena mereka percaya bahwa Umar merebut pewaris sah Rasulullah Muhammad, Ali bin Abi Thalib.
Pahlevi shah, yang memerintah Iran hingga 1979, berusaha menghapuskan pernikahan jenis ini walau terkesan hanya mengulur-ulur waktu saja, tetapi setelah revolusi Iran, pemerintahnya bergerak cepat melanjutkan kembali tradisi ini. Pada tahun 1990, Presiden Hashemi Rafsanjani mengluarkan begitu banyak khotbah bahwa praktik pernikahan ini bukanlah sebuah hubungan yang memalukan. Dia mendorong pasangan-pasangan muda untuk melakukan nikah nut’ah atau kawin kontrak “selama sebulan atau dua.”
Dua dekade kemudian, ulama Syi’ah Iran terus mendukung perkawinan mut’ah sebagai katup pelarian seksual. Dalam sebuah wawancara di rumahnya di Qom, salah seorang ayatullah Syiah, Sayyid Reza Borghei Mudaris menawarkan kemungkinkan yang bermanfaat dari perkawinan mut’ah: janda (perempuan) diikat secara finansial.
Simak penuturan seorang penguasa bernama Habib. Ia berusia 48 tahun berasal dari sebuah kota kecil di timur laut Iran. Habib menghitung kekayaannya, yang ia percaya merupakan berkah dari perkawinan mut’ah yang telah ia lakukan sebanyak 15 atau 16; ia sendiri telah lupa berapa kali ia menikah mut’ah. “Saya menolong perempuan yang membutuhkan bantuan keuangan. Saya beramal dengan cara ini dan mendukung finansial mereka,” katanya sambil minum teh di sebuah hotel di Teheran. “Saya percaya ketika saya melakukan ini, Tuhan membantu saya dan saya mendapatkan lebih banyak kekayaan.”
Dalam nikah mut’ah, tidak ada yang namanya perceraian. Pernikahan itu berakhir dengan sendirinya ketika waktu yang ditentukan sudah habis. Selama tiga dekade belakangan ini, aktivis kemanusiaan dan perempuan di Iran telah berusaha menolak keras tradisi yang merugikan kaum perempuan Iran ini, namun suaranya selalu dibungkam dengan keras oleh pemerintah setempat. Bisa dipastikan, nikah mut’ah tidak berasal dari Islam sama sekali. (sa/tp/ac/islampos/syiahindonesia.com)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
Khalifah kedua, Umar bin Khattab, langsung melarang perkawinan sementara ini, namun para otoritas Syiah menentang keras keputusan Umar, karena mereka percaya bahwa Umar merebut pewaris sah Rasulullah Muhammad, Ali bin Abi Thalib.
Pahlevi shah, yang memerintah Iran hingga 1979, berusaha menghapuskan pernikahan jenis ini walau terkesan hanya mengulur-ulur waktu saja, tetapi setelah revolusi Iran, pemerintahnya bergerak cepat melanjutkan kembali tradisi ini. Pada tahun 1990, Presiden Hashemi Rafsanjani mengluarkan begitu banyak khotbah bahwa praktik pernikahan ini bukanlah sebuah hubungan yang memalukan. Dia mendorong pasangan-pasangan muda untuk melakukan nikah nut’ah atau kawin kontrak “selama sebulan atau dua.”
Dua dekade kemudian, ulama Syi’ah Iran terus mendukung perkawinan mut’ah sebagai katup pelarian seksual. Dalam sebuah wawancara di rumahnya di Qom, salah seorang ayatullah Syiah, Sayyid Reza Borghei Mudaris menawarkan kemungkinkan yang bermanfaat dari perkawinan mut’ah: janda (perempuan) diikat secara finansial.
Simak penuturan seorang penguasa bernama Habib. Ia berusia 48 tahun berasal dari sebuah kota kecil di timur laut Iran. Habib menghitung kekayaannya, yang ia percaya merupakan berkah dari perkawinan mut’ah yang telah ia lakukan sebanyak 15 atau 16; ia sendiri telah lupa berapa kali ia menikah mut’ah. “Saya menolong perempuan yang membutuhkan bantuan keuangan. Saya beramal dengan cara ini dan mendukung finansial mereka,” katanya sambil minum teh di sebuah hotel di Teheran. “Saya percaya ketika saya melakukan ini, Tuhan membantu saya dan saya mendapatkan lebih banyak kekayaan.”
Dalam nikah mut’ah, tidak ada yang namanya perceraian. Pernikahan itu berakhir dengan sendirinya ketika waktu yang ditentukan sudah habis. Selama tiga dekade belakangan ini, aktivis kemanusiaan dan perempuan di Iran telah berusaha menolak keras tradisi yang merugikan kaum perempuan Iran ini, namun suaranya selalu dibungkam dengan keras oleh pemerintah setempat. Bisa dipastikan, nikah mut’ah tidak berasal dari Islam sama sekali. (sa/tp/ac/islampos/syiahindonesia.com)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: