Ribuan penganut Syiah Iran menghadiri acara Perayaan Idul Ghadir [ilutsrasi] |
SETIAP 18 Dzulhijjah H, kaum Syiah seluruh dunia memperingati Ghadir Khum (Hari Raya Idul Ghadir), yakni sebuah peyaraan sebagai anggapan pengangkatan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu sebagai khalifah di kebun Ghadir Khum.
Bagaimana sebenarnya Islam memandang hal ini?
Perayaan Ghadir Khum adalah perayaan yang tidak ada dasarnya di dalam Islam. Perayaan ini dibuat oleh seorang raja bernama Abu Al-Hasan Ahmad bin Buwaih Al-Dailami bergelar Mu’izzu Al-Daulah dari Dinasti Buwaihiyah yang bermadzhabkan Syiah Itsna Asyariyah di Iraq, seorang raja yang pernah memerintahkan dan memaksa rakyatnya –baik Syiah maupun Sunni di Baghdad pada tahun 351 H– sebelum munculnya perayaan Ghadir Khum pada tahun 352 H untuk melaknat tiga Khulafa` Al-Rasyidin Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhum ajma’in dan Mu’awiyah Radhiyallahu Anhu pada setiap hari besar Islam dan Syiah di masjid-masjid dan jalan raya. [Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah].
Ibnu Katsir mengkisahkan salah satu peristiwa yang terjadi di tahun 352 H :
وفي عشر ذي الحجة منها أمر معز الدولة بن بويه بإظهار الزينة في بغداد ، وأن تفتح الأسواق بالليل كما في الأعياد ، وأن تضرب الذبابات والبوقات، وأن تشعل النيران في أبواب الأمراء ، وعند الشرط ، فرحاً بعيد الغدير – غدير خم – فكان وقتاً عجيباً مشهوداً ، وبدعة شنيعة ظاهرة منكرة
“Pada tanggal 18 Dzulhijjah Muizzu Ad-Daulah bin Buwaih memerintahkan untuk memeriahkan dan menghiasi Baghdad, membuka pasar-pasar di malam hari seperti halnya hari raya, menabuh gendang dan rebana, meniup terompet, menyalakan unggun di depan pintu para pejabat pemerintahan dan aparat, sebagai bentuk ungkapan gembira atas perayaan Ghadir Khum, maka ini adalah peristiwa aneh yang disaksikan oleh sejarah dan bid’ah buruk yang sangat jelas serta perbuatan munkar.” [Kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah 165]
Berkata Al-Maqrizi :
اعلم أن عيد الغدير لم يكن عيداً مشروعاً ، ولا عمله أحد من سالف الأمة المقتدى بهم ، وأول ما عرف في الإسلام بالعراق أيام معز الدولة على بن بويه ، فإنه أحدثه في سنة اثنتين وخمسين وثلاثمائة فاتخذه الشيعة من حينئذٍ عيداً
“Ketahuilah Hari Raya Ghadir Khum bukan perkara yang disyariatkan dan tidak pernah ada praktiknya di kalangan salaful ummah yang menjadi panutan, diketahui perayaan Ghadir Khum diperkenalkan pertama kali di Iraq saat Mu’izzud daulah bin Buwaih berkuasa, dia membuat-buat perayaan tersebut pada tahun 352 H, maka dari sejak itu umat Syiah menjadikannya sebagai hari raya.” [Dalam Al-Khuthath Wal Atsar karya Al-Maqrizi, 1/388]
Perayaan Ghadir Khum memiliki sejarah dan arti sendiri bagi umat Syiah. Menurut mereka, perayaan Ghadir Khum ini berangkat dari peristiwa kepulangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya Radhiyallahu Anhum dari haji Wada’ pada tanggal 18 Dzulhijjah di mana beliau dan sahabatnya berhenti di sebuah muara (Ghadir) bernama Khum dan di situ beliau bersabda tentang Ali:
من كنت مولاه فعلي مولاه ، اللهم وال من والاه ، وعاد من عاداه
“Barang siapa yang aku adalah walinya maka Ali adalah walinya, ya Allah berwala`lah kepada orang yang berwala` kepada Ali, dan musuhilah orang yang memusuhi Ali.” [HR Ahmad]
Dan dalam riwayat lain Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menekankan untuk berpegang dengan Kitab Allah kemudian bersabda: “Dan Ahlu Baitku, aku ingatkan kalian tentang Ahlu Baitku, aku ingatkan kalian tentang Ahlu Baitku.” [HR Muslim]
Dalam konteks hadits ini, umat Syiah menganggap sangat sacral. Di mana menurut anggapannya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dengan nash hadits ini telah resmi memandatkan amanat dan jabatan khilafah kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu dan keturunannya.
Di sisi lain, mereka menganggap hadits-hadits Ahlus Sunnah tidak valid dan tertolak.
Tidak cukup di situ, klaim Syiah atas maksud hadits Ghadir Khum berupa wasiat resmi imamah untuk Ali yang menjadi ajaran dan doktrin utamanya, melahirkan doktrin-doktrin lain yang melukai hati umat Islam.
Di antaranya; penistaan terhadap simbol-simbol penting Islam terutama tiga Khulafa’ur Rasyidin; Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu Anhum Ajma’in karena dianggap telah merampas mandat dan jabatan Khilafah dari Ali Radhiyallahu Anhu dan mengkhianati amanat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Dampak pemahaman ini memang tidaklah sedikit. Kaum Syiah akhirnya banyak mencela para Sahabat besar Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tersebut serta sahabat lainnya, karena dianggap menyeleweng dari wasiat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.* (BERSAMBUNG)
Penulis peminat masalah keagamaan
(hidayatullah.com/syiahindonesia.com)
************************
Ayo Gabung dengan Syiahindonesia.com Sekarang Juga!
0 komentar: